Jumat, 25 Juli 2025 | 20:19 Wita

Abdullah Said, Doa yang Menuntun Langkah

Editor: admin
Share

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Langit malam menyelimutinya rapat-rapat, namun cahaya dalam dadanya tak pernah benar-benar padam.

Muhsin hanya membawa secuil bekal: sebuah tas lusuh, segenggam tekad yang mengeras oleh kezaliman zaman, dan keberanian yang diasah dari malam-malam panjang yang basah oleh doa dan tangis.

Ia melangkah bukan untuk melarikan diri, tapi demi menjaga amanah yang dititipkan dalam dada. Ia percaya, langkah yang lahir dari keikhlasan takkan pernah dibiarkan sia-sia oleh Tuhan semesta alam.

Di bawah naungan pohon tua yang membisu, tak jauh dari rumah M. Yunus dan Abdul Fattah, ia berhenti. Nafasnya ditahan. Tubuhnya menggigil pelan, bukan oleh dingin malam, tapi karena bayang-bayang mata-mata yang mengintai dari balik gelap.

Ia bersembunyi, bukan karena takut, tapi karena hati yang sedang menimbang arah.
Apakah ia harus kembali ke hotel ? Tidak mungkin, tempat itu telah penuh dengan kegaduhan dan pengintaian.

Apakah ia harus menghilang begitu saja ?, tapi ke mana ?, tak satu pun dari sahabatnya sempat ia hubungi. Lalu, bagaimana jika ia kembali ke rumah M. Yunus ? Apakah tempat itu masih aman malam ini ?.

Pikiran Muhsin berkelebat seperti kilatan petir. Dalam sunyi, ia menunduk dan menggumamkan doa: “Ihdinas shiratal mustaqim…”

Tunjukkan jalan yang lurus, ya Rabb… Lalu, dalam sekejap, benaknya tertuju pada satu tempat, rumah di Mattiro Tasi itu satu-satunya pelabuhan yang paling dekat dan paling mengerti keadaannya.

Dengan langkah perlahan dan penuh kehati-hatian, Muhsin mengendap melalui gelapnya jalan menuju Mattiro Tasi. Menjelang adzan Isya, ia tiba di halaman rumah M. Yunus.

Peluh dingin membasahi pelipisnya, tubuhnya lelah, tapi jiwanya masih tegak.
Tok, tok, tok…
Ia mengetuk pelan namun pasti. Pintu dibuka, Wajah M. Yunus terpaku sejenak, kaget bukan main. “Ada apa, Muhsin?”

Muhsin tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya mengangkat telunjuk ke bibir, sebuah isyarat sunyi bahwa bahaya sedang mengintai. M. Yunus segera menangkap maksud itu.

Tanpa banyak tanya, ia menggiring Muhsin ke sebuah kamar di bagian depan rumah, ruangan sederhana yang selama ini memang disiapkan sebagai tempat singgah diam-diam.

Kamar itu tak banyak berubah, ranjang besi tua yang kadang berderik saat disentuh, lemari tua setinggi tubuh Muhsin, dan sebuah meja kecil tempat ia biasa menulis.

Seolah semuanya sedang menanti kedatangan Muhsin, seolah telah tahu bahwa malam ini ia kembali.
Malam itu, Muhsin akhirnya menemukan tempat berteduh.

Dengan langkah pelan, ia mengambil air wudhu untuk menunaikan salat maghrib, lalu bersiap menanti isya. Di dapur, Hj. Puttiri segera menyiapkan makan malam atas permintaan suaminya.

Sementara itu, dalam keheningan yang penuh kehati-hatian, M. Yunus keluar rumah, menyusuri jalanan yang remang, mengunjungi satu per satu tokoh dan pemuda kepercayaannya.

Semua dilakukan dalam diam, di bawah bayang-bayang malam yang menegang.
Sementara itu, di dalam kamar kecil yang redup cahaya, Muhsin kembali menyandarkan jiwanya ke langit. Dalam sujud yang dalam dan lama, ia bermunajat:

Ya Rabb,
Jika jalan ini penuh duri, maka teguhkanlah langkahku.
Jika langkah ini mengguncang bumi, maka kokohkanlah niatku.
Aku tak meminta jalan yang mudah, hanya minta hati yang kuat.

Aku tak meminta diselamatkan dari ujian, hanya agar Engkau tetap bersamaku…

Air matanya kembali jatuh, diam tanpa suara. Hanya tubuh yang gemetar dan napas yang belum pulih menjadi saksi betapa berat beban yang dipanggulnya malam itu.

Dalam gulita yang menggulung langit Parepare, Muhsin sadar, perjalanan ini belum usai. Tapi satu hal menguatkan hatinya bahwa ia tidak lagi sendiri.

Ada M. Yunus dan istrinya yang dengan ikhlas membuka pintu, ada Abdul Fattah yang selalu setia menemani, dan sebentar lagi akan datang para sahabat lain yang dihubungi secara diam-diam, semuanya siap menjadi pelindung dalam bayang-bayang, meski mata-mata terus mengintai setiap celah.

Malam itu, Parepare menjadi saksi tentang seorang lelaki yang memilih menghilang bukan karena gentar, tapi karena yakin bahwa kebenaran tak pernah bisa dikubur.

Yakin bahwa setiap benih perjuangan harus disemai di tanah yang lebih lapang, lebih bersih, lebih ramah untuk nyala harapan. Dalam sunyi dan sembunyi, Muhsin menanam keyakinan bahwa apa yang ditanam dalam keikhlasan, kelak akan tumbuh dengan cahaya kemenangan.

Dan kelak, di tanah asing tempatnya berlabuh, sejarah akan menulis namanya dengan tinta perjuangan. Karena Muhsin Kahar tak pernah berhenti melangkah, Ia hanya memilih tempat baru untuk menyalakan cahaya yang lebih terang.(bersambung ke seri 47/*)

*) Oleh : Dr Abdul Qadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA