Kamis, 19 Maret 2020 | 10:59 Wita
Perihal ijtima Jamaah Tablig di Gowa Sulsel
■ Oleh: Imam Shamsi Ali*
HidayatullahMakassar.id — Berhubung banyaknya yang menyampaikan pertanyaan dan meminta pendapat saya tentang rencana ijtima Jamaah Tablig di Kabupaten Gowa, Sulsel, di tengah merebaknya Covid 19, berikut saya sampaikan pendapat pribadi saya. Semoga pendapat saya ini bisa menjadi pertimbangan bagi semua pihak sehingga dapat mengambil jalan keluar terbaik dan terbijak.
Pertama, dari segi agama memaksakan ijtima atau perkumpulan jelas bertentangan dengan ajaran agama yang selalu mendahulukan keselamatan manusia. Manusia dan keselamatannya menjadi perhatian utama Islam dalam ajarannya.
Jika anda menjalankan agama dan hidup anda terancam maka amalan agama tersebut harus/wajib dibatalkan. Berpuasa Ramadan itu wajib. Tapi jika dalam menjalankannya nyawa pelakunya terancam maka wajib dibatalkan.
Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa penyebaran wabah Corona terutama disebabkan oleh interaksi manusia. Maka jelas ijtima ini bisa dikategorikan membahayakan hidup manusia. Maka tentunya yang Ashkar (paling benar) adalah meninggalkannya. Apalagi pertemuan itu hanya sebuah rencana kelompok ummat yang insya Allah baik. Tapi tidak secara langsung diperintahkan oleh Allah dan RasulNya.
Kedua, dasar penetapan sebuah hukum agama itu jelas dasarnya. Salah satu yang terpenting adalah bahwa sebuah ketetapan hukum tidak menimbulkan kemudhoratan (bahaya) kepada manusia, apalagi yang sifatnya umum.
Dalam sebuah kaidah disebutkan: “laa dhorar wa laa dhiraar” (tidak berbahaya dan tidak membahayakan).
Berkumpulnya banyak orang sudah menjadi pengetahuan umum berbahaya dan membahayakan. Berbahaya bagi yang hadir di tempat tersebut. Dan juga membahayakan bagi masyarakat umum yang tidak hadir karena sejatinya yang hadir itu akan kembali ke masyarakatnya.
Karenanya ijtima’ Tablig itu bisa masuk dalam kategori melanggar sebuah dasar penting dari agama ini.
Ketiga, pertimbangan Islam dalam memutuskan sesuatu selalu berdasar kepada asas manfaat. Atau sebaliknya didasarkan kepada asas menolak mudhorat atau bahaya.
Juga dalam sebuah kaedah agama disebutkan: dhor’ul mafaasid muqoddam alaa jalbil manaafi’. Artinya menolak atau menghalangi kemungkinan terjadinya kerusakan/bahaya itu harus diutamakan dari sekedar pertimbangan mendapatkan kemanfaatan.
Ini yang menjadi salah satu pertimbangan kami di Amerika kenapa untuk sementara masjid-masjid kami tutup dari sholat-sholat jamaah, bahkan Jumatan.
Berjamaah itu manfaatnya besar. Tapi menjaga terjadinya bahaya penularan wabah lebih kami kedepankan ketimbang pahala besar itu. Kami yakin, melakukan ini juga merupakan pintu pahala dari Allah SWT.
Karenanya ijtima Jamaah Tablig di tengah merebaknya wabah Corona ini tidak sejalan dengan kaidah dasar hukum Islam. Sebab jelas mudhorat seolah sengaja dibukakan pintunya.
Keempat, agama Allah ini memilki karakteristik-karakterisik yang luar biasa. Sempurna, imbang, saling terkait dan terikat, serta selalu mengedepankan pertimbangan keilmuan dan rasionalitas.
Jangan atas nama iman dan tawakkal lalu dengan enteng meniadakan pertimbangan-pertimbangan realitas yang ada. Iman dan tawakkal itu bukan buta. Tapi juga berdasarkan keilmuan dan kita rasionalitas.
“Fa’lam annahu laa ilaaha illa Allah” (ketahuilah bahwa tiada Tuhan selain Allah). Itu salah satu ayat yang mengikat keimanan dengan ilmu. Bahwa iman bukan sekedar pertimbangan rasa atau emosi. Tapi keilmuan dan logika.
Ketika Umar membatalkan keberangkatannya ke tanah Syam karena adanya wabah, bukan beliau tidak beriman dengan Qadar Allah. Justeru beliau mengetahui bahwa Qadar Allah itu hanya diketahui ketika sudah menjadi realita di hadapan mata kita. Sebelum menjadi realita Qadar Allah yang lain mengatakan: lakukan ikhtiarmu untuk menghindari keburukan dan bahaya itu.
Karenanya Umar mengatakan: “saya melarikan diri dari Qadar Allah ke Qadar Allah yang lain”.
Seorang sahabat yang merasa tawakkalnya besar kepada Allah dengan meninggalkan ontanya tanpa diikat. Kata Rasulullah SAW: “ikat ontamu dulu baru tawakkal”.
Karenanya Ijtima’ Tablig di Gowa atas nama iman dan tawakkal tanpa menghiraukan imbauan para ahli dan pemerintah bisa saja justeru melanggar makna iman dan tawakkal yang sesungguhnya.
Kelima, agama Islam itu mengedepankan kemanfaatan dan kemaslahatan kepada sesama dan lingkungan. Rasulullah menyampaikan bahwa orang yang terbaik adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada manusia lainnya.
Sebaliknya dikecam Bani Israil dalam Al-Quran karena kenderungan mereka untuk melakukan kerusakan di atas bumi ini. “Latufsidunna fil-Ardhi marrathain” (kamu berbuat kerusakan di atas bumi berulang).
Jika telah menjadi pengetahuan umum bahwa salah satu cara penularan wabah ini adalah dengan berkumpulnya banyak orang, dan tetap dilaksanakan perkumpulan itu maka jelas hal itu melanggar asas etika kemanfaatan. Bahkan lebih bahaya dianggap sengaja menyebarkan kerusakan/bahaya di kepada manusia lainnya.
Keenam, Islam mengajarkan bahwa sesama Muslim itu adalah bersaudara. Dan karenanya jangan saling menyakiti dan menzholimi. “Laa tazhooamu” (jangan saling menzholimi) adalah salah satu pesan Rasul kepada Umat ini.
Ketika kita kita sudah tahu dari informasi yang berdasarkan keilmuan, bahkan telah menjadi kesepakatan umum bahwa berkumpul lalu menyebar berarti kemungkinan ikut menyebarkan wabah tersebut maka kita telah menzholimi manusia di sekitar kita.
Karena itu ijtima Jamaah Tablig ini bisa masuk kategori membawa kezholiman kepada sesama manusia dengan cara menjadi penyebab tersebarnya wabah tersebut. Apalagi kita tahu bahwa Jamaah Tablig itu setelah ijtima akan kembali ke tempat masing-masing. Bahkan yang lebih buruk lagi ketika mereka bertebaran “khuruj” ke berbagai tempat. Maka dengan sendirinya mereka telah membawa wabah itu ke berbagai tempat yang awalnya aman.
Bukankah itu sebuah kezholiman kepada saudara-Saudara sesama Muslim? Saya katakan Muslim karena target Dakwah Jamaah Tablig adalah kantong-kantong Umat Islam di masjid-masjid.
Ketujuh, salah satu ajaran penting agama ini adalah bahwa Umat Islam harus taat kepada pemimpin-pemimpinnya. Tentu ketika pemimpin itu memerintahkannya kepada hal-hal yang tidak menentang Allah dan RasulNya.
Pemimpin daerah Sulsel dan Kabupaten Gowa telah mengarahkan agar ijtima itu ditunda. Bukan membatalkan. Maka harusnya panitia sebagai warga yang baik sekaligus Muslim Yang baik harus mentaatinya. Karena anjuran (perintah) itu berdasarkan kemaslahatan peserta ijtima dan warga masyarakat secara umum.
Apalagi memang dalam sebuah tatanan institusi, negara atau daerah, pelaksanaan sebuah acara harus dengan izin dari otoritas. Pertanyaannya apakah ijtima itu telah mengantongi Izin atau tidak? Apalagi ijtima Jamaah Tablig kita kenal melibatkan orang-orang luar Indonesi. Maka seharusnya memang ada koordinasi sekaligus izin dari otoritas atau pemerintah.
Demikian pendapat saya mengenai hal ini. Saya juga adalah bagian dari Jamaah Tablig. Saya pernah khuruj di India dan Pakistan. Bahkan mungkin jauh sebelum mereka yang aktif saat ini. Saya tahu Jamaah Tablig. Dan saya apresiasi usaha-usaha Dakwah mereka yang luar biasa karena Allah SWT.
Semoga pendapat saya ini tidak disalah pahami. Kalau sekiranya tidak sependapat, minimal semoga menjadi masukan yang ada manfaatnya, walau secuil.
New York, 18 Maret 2020
*) Direktur, Jamaica Muslim Center, Presiden Nusantara Foundaiton, Pendiri Pesantren Nur Inka Nusantara Madani USA
TERBARU
-
Perubahan
29/11/2024 | 08:04 Wita
-
Kadep Perkaderan Hidayatullah Raih Doktor di UIN Makassar. Ungkap Strategi Komunikasi Dakwah Pendiri Hidayatullah
26/11/2024 | 13:38 Wita
-
Transformasi dan Transmisi di Masa Transisi Hidayatullah
24/11/2024 | 07:58 Wita