Saturday, 6 December 2025 | 11:12 Wita

Merebut Kembali Warisan: Jalan Santri Menuju Indonesia yang Berdaulat

Editor: Humas Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar

HidayatullahMakassar.id — Diolah dan dikembangkan dari materi yang disampaikan Ust Dr Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar MSi, Dewan Syura Hidayatullah dan Ketua Badan Pembina Yayasan Al Bayan pada Dialog Keummatan dan Kebangsaan di Asrama Sudiang Makassar Muswil DPW Hidayatullah Sulsel :

***

Kawasan yang kita sebut Nusantara adalah sebuah jaringan adidaya kerajaan-kerajaan Islam yang membentang luas—dari Aceh hingga Fakfak, bahkan meluas hingga Patani, Mindanao, dan Manila.

Pembentukan batas-batas negara-bangsa modern kita saat ini—Indonesia oleh Belanda, Malaysia oleh Inggris—bukanlah kehendak suci para pendiri, melainkan hasil pragmatis dari pembagian kekuasaan oleh penjajah.

Kita memang bisa “berterima kasih” kepada Belanda yang “membentuk wilayah” NKRI, tetapi kita tidak boleh lupa bahwa akar ideologis dan spiritual kita sebelumnya tertaut pada jaringan Islam global, bahkan sempat berinduk pada Khilafah Utsmaniyah.

Memahami ini berarti memahami bahwa semangat keislaman sudah mendarah daging dalam geopolitik Nusantara jauh sebelum ideologi modern Barat masuk.

Ketika penduduk pribumi mulai menempuh pendidikan tinggi di awal abad ke-19, hanya ada tiga kekuatan ideologi dominan: Nasionalisme, Komunisme, dan Islam.

Puncak dari pertarungan ini terjadi di BPUPK. Meskipun ulama hanya berjumlah 15 dari 62 anggota, mereka adalah representasi kuat dari Ormas mayoritas seperti NU dan Muhammadiyah.

Dalam ruang perdebatan itu, Komunisme gagal menunjukkan taringnya, sehingga pertarungan sesungguhnya hanyalah antara Nasionalisme (Sekuler) dan Islam.

Lahirnya Pancasila adalah bukti kehebatan strategi ulama. Ini bukanlah kompromi rendahan, melainkan sebuah jalan tengah monumental yang berhasil menyelamatkan negara ini dari perpecahan ideologis ekstrem.

Kita berhutang budi pada para founding father ulama yang mampu bertarung pemikiran dengan landasan Maqashid Syariah (tujuan-tujuan hukum Islam) dalam merumuskan Pancasila dan UUD 1945.”

Bahkan, alinea kedelapan UUD 1945 yang sakral itu ditulis oleh seorang ulama besar, Agus Salim.

Ini menegaskan satu poin penting yang tak terbantahkan: Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah warisan intelektual dan spiritual ulama.

Sayangnya, warisan agung ini kini berada di titik nadir.  Negara ini belum pernah benar-benar membahagiakan Ummat Islam. Ironi terbesar terjadi saat ini, di mana kekuasaan negara sempurna dikuasai oleh oligarki.

Institusi-institusi politik yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat justru dipenuhi oleh praktik koruptif.

Fakta yang menyakitkan, walaupun banyak aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) berhasil menduduki kursi parlemen, mayoritas koruptor yang ditangkap KPK juga berasal dari barisan mereka.

Ini adalah bukti nyata bahwa kekuatan moral dan etika Islam telah tergerus habis oleh sistem politik yang sakit.

Jika negara ini adalah warisan ulama, maka menjadi tanggung jawab moral dan sejarah bagi para penerus, yaitu santri, untuk merebutnya kembali.

Kita tidak bisa hanya menjadi penonton atau hanya berpuas diri di mimbar-mimbar dakwah. Kekuatan oligarki hanya bisa ditumbangkan melalui penguasaan sistem.

Maka, santri harus berpartai dan menjadi politisi.
Kita tidak membutuhkan politisi yang sekadar berlabel Muslim, melainkan politisi yang memiliki integritas dan visi kenegaraan berlandaskan Maqashid Syariah—yaitu tujuan untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta umat.

Indonesia sedang menunggu para pemimpin yang lahir dari pesantren dan kampus Islam, yang berani bertarung di palagan politik, bukan demi jabatan atau kekayaan, tetapi demi kedaulatan bangsa dan kebahagiaan ummat.

Hanya dengan cara itulah warisan agung ini dapat diselamatkan dari cengkeraman oligarki, dan cita-cita luhur para founding father ulama dapat terwujud seutuhnya.(fir)



BACA JUGA

SULSEL TODAY