Tuesday, 28 October 2025 | 06:57 Wita

Konsekuensi Syura’ dan Eksistensi Hidayatullah sebagai Jama’atun Minal Muslimin di Munas VI

Editor: Humas Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar

Oleh : Ust Drs H Ahkam Sumadiyana MA, Murabbi Nasional dan Badan Pembina Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar

HidayatullahMakassar.id — Menjalankan kewajiban syura’ atau musyawarah dalam kehidupan berjama’ah saat ini membutuhkan perjuangan dan pengorbanan di atas segala-galanya. 

Terutama karena faktor arus deras dan gelombang demokratisasi yang disponsori oleh konglomerat kelas kakap dan didukung politikus global serta negara adi daya sebagai lokomotif untuk menolak sistem kehidupan Islam,

Namun dengan modal JATIDIRI dan GNH kader Hidayatullah cukup percaya diri bahwa dinamika perjuangan senantiasa berjalan sesuai dengan wahyu sistem.

Sebab karakter tersebut menjadi ciri khas warisan pendiri Hidayatullah Ust. Abdullah Said Rahimahullahu Ta’alaa.

Melalui mainsream tarbiyah dan dakwah, Hidayatullah berusaha mewujudkan visi membangun peradaban Islam secara efektif dan efesien.

Terbukti pada saat Munas VI Hidayatullah di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pekan lalu, sangat kental dengan nuansa Islami.

Hakekat syura’ dalam al-Qur’an;
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَۚ ۝٣٨
Artinya : Orang-orang yang menerima seruan Rabb dan melaksanakan shalat, sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka (Asy-Syuraa:38).

Perintah Syura’ atau musyawarah hanya dapat diamalkan oleh orang-orang yang senantiasa menegakkan sholat dan menunaikan zakat, karena tujuan utama syura’ adalah mengambil dan memutuskan perkara yang mendekati kebenaran al-qur’an dan sunnah.

Makanya tidak dibutuhkan syura’ apabila dalilnya sudah jelas dalam syariat islam.

Syura’ adalah Konsekuwensi Hidup Berjama’ah

Secara subyektif kader Hidayatullah boleh saja berbesar hati sembari bersyukur atas semua karunia dan nikmat dari Allah Swt.

Dengan positioning sebagai jama’atun minal muslimin dan masih banyak kelemahan Hidayatullah, namun berusaha seoptimal mungkin untuk menjalankan perintah Allah Swt agar senantiasa bermusyawarah dan menjalankan nilai nilai yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai berikut:


وَ أَناَ اَمَرَكُمْ بِخَمْشٍ, اَللهُ أَمَرَنِيْ بِهِنَّ: اَلْجَمَاعَةِ, وَالسَّمْعِ, وَ الطَّاعَةِ وَالْهِجْرَةِ وَ الْجِهَادِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ, فَإِنَّ مَنْ فَرَقَ الْجَمَاعَةَ قِيْدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الإِسْلاَمِ مِن عُنُقِهِ إِلاَّ أَنْ يَرْجِعَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَإِنْ صَلَّي وَ صَامَ؟ قَالَ: وَإِنْ صَامَ وَ صَلَّي وَ زَعَمَ أَنَّهُ الْمُسْلِمُ. (رواه أحمد)
Artinya; “Dan aku diperintahkan kepada kalian lima hal. Sesungguhnya Allah Swt memerintahkan kepadaku lima perkara yaitu: berjama’ah, mendengar, thaat, hijrah dan berjihad di jalan Allah. Barangsiapa keluar dari jama’ah sejengkal saja, maka ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya, sehingga ia kembali lagi”. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, sekalipun dia shalat dan puasa?” Rasulullah SAW berwabda:“ Sekalipun dia puasa, shalat dan mengaku Muslim” (HR. Ahmad).

Pertama Berjama’ah, maknanya berkumpul atau berorganisasi, kesadaran hidup berjama’ah ini mengiringi kehadiran peserta Munas. Yang lebih menarik karena musyawirin terdiri dari generasi awal hingga generasi milenial, sangat faham serta yakin terhadap eksistensi Hidayatullah sebagai jama’ah.

Khususnya Hidayatullah sebagai Jam’atun minal muslimin, bahkan semua kader terbaik yang hadir tahu persis konsekuensi hidup berjama’ah sehingga peserta Munas sudah siap menerima amanah untuk memimpin dan siap untuk dipimpin.

Kedua Mendengar, Syura’ atau musyawarah nasional Hidayatullah terasa begitu sakral dan Islami, terbukti dalam forum yang mulia tersebut selama musyawarah berlangsung semua peserta senantiasa aktif dan partisipatif, sabar dan ikhlas untuk mendengarkan seluruh materi dan pemaparan yang disajikan dalam forum musyawarah nasional.

Tubuh boleh lelah, mata boleh terkantuk-kantuk tetapi pendengaran tetap terjaga. (kecuali penulis ini karena sudah terganggu fungsi pendengaran)

Ketiga Taat, dalam hal ketaatan ini, kader Hidayatullah cukup dikenal oleh semua harakah dan ormas Islam, karena sejak awal ust.Abdullah Said Rahimahullah menanamkan prinsip ketajaman garis komando.

Taat terhadap syariat Islam dan taat terhadapan kepemimpinan. Sebagai musyawirin juga taat terhadap tata tertib dalam forum musyawarah nasional.

Keempat Hijrah, Sedangkan hijrah di sini maknanya adalah menjadikan Munas Hidayatullah tidak seperti forum demokrasi yang jauh dari norma-norma syariat Islam.

Bagi kader Hidayatullah, Munas adalah forum yang sangat mulia, sakral dan terhormat, merupakan momentum yang sangat strategis untuk mewujudkan ta’aruf, tafahum, ta’awun takaful dan soliditas ukhuwah Islamiyah.

Kelima Jihad fii Sabilillah, Spirit dan motivasi peserta Munas Hidayatullah adalah jihad di jalan Allah Swt, bahkan kita senantiasa berdo’a kepada Allah Swt agar dapat mati syahid.

Sekaliput untuk mendapatkan mati syahid syaratnya tidak mudah, namun tetap ada keyakinan asalkan kita istiqamah dalam lembaga perjuangan khususnya Hidayatullah yang merupakan al-harakatul al-jihadiyah al-islamiyah, in sya Allah kita bisa mati syahid.

Wajib istiqamah berjama’ah, karena syariat Islam bukan hanya keyakinan dan ibadah, tanpa tegaknya jama’ah atau kepemimpinan. Makanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Sekalipun ia puasa, ia shalat dan mengaku muaslim”.

Ada catatan bahwa dibolehkan meninggalkan jama’ah apabila tidak ditemukan jama’ah yang berpegang kepada al-qur’an dan as-sunnah. Wallahu ‘Alam.(*)



SULSEL TODAY