Rabu, 30 Juli 2025 | 06:29 Wita
Abdullah Said, Tafsir Sunyi Seorang Pejuang

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Langit Makassar masih menyisakan kabut pagi ketika kabar itu menembus batas-batas sunyi.
Kabar tentang penyergapan yang gagal, tentang seorang pemuda yang melesat lolos dari jerat kekuasaan. Dari lorong-lorong masjid, dari bilik-bilik rapat yang dulu sunyi kini bergemuruh dalam diam.
Setiap kader muda, setiap sepuh yang pernah mengecap pahit getir perjuangan, merasakan detak yang sama: harap, cemas, dan do’a yang mengalir tiada henti.
Udara Masjid Lailatul Qadri masih diselimuti sisa-sisa keheningan malam. Usai takbir pertama menggema, dua sosok melangkah perlahan ke barisan depan, Manshur Salbu dan Mahyuddin Thaha, sahabat seperjuangan yang wajahnya tampak lebih berat dari biasanya.
Mereka ikut larut dalam shalat subuh berjamaah yang dipimpin langsung oleh Kiyai Kahar Suaib, sosok sepuh yang dikenal karena ketenangan dan jiwa besarnya.
Begitu salam terakhir diucapkan, Kyai Kahar menoleh ke belakang. Pandangannya langsung bertemu dengan mata Manshur dan Mahyuddin dan dalam satu tarikan napas, beliau sudah bisa membaca gelombang sunyi yang dibawa keduanya. Tak ada kata yang terucap, tapi getarannya terasa.
Naluri seorang ayah dan pejuang membuatnya peka. Ia tahu, ada kabar yang hendak disampaikan, kabar penting dan mungkin berat.
Tanpa banyak tanya, Kyai Kahar berdiri, lalu memberi isyarat halus, “Mari ke rumah,” ucapnya pendek, namun cukup untuk memecah hening dan mengantar langkah mereka keluar dari masjid menuju percakapan yang akan mengaduk haru dan rasa dalam dada.
Mereka duduk di ruang tengah rumah sederhana orang tua Muhsin. “Kyai,” bisik Manshur lirih ketika mereka telah duduk, “penggerebekan terjadi semalam di Parepare, tapi Muhsin selamat dan lolos dari penyergapan.”
Kyai Kahar tak langsung menanggapi. Ia hanya menarik nafas dalam, lalu mengangguk pelan. Senyumnya tipis, nyaris tak terbaca, namun dari balik sorot matanya, tampak keyakinan yang tak tergoyahkan.
“Alhamdulillah… Muhsin sudah mulai merasakan pahit-manisnya berjuang,” katanya pelan. “Itu bekal untuk jadi manusia terhormat. Jangan biarkan kobaran di hatinya padam.”
Ia menepuk lembut pundak Mahyuddin dan Manshur, penuh rasa dan makna, lalu menoleh pada dua putra lelakinya, Lukman dan As’ad Kahar, yang juga hadir pagi itu.
Suaranya tenang namun bergetar penuh keyakinan, “Jaga langkah kalian. Jangan hanya jadi penonton sejarah. Jadilah bagian dari nyala perjuangan yang telah dipantik oleh Muhsin.”
Sementara itu, dari dalam dapur, Aisyah atau Puang Ica, ibu Muhsin tengah menyiapkan minuman hangat untuk mengusir dingin subuh, meski tak sepenuhnya mampu menghangatkan hati yang diliputi cemas.
Tangan lembutnya bergerak terlatih, seperti sudah hafal dengan ritme hidup yang menuntut keteguhan. Bibirnya tak berhenti melafalkan dzikir, menenun harap di setiap helaan napas.
Matanya sembab, tapi tak ada air mata yang tumpah, hanya kabut bening yang menggantung diam-diam. Ia tahu, Muhsin kini berjalan dalam bayang-bayang. Tapi dalam hatinya, keyakinan berbisik; bayangan itu akan menuntun anaknya menuju cahaya.
Nun jauh di Mattiro Tasi, Parepare, Muhsin masih bersila, berzikir dalam redup fajar. Di belakangnya, M Yunus dan Abdul Fattah turut larut dalam do’a, menyelipkan harap agar langit membuka jalan, agar malam nanti membawa jawab atas kegelisahan yang tak pernah reda.
Tiba-tiba… pintu rumah diketuk; Tok… tok… tok…
Ketukan pelan tapi pasti itu memecah kesunyian. Semua yang ada dalam rumah saling berpandangan.
M Yunus bangkit dan mengintip dari balik gorden. Nafasnya lega, yang datang adalah pemuda yang dikenal sebagai penghubung dari H. Badiu.
Begitu pintu terbuka, pemuda utusan itu langsung berbisik cepat, nadanya tegas tapi nyaris tak terdengar, “Pesan dari Haji Tahir Parenta. Malam ini, tanggal 25 Desember, ada perahu barang menuju Kalimantan. Segera siapkan semuanya. Waktu kita sempit.”
Muhsin tertegun, matanya membelalak sesaat, lalu menatap M Yunus dan Abdul Fattah. Tak ada dialog panjang, hanya genggaman erat dan senyum singkat yang menyingkirkan sejenak rasa gentar.
Malam nanti, tanah kelahiran ini akan ia tinggalkan, bukan karena kalah, tapi karena keyakinan bahwa setiap langkah menjauh justru mendekatkannya pada tujuan yang lebih hakiki.
Muhsin akan pergi membawa bukan hanya tubuhnya, tapi juga cita, luka, dan api perjuangan yang terus menyala dalam dada. Ia pergi bukan untuk menghilang, tapi untuk kembali dalam bentuk yang lebih kuat sebagai suluh bagi generasinya.(bersambung ke seri 49/*)
*) Oleh: Dr Abdul Qadir Mahmud, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar

TERBARU
-
Abdullah Said, Tafsir Sunyi Seorang Pejuang
30/07/2025 | 06:29 Wita
-
Abdullah Said, Jejak yang Tak Terpadamkan
28/07/2025 | 09:40 Wita
-
Rejuvenasi Sesungguhnya: Alih Konsepsi dan Generasi
25/07/2025 | 20:41 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita