Friday, 5 December 2025 | 16:33 Wita

Hijrah Yang Menemukan Runah; Perjumpaan Menyelamatkan

Editor: Humas Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar

HidayatullahMakassar.id — Hari pertama Muhsin di Balikpapan terasa seperti lembar baru yang masih basah oleh sisa badai perjalanan.

Begitu keluar dari kantor kejaksaan, Muhtar PaE tak banyak bicara, cukup dengan satu anggukan ia meminta Muhsin mengikutinya.

Mereka melaju menuju rumah kediaman jaksa Muhtar PaE di Gunung Sari Ilir, meninggalkan hiruk-pikuk kantor Kejaksaan yang mulai sibuk dengan denyut paginya.

Jalanan berembun, udara masih menyimpan sisa dingin malam, dan
langkah Muhsin terasa seperti memasuki babak hidup yang sama sekali belum ia kenal.

Setibanya di rumah, Sitti Radiyah—Puang Radi, panggilan yang selalu melekat sejak masa kecil Muhsin di Panreng— mendadak terdiam.

Bukan karena kedatangan mendadak adiknya, tetapi karena wujud yang berdiri di hadapannya kini.

Baju kaos robek, sandal yang tak serasi warnanya, sarung lusuh tersampir di bahu, dan topi daun lontar yang masih digenggam erat.

Seakan semua getir perjalanan dari Makassar menempel pada tubuhnya.
“We fuang… Esseng, pole diga’i itu mai? Maga’i nappa’kitu… aga fura tafugau itu ndi ?” (Ya Allah…, Esseng (Muhsin) dari mana, apa yang engkau alami sampai seperti ini dek ?), bisik Puang Radi lirih.

Suaranya bergetar, bukan oleh kaget, melainkan oleh cinta seorang kakak yang menyaksikan adiknya dalam keadaan yang jauh dari layak.

Tanpa banyak tanya, Puang Radi segera bergerak. Ia mengambil handuk, menaruh baju bersih di atas kursi, lalu setengah memaksa Muhsin ke kamar mandi.

“Maiki’ ndi, attama’ki diolo’ di bola’e pacakkari’ ki alaleta, nappa ca’rita di daeng’ta maga’tumai ta tappa engka mappa’kitu” (Masuklah dulu bersihkan badan dulu dek. Ceritanya nanti saja).

Sementara itu Puang Radi bergegas ke dapur, menanak nasi, memanaskan ikan, dan menyiapkan teh hangat.

Gerakan-gerakan sederhana yang penuh kehangatan seorang kakak yang kembali menemukan adik yang disayanginya dalam keadaan rapuh.

Di ambang pintu kamar mandi, Muhsin sempat terdiam. Kehangatan dari kakaknya sudah lama tidak ia rasakan.

Sejak pelariannya di Parepare Muhsin tidak bisa merasakan kehangatan keluarga, tidak dari ayahnya, tidak dari ibunya, tidak dari kampung, tidak dari siapapun.

Kali ini, seorang kakak perempuan menjadi pelabuhan pertamanya. Tanpa ia sadari, ada bulir air jatuh di pipinya, bukan air laut, bukan air hujan, tetapi air bahagia yang menyeruak begitu saja dan tiba-tiba.

Selesai membersihkan diri, Muhsin duduk di meja makan. Di hadapannya, Puang Radi dan Muhtar PaE memperhatikannya dengan campuran cemas dan lega.

Aroma nasi hangat dan ikan goreng memenuhi ruangan, menyelinap ke dalam rongga hatinya yang sejak lama terasa kosong.

Untuk pertama kalinya sejak melarikan diri, ia bisa mengunyah makanan tanpa rasa gelisah. Suasana hatinya mulai stabil, di hadapan kakaknya, ia merasa kembali menjadi anak yang pernah dipeluk pada masa kecilnya.

Pelan-pelan, sambil menggenggam cangkir teh hangat, Muhsin mulai menceritakan semuanya, tentang Makassar, tentang pengejaran, tentang keputusan yang memaksanya meninggalkan kota itu demi menjaga harga diri dan amanah dakwah sampai tentang malam panjang di atas gelombang.

Muhtar PaE beberapa kali mengangguk, beberapa kali menahan napas—antara bangga dan khawatir. Puang Radi menutup mulutnya dengan sudut selendang, berusaha menahan emosi.

Setelah semuanya ia tuturkan, Muhsin menghela napas dan berkata pelan namun tegas, “Ada satu hal yang perlu kakanda ketahui. Dalam manifes kapal dari Parepare, nama yang saya gunakan bukan lagi Muhsin. Saya memakai nama Abdullah. Mulai hari ini, kakak sebaiknya memanggil saya dengan nama itu. Itu nama yang saya bawa dalam pelarian. Dan mungkin itulah nama yang Allah pilihkan untuk perjalanan baru ini.”

Puang Radi menatap adiknya, lama. Ada keharuan di matanya, tetapi juga rasa bangga yang sulit disembunyikan. Muhtar PaE mengangguk pelan, seolah menerima sebuah takdir yang baru ditetapkan.

“Baiklah, Abdullah…” kata Puang Radi dengan suara yang nyaris bergetar, “Kalau itu nama yang engkau pilih, maka itulah nama yang akan kami jaga.”

Dan pada pagi itu, di sebuah rumah sederhana di Gunung Sari ilir, lahirlah kembali seorang pemuda, bukan lagi Muhsin Kahar, tetapi Abdullah yang kelak akan menyalakan obor pengkaderan di penjuru negeri.(*)

*) Oleh : Dr Abdul Qadir MA, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA

SULSEL TODAY