Senin, 28 Juli 2025 | 09:40 Wita

Abdullah Said, Jejak yang Tak Terpadamkan

Editor: admin
Share


SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Langit Makassar masih berpendar ungu kelam saat kabar itu datang, perlahan seperti hembusan angin laut, namun mengguncang dada siapa pun yang mendengarnya.

Desas-desus itu tak membentuk gema, tapi cukup membuat lorong-lorong kantor Kodim 1408 Makassar bergetar oleh bisikan yang dipaksakan tetap tenang.

“Dia lolos… katanya lolos,” bisik seorang anggota staf intel, menutup mulutnya dengan telapak tangan. “Siapa? Yang di Parepare itu?” sahut yang lain, separuh berbisik, separuh tak percaya.

“Ya. Muhsin Kahar. Penggerebekan tadi sore gagal, dia menghilang lagi.”
Sementara itu, di luar terminal Maros, Manshur Salbu baru menjejakkan kakinya di tanah Makassar.

Dari Parepare ia datang dengan langkah santai, menenteng tas kecil di tangan kanan dan menggenggam jaket lusuh di tangan kiri.

Tapi begitu memasuki rumah tumpangan, wajah Mahyuddin Thaha yang menantinya sudah tegang, seperti menyimpan badai dalam dada.
Mahyuddin segera menarik Manshur masuk, menutup pintu perlahan namun waspada.

“Bagaimana keadaan Muhsin saat kau tinggalkan?” tanyanya langsung, matanya menatap tajam. “Alhamdulillah, dia sehat. Rencana awal tetap seperti yang kita sepakati,” jawab Manshur, suaranya pelan.

Namun Mahyuddin mendekat, berbisik lebih dalam. “Tapi… ada kabar. Menjelang maghrib tadi, hotel persembunyian itu digerebek aparat dari Makassar.”

Manshur mematung sejenak. Jantungnya berdetak cepat. “Muhsin?” gumamnya lirih. Wajahnya menegang, seperti langit yang baru mendung. Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera bersiap.

Mahyuddin mengeluarkan Vespa lamanya, kendaraan yang dulu dipakainya mengantar Muhsin ke Parepare. Dan bersama Manshur, mereka melaju menuju Makassar untuk bertemu para sepuh dan sahabat seperjuangan.

Di serambi Masjid Raya Makassar, angin malam mengalir lembut, meniup dedaunan yang luruh seperti membawa kabar dari langit.

Usai salat Isya, Abdul Djalil dan beberapa kawan masih duduk melingkar, membicarakan masa depan pengkaderan yang terasa rapuh sepeninggal Muhsin Kahar.

Tiba-tiba, langkah cepat memecah malam. Manshur dan Mahyuddin masuk tergesa, tanpa permisi. “Sudah dengar kabar dari Parepare?” tanya Mahyuddin dengan napas tertahan.

Djalil menatapnya, tajam dan waspada. “Apa maksudmu?” “Penggerebekan tadi sore menjelang Maghrib. Intel dari Kodim sini. Tapi… Muhsin lolos !”

Sejenak keheningan menggantung di udara. Lalu tubuh Djalil perlahan menunduk, bersujud syukur. Air matanya menetes di lantai serambi Masjid Raya. Disusul oleh yang lain, satu per satu bersujud, lirih berdoa dalam keharuan. “Ya Allah… lindungi saudara kami… kuatkan langkahnya…”

Tak jauh dari sana, K.H. Ahmad Marzuki Hasan duduk di beranda rumahnya. Bibirnya pelan-pelan mengulang hafalan Qur’an yang telah menua bersama usia.

Tiba-tiba, seorang pemuda Muhammadiyah datang tergopoh-gopoh, napasnya tersengal.
“Pak Kiai… tempat persembunyian Muhsin diketahui. Tapi… dia berhasil lolos dari penggerebekan.”

Sang Kiai menatap langit yang mulai jernih, lalu mengangguk pelan.
“Alhamdulillah… bukan karena dia keluargaku, Nak. Tapi karena aku titip harapan padanya. Jika dia selamat… kader dakwah ini akan bertumbuh. Lebih dalam, lebih kuat.”

Sementara itu di Parepare, rumah M. Yunus tak lagi sunyi, tapi tetap senyap. Langkah kaki ditahan, suara direndahkan. Di antara dinding kayu dan cahaya lampu temaram, M. Yunus menyelinap masuk lewat pintu belakang.

“Fattah, bagaimana keadaannya?” bisiknya cepat. “Masih di kamar,” jawab Abdul Fattah, adik iparnya.
Tak lama, pintu kamar terbuka perlahan. Muhsin keluar dengan wajah lelah, tapi matanya menyala seperti api yang enggan padam.

“Kalian belum tidur?” tanyanya lembut. “Belum. Kak Yunus baru saja tiba,” jawab Fattah sambil tersenyum. Muhsin mengangguk tipis. “Insya Allah… kita selesaikan ini bersama.”

Mereka duduk di ruang depan. Kopi hitam disajikan seadanya. Rencana dibicarakan perlahan. Suara-suara diturunkan ke bisikan. Muhsin menatap lantai, lalu berkata, “Saya harus keluar dari Sulsel. Jalur harus disiapkan secepat mungkin.”

M. Yunus mengangguk, “Saya sudah bicara dengan H. Badiu. Dia sedang cek kapal barang yang akan berangkat ke Kalimantan. Kita tinggal menunggu kabar dari H. Tahir Parenta.”

“Kalaupun kapal H. Tahir tidak ada yang berangkat, masih ada kapal Tanjung Selamat milik aktivis Muhammadiyah dari Rappang,” tambah M. Yunus. “Semoga malam ini atau usai Subuh sudah ada kabar baik.”

Malam kembali turun, tapi malam itu Parepare bukan lagi kota kecil di tepian laut. Ia telah menjadi tapal batas antara bahaya dan harapan. Di tengah gelapnya, seorang lelaki tengah disiapkan. Bukan untuk bersembunyi, tapi untuk menyambung hidupnya sebuah perjuangan.

Di kota yang senyap itu, seberkas cahaya kecil mulai menyala terang dan disana ada jejak yang tak terpadamkan.(bersambung ke seri 48/*)

*) Oleh : Dr Abdul Qadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA