Wednesday, 19 November 2025 | 10:40 Wita
Di Ujung Lautan, Saat Ombak Membawa Seorang Mujahid
HidayatullahMakassar.id — Fajar perlahan menyelinap dari ufuk timur, menyingkap tirai malam yang tersisa di atas laut. Cahaya pertama memantul di permukaan air yang masih bergelombang lembut, seperti helaian sutra yang bergerak pelan di bawah cahaya surga.
Kapal KM. Gandaria yang ditumpangi Muhsin Kahar mulai memperlambat laju, samar-samar tampak garis pantai Kalimantan di kejauhan, gelap hijau pepohonan yang berbaur dengan kabut pagi.
Muhsin menatapnya lama, seolah menatap jawaban dari doa yang baru saja dipanjatkannya dalam sujud yang panjang.
Angin laut membawa aroma tanah basah dan dedaunan tropis, aroma yang asing namun menenangkan.
Di dadanya, ada getar halus antara haru dan syukur bahwa Allah telah menuntunnya sampai di sini, ke sebuah tanah yang belum ia kenal, tetapi sudah tertulis dalam takdirnya.
Dalam hati, ia kembali berbisik, “Inikah tempat yang Engkau pilihkan, ya Rabb ?. Aku datang bukan karena tahu arah, tapi karena Engkau yang menunjukkannya.
Jika di sinilah Engkau ingin dakwah ini tumbuh, maka jadikanlah setiap langkahku bagian dari ladang amal dihadapan-Mu.”
Kapal perlahan bersandar. Suara rantai jangkar jatuh ke laut terdengar berat, seperti penanda bahwa satu bab kehidupan telah selesai, dan bab baru akan dimulai.
Di pelabuhan Kampung Baru Balikpapan, para penumpang mulai berkemas, ada yang bergegas, ada yang masih menatap laut, seakan belum siap meninggalkan perjalanan panjang itu.
Muhsin berdiri sejenak di tepi geladak, membiarkan angin pagi menyentuh wajahnya. Ia menarik napas panjang yang dalam sekali, seolah menyimpan aroma laut dan doa malam di dadanya. Lalu ia melangkah turun, menapakkan kaki di tanah baru dengan hati yang mantap.
Langit di atas Kalimantan kini telah terbuka lebar, membentangkan warna keemasan fajar. Seolah seluruh cakrawala sedang menyambut seorang perantau yang membawa misi suci.
Dan di sela desir angin pagi itu, Muhsin merasa seakan mendengar bisikan halus dari hatinya sendiri: “Hijrahmu telah diterima. Kini, waktunya menanam.
Dengan hati yang kembali tegak, ia melangkah turun dari kapal. Bismillah…, bisiknya lirih, kata yang menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Satu-satunya alamat yang ia ingat di kota yang asing ini adalah Kantor Kejaksaan Balikpapan di Klandasan, tempat sang kakak ipar, Muhtar PaE, bekerja sebagai pegawai kejaksaan.
Muhtar PaE merupakan suami dari Sitti Radiyah Kahar (Puang Radi), keluarga terdekat yang dapat ia tuju. Puang Radi sendiri merupakan putri dari Kiai Kahar Suaib dengan istri keduanya, Andi Bunyan, yang dari pernikahan itu pula lahir Ustadz Zubair Kahar (Puang Bere) kelak menjadi imam Masjid Antam Pomala’a.
Dari Pelabuhan Kampung Baru hingga Klandasan jaraknya cukup jauh, sekitar lima belas kilometer. Maka Muhsin pun menyusuri jalan itu dengan langkah yang tenang namun waspada.
Sembari berjalan, pikirannya berputar mencari alasan yang pantas untuk menjelaskan kedatangannya yang tiba-tiba.
Apalagi dengan penampilan seadanya; kaos yang sengaja ia sobek, sandal jepit yang tidak sepasang, sarung yang ia selempangkan ke bahu, dan topi daun lontar yang masih ia genggam.
Penampilan itu bukan tanpa maksud, ia ingin mengecoh siapa pun yang mungkin mencarinya. Tetapi kini ia sadar bahwa ia harus dapat menjelaskan semuanya kepada keluarga dan pihak-pihak yang ada di kantor kejaksaan.
Ketika akhirnya ia tiba di halaman Kantor Kejaksaan Klandasan, matahari telah meninggi. Muhtar PaE yang melihatnya pertama kali langsung terperanjat karena kedatangan Muhsin benar-benar di luar dugaan.
Tanpa menunggu lama, ia membawa Muhsin masuk dan mulai mengajukan pertanyaan bertubi-tubi.
Apa yang terjadi, mengapa ia datang tanpa pemberitahuan, dan yang paling membuatnya heran, mengapa adik iparnya ini berpenampilan demikian.
Muhsin menghela napas pelan, lalu mulai menceritakan apa yang terjadi di Makassar.
Tentang pengejaran, tentang pergolakan moral, tentang perjuangan melawan judi Lotto, dan alasan mengapa ia akhirnya harus hijrah diam-diam.
Muhtar PaE mendengarkan dengan wajah tegang. Sebagai kakak ipar, hatinya sebenarnya bangga terhadap keberanian Muhsin, tetapi sebagai pejabat kejaksaan, ia juga harus memikirkan aturan, risiko, dan konsekuensi hukum.
Di tengah kebingungan itulah, Kepala Kejaksaan, Alimin Mappanyompa, S.H., yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan, tiba-tiba angkat bicara.
Dengan suara tenang namun tegas, ia berkata, “Berpihak pada keluarga itu penting, apa pun kesalahannya.” Ucapan itu jatuh seperti cahaya baru di ruangan yang semula tegang.
Muhtar PaE langsung merasa dadanya lapang, seakan beban yang menekan pundaknya terangkat.
Muhsin pun menundukkan kepala, menahan rasa syukurnya dan yakin sepenuhnya bahwa Allah sedang menuntun dan melindunginya di tanah yang baru ia pijak ini.(bersambung ke seri 53/*)
Oleh : Dr Abdul Qadir Mahmud MPd, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar
TERBARU
-
Penerimaan Siswa Baru Al Bayan Islamic School
19/11/2025 | 17:10 Wita
-
Di Ujung Lautan, Saat Ombak Membawa Seorang Mujahid
19/11/2025 | 10:40 Wita
-
Menuju Negeri yang Dikehendaki Allah
15/11/2025 | 05:39 Wita
FOTO
Penerimaan Siswa Baru Al Bayan Islamic School
19/11/2025 | 17:10 Wita
Galeri – Silaturahmi Pagi Jelang Sosialisasi BP Munas
07/09/2025 | 08:03 Wita