Sabtu, 1 Agustus 2020 | 15:00 Wita

Ketauladanan Nabi Ibrahim

Editor: Firman
Share

■ Oleh : Imam Shamsi Ali*

HidayatullahMakassar.id — Kemarin, Jumat 10 Dzukhijjah 1441 H (31 Juli 2020) merupakan hari penting sekaligus hari kegembiraan (perayaan) bagi seluruh Umat Islam sedunia. Hanya saja kali ini ekspresi kegembiraan itu sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini karena seluruh dunia masih berada dalam suasan musibah Covid 19 atau virus Corona.

Selain pelaksanaan ibadah haji yang dibatasi hanya oleh segelintir jamaah yang memang bermukim atau warga negara Saudi sendiri. Juga pelaksanaan Idul Adha di semua negara juga dengan keadaan yang sangat terbatas.

Jamaica Muslim Center NY misalnya, yang biasanya merayakan Idul Fitri di lapangan dengan puluhan ribu jamaah, kali ini hanya melakukannya di masjid dengan lima kali jamaah. Itupun dengan mengikuti aturan protokol distancing dan praktek keselamatan lainnya, termasuk memakai masker, menghundari sentuhan (salaman), dan seterusnya.

Tapi semua itu tidak mengurangi nilai ubudiyah (penghambaan) kita kepada Allah SWT. Karena apapun keadaannya seorang Mukmin tetap yakin, Tuhan dan interaksi antara hamba dan Tuhannya tidak mengalami perubahan dengan perubahan keadaan.

Menauladani Ibrahim AS

Baik pada ibadah haji maupun Idul Adha, sosok Ibrahim AS memang menjadi figur sentra. Hampir semua amalan yang ada pada dua bentuk ritual Islam itu terkait dengan sejarah hidup nabi Ibrahim AS.

Dan larenanya saya kira sangat pas jika di saat saperti ini kita ingatkan diri kita kembali tentang apa saja yang harusnya ditauladani dari kehidupan Ibrahim AS. Apalagi memang secara khusus Al-Quran memerintahkan umat ini untuk menauladani Ibrahim AS.

Allah berfirman: “Dan ikutlah (wahai Muhammad) kepada millah Ibrahim”.

Di ayat lain disebutkan: “Dan ikutlah kalian (wahai orang-orang beriman) kepada millah Ibrahim”.

Saya melihat minimal ada 7 bentuk ketauldanan yang penting bagi umat ini untuk direnungkan, didalami, dan diikuti.

Pertama, ketauladanan dalam proses pencarian dan pematangan iman.

Proses yang dilalui Ibrahim dalam menemukan keimanan bukan proses biasa (unconventional). Tapi proses pencarian panjang yang melibatkan pertarungan intelektualitas dan logika. Cerita itu menggambarkan bagaimana Ibrahim AS berjuang menemukan kebenaran Tuhannya.

Ketika di suatu malam beliau melihat bintang-bintang yang indah bertaburan di langit, beliau menyangka mereka itu adalah tuhan. Tapi ketika bulan terbit, Ibrahim mengira bulan itu adalah Tuhan. Di keesokan harinya Ibrahim kemudian melihat dan merasakan sinar matahari. Diapun menyangka matahari itulah tuhan karena lebih bersinar dan terasa.

Akan tetap pada akhirnya ternyata sang mentari juga hilang (terbenam) di sore hari. Ibrahimpun sampai kepada kesimpulan yang pasti bahwa Tuhan yang sesungguhnya adalah yang mencipta semua itu.

Itulah yang diikrarkan: Sesungguhnya saya menghadapkan wajahku kepada Yang menciptakan langit dan bumi, haniif dalam berislam, dan saya tidak termasuk orang-orang yang musyrik”.

Ibrahim AS pada prinsipnya memang membangun pemikiran kritis, bahkan dalam hal-hal yang prinsip sekalipun. Hal itu terlihat misalnya ketika beliau mempertanyakan kebangkitan hari akhirat.

Ibrahim AS tanpa ragu mempertanyakan kepada Allah SWT: “Bagaimana Engkau menghidupkan orang yang telah mati?

Barangkali bagi sebagian mukmin mempertanyakan hal seperti ini dikategorikan sebagai kelemahan, bahkan keraguan kepada agama. Tapi bagi Ibrahim justeru sebaliknya. Pertanyaan itu adalah bagian dari proses konfirmasi dan afirmasi iman.

Menyikapi pertanyaan Ibrahim itu Allah SWT menanyakan kepada Ibrahim: “Tidak kamu beriman wahai Ibrahim?”.

Jawaban Ibrahim tegas: “Benar, (ya Allah saya beriman). Tapi saya ingin hatiku tenang”.

Proses logika dalam mencari kebenaran dalama agama Islam ternyata sangat didorong (encouraged). Bukankah Al-Quran sendiri menegaskan: “Maka tanyalah orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui”.

Intinya agama, bahkan aspek keimanan sekalipun, tidak diterima secara buta (blindly). Tapi melalui proses pencarian panjang yang seringkali melibatkan rasionalitas dan logika.

Itulah salah satu makna penting kenapa justeru ayat-ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW adalah perintah untuk “membaca” (iqra’). Bagi saya membaca adalah proses berlanjut (sustainable process) dalam menemukan kebenaran sejati.

Al-Quran sendiri menampakkan diri sebagai Kitab Suci yang menjunjung tinggi logika dan rasionalitas. Kata kedua yang paling sering terulang dalam Al-Quran adalah kata-kata yang berkaitan dengan “akal” manusia.

”Tidkakah kamu berakal?”
“Tidakkah kamu berfikir?”
“Tidakkah kamu melakukan bertadabbur?”
Dan banyak lagi ayat-ayat yang mendorong fungsi akal manusia dalam menyikapi kehidupannya.

Bahkan secara khusus Allah menegaskan bahwa Al-Quran itu adalah Kitab yang diturunkan untuk dipahami secara akal (liqaumin ya’qiluun).

Sebaliknya orang-orang yang tidak ingin memahami Al-Quran justeru dituduh sebagai orang-orang yang hatinya terkunci (alaa quluubihim ghulf).

Proses penemuan kebenaran dengan rasionalitas dan logika, apalagi dalam dunia yang mengedepankan logika saat ini, akan menghasilkan keimanan yang solid. Keimanan yang tidak goyah dan mudah terbawa arus.

Mungkin bagi kami di dunia Barat hal itu dibuktikan oleh kenyataan bahwa seringkali mereka yang menemukan Islam setelah melalui proses pencarian panjang, termasuk dengan logika, berakhir dengan keyakinan yang solid (al-yaqiin ar-raasikh).

Karenanya masanya pada ulama, ustadz, kyai dan para pendakwah agama ini untuk menyadari bahwa penyampaian agama dengan dogma-dogma yang kerap terasa dipaksakan, believe or otherwise (imani atau…), dengan ancaman-ancaman dan semacamnya, hanya akan berdampak negatif di pemikiran orang-orang, khususnya millennials yang cenderung mengedepankan rasionalitas dalam menyikapi segala hal.

Sungguh ironis dengan kenyataan bahwa paham ateisme justeru tumbuh besar di negara-negara Muslim yang dianggap konservatif. Dan saya yakin, sebagaimana Kristiani di dunia Barat, hal ini sebabkan oleh penyampaian agama yang kerap tidak logis dan rasional. Walaupun kenyataannya bahwa Islam adalah agama yang sangat rasional.

Tapi sebagaimana Karen Armstrong pernah sampaikan: “Tidak ada agama atau kepercayaan yang serasional agama Islam. Sayangnya seringkali justeru orang-orang Islam yang tidak rasional dalam beragama”.

Mari kita tauladani Ibrahim AS dalam berproses memahami dan meyakini agamanya.■ (Bersambung)

New York, 10 Dzulhijjah 1441 H

  • Presiden Nusantara Foundation



BACA JUGA