Saturday, 15 November 2025 | 05:39 Wita

Menuju Negeri yang Dikehendaki Allah

Editor: Humas Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar

HidayatullahMakassar.id — Di tengah laut, di bawah sinar lampu kapal, Muhsin memetakan tempat-tempat dalam kapal khususnya tempat dimana dia bisa melaksanakan shalat malam.

Malam itu Muhsin melalui malam-malam dengan merefleksi kembali perjalanannya selama di Makassar bersama teman-teman sepergerakannya.

Ia menghabiskan malam tanpa tidur yang cukup, selain awas dari mata-mata, riuh “penumpang” kapal lainnya suara sapi dan binatang yang lain tak bisa membuatnya benar-benar tidur.

Muhsin memilih membuka catatannya, tangannya gemetar oleh udara dan rasa, namun tulisan itu tetap mengalir, seperti gelombang yang menolak tenang.

Di antara dentum mesin dan deru angin, ia menulis dengan hati yang terbuka:

“Laut ini luas, tapi lebih luas lagi rahasia takdir. Setiap ombak yang datang seolah berbisik: jangan takut, teruslah berlayar. Angin bisa berbalik arah, tapi tujuan tak boleh goyah. Hidup bukan tentang kemana kapalmu tertiup, tapi tentang siapa yang menahkodainya.”

Ia berhenti sejenak, menatap garis laut yang menyatu dengan langit. Bintang-bintang bertaburan seperti huruf-huruf langit yang membentuk kalimat rahasia.

Dalam keheningan itu, ia merasa seakan ayah dan ibunya sedang menatap dari kejauhan dari langit Malimongan Baru yang jauh di belakang sana.

Muhsin kembali menulis, kali ini lebih perlahan, lebih dalam: “Ayah, Ibu, doakan anakmu yang kini berlayar di samudra tak dikenal. Anakmu membawa bekal dari pesan-pesan kalian; sabar, jujur, dan jangan pernah tunduk pada kebatilan. Jika kelak aku tergelincir, semoga ingatan pada Allah dan pada rumah menjadi tali yang menarikku kembali.”

Angin malam menampar lembut wajahnya, membawa aroma garam dan bunyi rantai jangkar yang bergesekan. Ia menutup buku catatannya dengan hati yang lebih ringan.

Laut kini bukan lagi sekadar hamparan air, tapi cermin dari dirinya sendiri, gelisah namun beriman, kecil namun berani menghadapi kedalaman.

Waktu menyisakan sepertiga malam terakhir. Laut masih bergemuruh, tapi langit di atas kapal tampak jernih, bertabur bintang yang berkilau seperti butir doa yang tergantung di langit takdir.

Muhsin bangkit perlahan dari tempat duduknya, menuju ruang sunyi di antara geladak yang berderit oleh angin.

Di sanalah, di bawah cahaya lampu kapal yang temaram dan suara ombak yang menepuk-nepuk lambung kapal, ia menegakkan shalat malamnya.

Angin laut berhembus lembut, menggoyangkan badannya, sementara ombak berdebur seperti dzikir panjang yang tak pernah henti.

Dalam sujud-sujudnya yang dalam, Muhsin menumpahkan segalanya; kerinduan, ketakutan, dan harapan yang membuncah.

Air matanya jatuh, bercampur dengan dingin angin laut yang menggigit. Dalam setiap napasnya, ia merasa semakin dekat dengan Sang Pemilik arah.

Muhsin berbisik lirih, suaranya tenggelam dalam gemuruh samudra,
“Ya Allah…”
“Engkau yang menuntun langkah hamba ini meninggalkan kampung halaman, bukan untuk lari, tapi untuk mencari ridha-Mu di tanah yang baru.
Bila Pulau Kalimantan menjadi tempat perhentian ini, maka jadikan ia tanah yang Engkau berkahi.
Bila Engkau kehendaki hamba melangkah lebih jauh lagi, ke pulau manapun di negeri ini atau bahkan di seberang samudra yang tak kukenal, maka tuntunlah langkahku menuju tempat yang Engkau pilihkan.
Jadikan tanah itu tempat dakwah bertumbuh, tempat ilmu menegakkan cahaya, tempat generasi bangkit dari gelap menuju iman.”

Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan suara yang bergetar:
“Ya Rabb, kuatkan pundak ini untuk menanggung ujian.(*)

*) Oleh : Dr Abdul Qadir Mahmud MPd, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA

SULSEL TODAY