Jumat, 21 Februari 2020 | 08:51 Wita
Berpikir Kritis
■ Oleh : Dr H Aswar Hasan MS, Dosen Unhas dan Pengurus ICMI Sulsel
HidayatullahMakassar.id — Manusia adalah makhluk berpikir. Itulah yang membedakannya dengan makhluk lainnya. Diantara ciri manusia yang berpikir adalah jauh dari prasangka karena orang yang selalu berprasangka adalah pekerjaaan orang bodoh.
Itulah sebabnya penulis kenamaan Amerika Mark Twain menasehatkan untuk tidak tergiring berdebat dengan orang bodoh karena mereka orang bodoh itu hanya akan menjatuhkan derajat kita turun menjadi selevel dengan mereka. Perdebatan kita dengan orang bodoh itu, akan menjadi debat kusir yang tak mungkin menemukan solusi.
Berpikir menjadi penting dalam hidup. Salah satu faktor penentu keberhasilan kita dalam menjalani hidup dan kehidupan adalah dengan berpikir. Berpikirlah sebelum engkau berucap, karena dosa anak Adam paling banyak itu, terdapat pada lisannya (Hadits Ath Thabrani).
Permasalahannya bagaimanakah agar kita bisa berpikir? Khususnya berpikir secara kritis. Orang- orang pintar telah merumuskan bahwa setidaknya kita membutuhkan 7 langkah dalam berpikir kritis, yaitu: Pertama, kenali masalah. Hakekat masalah adalah terjadinya kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan pada kenyataannya. Kedua, kumpulkan informasi. Kita butuh infomasi terkait dengan masalah yang sedang kita hadapi. Ketiga, pilah masalahnya berdasarkan fakta secara obyektif dan klasifikasi kannya. Keempat, berdasarkan hasil klasifikasi tersebut, buat skala prioritas. Kelima, cermati secara kritis skala prioritas tersebut, lalu simak pandangan yang mengkritisinya (melihatnya secara dialektik). Keenam, lakukan analisa data secara cermat dan obyektif. Ketujuh, buat keputusan untuk kesimpulan sebagai tindakan solutif.
Ketujuh tahap berpikir kritis yang solutif tersebut, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ciri setidaknya 4 (empat) ciri dalam berpikir dan bertindak, yaitu: Pertama, senantiasa melihat masalah secara obyektif berdasarkan fakta dan data. Kedua, jauh dari prasangka dan persepsi negatif. Ketiga, menyadari bahwa terdapat ketidaktahuannya di balik apa yang dia ketahui. Keempat, memposisikan para pengkritiknya, lawannya dalam berpendapat sebagai teman dalam berpikir.
Memposisikan lawan berpendapat atau para pengkritik kita sebagai teman adalah memang sungguh sulit. Karena kita kerap di kelilingi para penghasut dan pembisik yang punya motif lain. Dalam pada itu, menjadi bijak jika kita mau mencontoh Voltaire, penulis dan filsuf Perancis yang mengatakan: “Saya tidak setuju dengan apa yang anda katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak anda untuk mengatakannya”.
Kalimat Voltaire tersebut, tampaknya perlu disimak untuk ditauladani, khususnya bagi para ilmuan kita yang konon sebagian diantara mereka, daya kritisnya sudah bisa ditawar. Demikian pula terhadap sebagian para pemimpin di negeri ini yang anti kritik dan memperlakukan para pengkritiknya sebagai musuh yang harus disingkirkan.
Tidak kalah pentingnya daya kritis secara benar dan tepat itu, penting diamalkan bagi para politisi kita, karena masih ada diantara mereka menyalahgunakan tujuan berpikir kritis. Bukannya untuk memperbaiki dan menyelamatkan negara untuk mensejahterakan rakyat, tetapi mereka kritis untuk semata berkuasa dan memperkaya diri dan kelompoknya. Wallahu A’ lam Bishawwabe.■
TERBARU
-
Transformasi dan Transmisi di Masa Transisi Hidayatullah
24/11/2024 | 07:58 Wita
-
Nilai dan Keutamaan Hidup Muhammad Sebelum jadi Rasul
22/11/2024 | 06:04 Wita
-
Raih Belasan Medali, Atlet Tapak Suci Pesantren Ummul Quro Hidayatullah Tompobulu Terbaik di Kejurnas UINAM Cup
18/11/2024 | 05:42 Wita