Sabtu, 29 Agustus 2020 | 09:08 Wita

Hijrah: Pilar Peradaban Modern 3

Editor: Firman
Share

■ Oleh: Imam Shamsi Ali*

HidayatullahMakassar.id — Komitmen ubudiyah komprehensif yang tersimbolkan dalam pembangunan masjid (secara bahasa berarti tempat sujud) itu sekaligus bermakna komitmen hidup yang terpusat pada ketaatan Ilahi.

Komitmen ketaatan Ilahi itu disusul dengan rekonsiliasi internal (al-muaakhaa) secara erat antara pendatang (imigran Mekah) dan penduduk pribumi (Native) Madinah. Mereka dipersaudarakan di atas iman, dan dengan latar belakang yang ragam. Ukhuwah itulah yang menjadikan komunitas Rasul menjadi solid, bagaikan baja yang semakin dibakar dan dibanting semakin kuat dan bernilai.

Dengan kekuatan (power) yang bersandar pada kekuatan internal (hati dan jamaah) serta nilai (value) yang dimilikinya, Umat ini siap membangun kehidupan kolektif bersama dengan seluruh anggota masyarakat lainnya.

Konstitusi Negara

Kita kenal dalam sejarah bahwa sebelum Rasul tiba di Madinah, selain masyarakat Arab dengan dua suku besar; ‘Aus dan Khazraj, juga ada dua komunitas agama besar lainnya. Mereka adalah masyarakat Yahudi dengan tiga suku besarnya, dan masyarakat Nashora (Kristen) yang umumnya menempati pinggiran kota Yatsrib saat itu.

Kedua kelompok masyarakat ini sejak lama dipandang oleh sebagian masyarakat Arab sebagai “the religious dan civilized” sehingga secara informal mereka memiliki posisi “advisors” penasehat kepada masyarakat Arab. Bahkan banyak di antara orang-orang Arab memaksa anak-anaknya mereka untuk beragama Kristen atau Yahudi karena dianggap lebih terdidik, beradab dan maju. Kira-kira mirip mentalitas dunia ketiga yang selalu ingin meniru gaya Barat yang dianggap lebih maju.

Dengan masyarakat pluralis seperti itu Rasulullah SAW sebagai pemimpin tentu sadar bahwa Madinah bukan hanya milik warganya yang beragama Islam. Tapi sebuah negara yang penduduknya plural dan pastinya memiliki hak yang sama dalam tatanan institusi negara.

Untuk institusi negara eksis hal pertama yang diperlukan adalah adanya Konstitusi yang menjadi rujukan bersama semua warga negara. Dan karenanya hal selanjutnya yang Rasulullah lakukan adalah membentuk Konstitusi negara pertama dalam sejarah manusia. Itulah yang dikenal dengan nama Piagam Madinah.

Piagam Madinah atau Madinah Charter adalah tatanan Konstitusi negara yang sangat pluralis. Bahkan salah satu bab terpanjang adalah jaminan hak-hak dasar, termasuk hak agama dan ibadah bagi semua warga.

Mungkin yang paling menarik pula adalah kenyataan bahwa proses pembentukan Piagam Madinah melibatkan seluruh unsur atau segmen komunitas yang ada di kota itu. Padahal kalau saja beliau berkehendak, beliau bisa saja merancang sendiri konstitusi. Apalagi dalam kapasitas beliau sebagai Rasul, saya yakin semua akan menerimanya tanpa resistensi.

Tapi beliau ingin agar seluruh segmen masyarakat Madinah merasa memiliki (sense of belonging) sehingga tanggung jawab terhadap konstitusi itu semakin solid.

Rasulullah SAW telah memperlihatkan karakter seorang pemimpin sekaligus negarawan yang inklusif. Yang merangkul secara setara seluruh elemen warganya. Dan kehadiran konstitusi negara Madinah sekaligus menjadi salah satu pilar kebangkitan peradaban modern itu.

Membangun Perekonomian Umat

Kita ingat bahwa perintah mendasar syariah Islam yang turun di periode Makkah hanya satu; sholat. Perintah melaksanakan sholat itu turun sekitar dua tahun sebelum Hijrahnya Rasul melalui peristiwa Isra Mi’raj.

Dua tahun setelah beliau Hijrah ke Madinah turunlah perintah berzakat. Yaitu kewajiban umat Islam untuk mengeluarkan hartanya sebesar 2.5% sekali dalam setahun (haul), jika telah memenuhi jumlah tertentu (nishob). Perintah zakat itu sendiri, sebagaimana syahadat dan sholat, menjadi salah satu pilar atau rukun Islam.

Jika sholat menitik beratkan kepada relasi vertikal seorang Muslim dengan Tuhannya, zakat menekankan relasi horizontal seorang Muslim kepada sesama. Kedua aspek relasi inilah yang menjadi dasar “ubudiyah” dalam Islam. Atau lebih dikenal bahasa Al-qurannya “hablun minallah wa hablun minan naas”.

Perintah sholat diturunkan di Mekah karena memang periode Mekah lebih menenkankan aspek “hablun minallah” atau relasi vertikal keagamaan. Sementara zakat yang relevansinya sangat dominan secara sosial turun di Madinah. Karena periode Madinah memang dipahami sebagai awal pembentukan kehidupan umat secara jama’i. Yang tentunya juga karena prioritàs risalah di Madinah adalah “penguatan” (empowerment) umat pada sisi komunalnya (jamaah).

Dalam menyikapi perintah zakat ini, Rasul tidak saja memahaminya sebagai sekadar perintah untuk mengeluarkan harta. Sebaliknya justeru dipahami sebagai perintah untuk memperkuat basis perekonomian umat.

Dengan kata lain, Rasulullah memahami perintah zakat tidak sekadar “memberikan 2.5 % harta”. Tapi dipahami secara pro aktif dan dengan visi yang lebih besar. Bahwa ada perintah memberi maka di balik perintah itu ada perintah lainnya. Dan perintah itu adalah “economic empowerment” atau membangun kekuatan ekonomi bagi umat.

Untuk mengimplementasikan pemahaman itu, beliau melakukan beberapa hal, di antaranya:

1) Membeli sebuah sumur. Perlu diingat air ketika itu bagaikan minyak di masa kita. Bayangkan jika kota New York misalnya kehabisan minyak (sebelum solar energy ditemukan). Saya yakin kehidupan menjadi lumpuh. Sumur Madinah menjadi fondasi hidup itu sendiri. Dan karenanya atas anjuran Rasulullah SAW, Sumur tersebut dibeli oleh sahabat Utsman Ibnu Affan.

2) Membeli pasar dari masyarakat Yahudi. Sejak masa itu juga sebenarnya umat Yahudi memiliki kelebihan dalam bisnis dan keuangan. Bahkan Rasulullah SAW sendiri sebagai pribadi pernah meminjam uang dari masyarakat Yahudi.

Di Madinah ada sebuah pasar yang sangat terkenal dan strategis dalam perekonomian masyarakat. Kebetulan saja pasar itu dimiliki oleh komunitas Yahudi.

Sebagai tindak lanjut dari perintah zakat, Rasulullah SAW mengumpulkan para sahabat yang kira-kira punya modal, dan juga dikenal memiliki kemampuan bisnis, seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Kepada mereka disampaikan urgensi umat Islam memiliki pasar sebagai “pusat penguatan perekonomian umat”.

Mereka setuju dan memberikan investasi terbaik mereka untuk membeli pasar tersebut. Melalui pasar ini umat kemudian melakukan aktifitas ekonomi dan membangun basis perekonomian mereka. Dan pada akhirnya tidak lagi bergantung kepada Komunitas lain.

Dari peristiwa ini dipahami bahwa pemberdayaan ekonomi umat menjadi krusial dalam pembentukan peradaban manusia. Ketika umat lemah secara ekonomi maka yang terjadi kemudian adalah ketergantungan. Dan sudah pasti klaim peradaban dengan ketergantungan kepada orang lain adalah paradox yang nyata.

Jika hal ini dikembalikan kepada situasi kolektif umat masa kini, kita akan dapati bahwa dari sekian banyak kebutuhan dasar umat adalah perbaikan ekonominya. Umat ini sungguh beruntung menempati sisi-sisi bumi yang kaya. Jika tidak rindang dan hijau dengan hutan, atau dengan kekayaan bahari (laut), Allah memberinya dengan kekayaan minyak dan pertambangan.

Lalu kenapa umat masih terbelekang secara ekonomi?

Jawabannya karena umat perlu berzakat. Yaitu zakat (bersuci) dari ketamakan dan kekikiran. Ketamakanlah di dunia Islam itulah yang menjadikan kekayaan alam kita diselewengkan sedemikian rupa. Akibatnya terjadi berbagai kerusakan dalam berbagai manifestasinya.

Kalaulah saja perintah zakat dipahami secara benar, secara pro aktif dan inovatif, serta dikelolah secara profesional dan jujur, umat akan terkuatkan (empowered) secara ekonomi. Sekaligus saya yakin bahwa permasalahan kemiskinan yang masih mengungkung Umat ini dapat terselesaikan■ Bersambung/*

  • Presiden Nusantara Foundation



BACA JUGA