Kamis, 27 Agustus 2020 | 06:12 Wita

Hijrah: Pilar Peradaban Modern (2)

Editor: Firman
Share

■ Oleh : Imam Shamsi Ali*

HidayatullahMakassar.id — Dibangunnya masjid sebagai awal perjalanan membangun peradaban itu juga menunjukkan bahwa peradaban dalam Islam tidak akan bisa terpisahkan dari “koneksi samawi” (nilai-nilai ketuhanan).

Bahwa peradaban dalam Islam tidak ditandai oleh gedung-gedung yang mencakar langit. Tidak pula oleh akumulasi keuangan di pusat-pusat bisnis dan perbankan.

Peradaban dalam Islam adalah pembangunan yang mengkombinasi (menyatukan) jasad, akan dan ruh, materi, ilmu, dan spiritualitas.

Masjid adalah gedung yang penampakannya seperti gedung-gedung yang lain. Tapi masjid itu menjadi tempat di mana Asma Allah dikumandangkan (yudzkaru fiiha ismuLlah). Sehingga gedung yang sejatinya juga terbuat dari materi yang sama ternyata memiliki nilai (value) yang berbeda.

Dan di situ pulalah kekhasan peradaban Islam. Peradaban yang memiliki nilai atau makna yang agung. Bukan sekedar bernilai material duniawi. Tapi nilai samawi (heavenly value) yang berisifat luhur dan abadi.

Peradaban Islami inilah yang didambakan oleh kehidupan semua manusia normal. Manusia yang menginginkan “kebahagiaan” dan bukan sekedar “kesenangan”. Peradaban yang terkoneksi secara samawi akan membawa kesenangan (mataa’). Tapi hampa dari kebahagiaan (sa’adah).

Dan peradaban ini pulalah yang diimpikan oleh dunia modern yang hingga saat ini sekedar mempu menawarkan “kesenangan” (mataa’) dan bukan kebahagiaan (sa’adah).

Barangkali peradaban yang seperti inilah yang digambarkan dalam Al-qur’an: “baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafur” (negeri yang indah yang diridhoi oleh Tuhan yang Maha pengampun).

Atau lebih jelas lagi Allah menggambarkannya: “Kalau saja penduduk negeri itu beriman dan bertakwa akan Kami bukakan pintu-pintu barokah dari langit dan bumi”.

Ayat itu jelas dan tegas mengaitkan secara dekat dan tak terpisahkan antara keberkahan langit dan bumi. Dengan keberkahan langit terbuka, berkah-berkah bumi akan pula terbuka. Dan ini pula yang menjadi karakteristik utama peradaban Islam.

Rekonsiliasi Internal

Hal kedua yang dilakukan oleh Rasulullah SAW setiba di Madinah adalah “at-taakhaa” atau membangun “ukhuwah imaniyah” antara muhajirin dan anshor. Sebuah kebijakan pemimpin (leadership policy) yang sangat krusial dalam membangun kesatuan umatnya.

Jika kita melihat Al-quran maupun hadits-hadits Rasulullah SAW akan didapati bahwa perintah bersatu dan ukhuwah menyusul setelah perintah takwa dan iman itu sendiri.

Perhatikan ayat: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian dengan takwa yang seungguhnya. Dan janganlah mati kecuali dalam keadaan Muslim”.

Ayat yang memerintahkan bertakwa ini dengan tegas dan segera disusul dengan perintah bersatu: “Dan berpeganglah kamu semua kepada tali agama Allah dan jangan berpecah belah…”.

Urgensi ukhuwah ini menjadikan Rasulullah SAW setiba di Madinah segera menindak lanjutinya. Khususnya antara dua kelompok yang baru saling berinteraksi yang sudah pasti ada rasa asing dan jarak.

Kedua kelompok, Muhajirun dan Anshor, ini memiliki alasan untuk merasa lebih dari yang lain. Muhajirun bisa merasa lebih karena kedekatan dengan Rasulullah sejak awal perjuangan. Sementara Anshor bisa merasa lebih karena merekalah sebagai “tuan rumah” di saat muhajirun diusir dari tanah kelahiran mereka.

Artinya, gesekan antara kedua kelompok ini bisa menjadi isu pribumi dan non pribumi. Seperti yang pernah terjadi antara native American Muslim dan imigran Muslim di AS.

Ternyata apa yang dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW tersebut memang terbukti di kemudian hari. Khususnya di saat akan diadakan pemilihan pemimpin pertama di kalangan komunitas Muslim. Sentimen kelompok (muhajir dan anshor) mencuat. Walau kemudian dapat dengan segera diredam sehingga tidak meluas dan meruncing.

Merujuk kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di awal pindahnya beliau ke Madinah itu mengingatkan kita kembali tentang realita umat masa kini. Umat ini sedang tercabik-cabik oleh berbagai paham dan isu, yang boleh jadi justeru menjadi bagian dari rancangan orang lain untuk merusak Islam dari dalam.

Oleh karenanya “rekonsiliasi internal” semua pihak di kalangan umat ini menjadi sebuah keharusan. Tentu harus dibangun sebuah kesadaran bahwa bagaimanapun juga perbedaan, bahkan dalam hal-hal yang fundamental sekalipun, ukhuwah dan persatuan menjadi sebuah yang mendasar dalam proses kemenangan kolektif.

Perbedaan-perbedaan yang ada adalah bagian dari “sunnatullah” dalam pembentukan ummah wahidah (umat yang satu) ini. Jangan pernah bermimpi bahwa persatuan umat ini mengharuskan “keragaman” dalam pemikiran dan karya.

Saya biasanya mengekspresikan dalam bahasa Inggris: Unity, not Uniformity. Artinya yang diperlukan adalah kesatuan. Bukan menyeragamkan umat ini. Karena memaksa untuk menyamakan segala hal dalam hidup adalah kemustahilan dan bertentangan dengan tabiat hidup itu sendiri.

Saya melihat rekonsiliasi internal umat diperlukan dalam segala skala eksistensinya. Rekonsiliasi dalam penafsiran keagamaan (religious interpretations), sikap politik (political choice), organisasi pergerakan (munazzhomat harakiyah), hingga kepada “ikhtilaf sya’biyah wa wathoniyah” (Keragaman bangsa dan negara). Semua itu adalah realita Umat yang tidak harus mencabik-cabik ukhuwah dan persatuan.

Dengan semakin membesarnya umat masa kini, termasuk berkembangnya Islam di negara-negara mayoritas non Muslim seperti Amerika, menjadikan umat semakin mengglobal dan permasalahannya juga semakin komplikasi.

Oleh karena itu upaya “rekonsiliasi imaniyah” untuk membangun ukhuwah Islamiyah menjadi salah satu “haajah asaasiyah al-mu’ashorah” (kebutuhan pokok masa kini.■ Bersambung/fir

New York, 25 Agustus 2020. Presiden Nusantara Foundation



BACA JUGA