Jumat, 19 Juni 2020 | 06:34 Wita

Antara Rasisme di Amerika dan Kasus Rasisme di Indonesia

Editor: Firman
Share

■ Oleh : Shamsi Ali*

HidayatullahMakassar.id — Ketika saya menyoroti dan mengeritik tajam pernyataan seorang pandeta di Oakland, banyak yang menyangka saya menutup mata terhadap berbagai ketidak beresan yang ada di negeri ini. Seolah saya tidak peduli, tak krisis, dan tidak ingin membela mereka yang terzholimi haknya.

Saya ingin pertegas sekali lagi, bahwa bagi saya keadilan tidak dibatasi oleh dinding apapun, termasuk dinding agama. Keadilan harus ditegakkan walau itu bertentangan dengan kepentingan diri dan kelompok sendiri. Karenanya saya akan membela siapa saja dan mengkritisi siapa saja jika saya merasa di mana perlu dibela atau dikritisi.

Karenanya toleransi sebagai bagian dari keadilan harus ditegakkan untuk dan kepada siapa saja. Toleran kepada umat yang berbeda keyakinan harus ditegakkan walaupun itu mungkin sebuah kenyataan pahit. Maka bagi saya pelarangan membangun gereja, selama itu tidak melanggar aturan-aturan yang ada harus dikritisi.

Tapi sebaliknya larangan membangun masjid, selama itu tidak melanggar aturan-aturan yang ada juga harus dikritisi. Pelarangan keduanya (membangun gereja atau masjid), baik dalam pandangan agama maupun konstitusi tidak dibenarkan.

Maka sekali lagi, kritikan saya kepada pendeta itu bukan kecenderungan intoleransi kepada kelompok tertentu. Tapi bentuk pembelaan keadilan kepada negeri dan umat sendiri.

Dan saya tidak akan ragu untuk melakukan ini. Jangan pernah berharap karena pujian kepada saya sebagai orang toleran dan moderat, lalu anda menyangka akan diam ketika umat sendiri terzholimi.

Sebaliknya saya tidak akan diam ketika umat lain juga terzholimi haknya. Karena bagi saya prinsip “do to others what you want others to do to you” (lakukan kepada orang lain apa yang kamu inginkan orang lain lakukan padamu) adalah prinsip.

Itulah sebabnya saya melihat bahwa Islamophobia dan antisemitisme di Amerika adalah dua sisi mata uang yang sama. Melawan Islamophobia memiliki dasar yang sama untuk melawan prilaku anti semitisme. Karena apa yang terjadi pada orang lain boleh jadi juga akan terjadi pada diri kita sendiri.

Antara Rasisme Amerika dan Kasus Rasisme di Indonesia

Lalu apa dasar itama saya mengkritisi pidato sang pendeta itu? Kenapa saya perlu menyuarakan ini?

Ada banyak alasan tentunya. Tapi saya hanya ingin menyebutkan tiga alasan penting dari semua itu.

Pertama, Karena saya memang cukup muak dan lelah (tired) mendengarkan banyak statemen di luar negeri yang memburuk-burukkan Indonesia, yang terkadang tidak berdasar bahkan diada-adakan.

Saya masih ingat bagaimana sebuah surat pernah dilayangkan ke sebuah organisasi besar di kota New York, Appeal of Conscience Foundation, di bawah Pimpinan Rabbi Arthur Schneier. Saat itu Yayasan ini akan memberikan penghargaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhyono.

Di surat tersebut Indonesia, dan khususnya imat Indonesia begitu digambarkan begitu jahat dan intoleran kepada umat lain di negeri ini. Sedemikian buruknya maka presiden negara ini tidak berhak untuk menerima penghargaan tersebut.

Saya mengetahui surat tersebut karena memang saya bersahabat dengan Rabbi Schneier. Beliau adalah Rabbi pertama yang saya kenal pasca 9/11. Beliau kebetulan juga bersahabat dengan mantan Presiden RI, Gus Dur. Anaknyalah, Rabbi Marc Schneier yang menjadi partner saya dalam membangun dialog antara masyarakat Muslim dan Yahudi di Amerika.

Contoh di atas hanya satu dari sekian kasus yang ada. Bahwa memang ada pihak-pihak tertentu dengan sengaja mencari cara untuk memburuk-burukkan Indonesia di mata dunia. Terkadang karena kasus tertentu. Bahkan kadang pula dengan mengada-ngada, memplintir sebuah isu jauh dari konteksnya yang benar.

Kedua, karena sebagai putra bangsa yang lahir dan tumbuh besar di Indonesia, minimal hingga tamat sekolah menengah atas, saya tahu Indonesia tidak seperti yang digambarkan. Saya tahu Indonesia tidak memiliki mentalitas rasisme.

Tuduhan bahwa tidak ada kebebasan beragama di Indonesia juga sangat salah dan fatal. Ungkapan bahwa “I have come to US so I can breath freedom” sesungguhnya adalah pelecehan kepada Indonesia. Karena tanpa mengingkari adanya kasus-kasus, Indonesia secara mendasar sangat memberika kebebasan kepada setiap pemeluk agama untuk meyakini dan menjalankan agamanya.

Selalu saya mengatakan bahwa sesungguhnya Indonesia masih syurga bagi teman-teman minoritas di negeri ini. Selama bertanggung jawab sebagai bagian dari bangsa, menegakkan konstitusi dan menghargai eksistensi umat lain, anda bebas menjalankan agamanya.

Pancasila dan UUD 45 menjadi acuan kuat, yang didukung oleh karakter kebangsaan yang memang memilki karakter toleransi yang historis.

Gesekan-gesekan yang terjadi di kemudian hari harusnya dilihat dari akar permasalahan yang sesungguhnya. Bukan karena karakter bangsa. Bukan pula karena agama yang dianut oleh mayoritas bangsa ini. Tapi karena faktor lain yang akan disebutkan pada poin selanjutnya.

Ketiga, secara mendasar rasisme Amerika dan kasus rasisme yang terjadi di Indonesia sangat berbeda. Dan untuk dihubung-hubungkan rasanya sangat tidak adil dan tidak akan ketemu.

Rasisme Amerika seperti yang pernah saya sampaikan bersifat historis, bahkan mungkin tidak salah kalau saya istilahkan sebagai dosa asal bangsa ini. Sementara Indonesia tidak memiliki sejarah rasisme itu. Yang ada justeru sejarah toleransi dan kerukunan yang diakui oleh semua pihak.

Selain itu rasisme Amerika jelas terjadi bukan karena ada penyebab lain, seperti “sosial jealousy” atau kecemburuan sosial akibat kesenjagan ekonomi misalnya. Justeru pelaku rasis di Amerika adalah mereka yang fortunate (beruntung) dari kalangan masyarakat kelas atas.

Hal ini berbeda dengan kasus di Indonesia. Justeru adanya kasus-kasus, sebutlah rasisme kepada kelompok tertentu, disebabkan adanya sense of unfairness (rasa ketidakadilan) dalam masyarakat.

Bahwa adanya ketidakadilan perekonomian, di mana kelompok kecil justeru menguasai perekonomian negara dengan proporsi yang tidak sesuai menjadikan kelompok masyarakat mayoritas merasa terzholimi.

Karenanya kalaupun ada tendensi rasisme, atau minimal ketidaksenangan mayoritas di Indonesia terjadi bukan karena itulah tabiat bangsa. Apalagi dianggap karena agama. Tapi karena faktor lain yang menjadi pendorong. Faktor hilangnya sense of justice (rasa keadilan di tengah masyarakat).

Tapi di Amerika sekali lagi memang didorong oleh mentalitas penjajah (colonial mentality) orang putih yang merasa lebih hebat dari warga lain yang berkulit non putih.

Di sinilah kesalahan fatal ketika seorang ingin menyamakan antara rasisme Amerika dan Kasus rasisme di Indonesia. Tentu tidak sama dan menyamakannya adalah kebodohan dan sekaligus pelecehan kepada bangsa dan negara Indoensia.

Saya hanya ingin sekali lagi mengatakan kepada semua anak bangsa, mari kita jaga nama baik bangsa ini. Tentu dengan tetap mengkritisi secara proporsional semua kekurangan yang ada. Kritis kepada bangsa dan negara seharusnya menjadi bagian dari sikap nasionalisme kita. Bukan justeru karena dorongan keinginan untuk melihat bangsa ini buruk dan terjatuh di mata dunia.

Belajarlah berterima kasih. Atau belajar tahu diri ■

New York, 18 Juni 2020

  • Diaspora Indonesia di kota New York



BACA JUGA