Selasa, 22 Juli 2025 | 20:28 Wita

Abdullah Said, Diambang Jendela Takdir

Editor: admin
Share

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Cahaya kuning keemasan menyelinap lembut melalui celah jendela kamar hotel yang tua dan berdebu. Dingin belum sepenuhnya pergi, namun ada kehangatan lain yang menyala dan bukan dari mentari, tapi dari dada seorang hamba yang baru saja menjemput fajar dalam sujud panjang.

Muhsin masih bersila di atas sajadah, diam, tenang… tapi wajahnya bukan wajah pelarian. Ada cahaya baru di matanya, seperti celah terang menuju jalan yang lama dirindukan.

Di ambang pintu, Manshur Salbu berdiri dengan secangkir kopi yang mulai dingin di tangannya. Ia telah lama menyaksikan dari jauh sahabatnya larut dalam tahajud dan munajat, dan ia tak ingin mengganggu.

Ia hanya menatapnya dalam diam, dalam haru, dalam pengertian yang tak butuh kata-kata.

Muhsin menoleh perlahan. Sebuah senyum mengembang di wajahnya. Bukan senyum biasa, tapi senyum yang lahir dari hati yang telah berdamai dengan luka dan kecewa, senyum seorang hamba yang telah melihat hikmah dalam gelapnya jalan.

Manshur mendekat, duduk di tepi ranjang dan meletakkan kopi di meja kecil. Suaranya pelan, nyaris berbisik, “Seperti ada sesuatu yang berubah pagi ini.” Muhsin tertawa kecil. “Mungkin memang begitu, Manshur. Aku bukan sedang lari, tapi sedang dituntun. Bukan bersembunyi, tapi mencari tempat yang lebih lapang bagi benih yang harus kita tanam.”

Manshur mengangguk. Kamar itu masih kusam, debu tetap menempel di dinding-dindingnya, tapi suasananya terasa lain. Lebih lapang, lebih terang. Seperti ruh baru tumbuh di dalamnya.

“Dulu kukira pelarian ini adalah lorong sempit,” bisik Manshur. “Tapi hari ini aku sadar, bahwa Allah bisa meluaskan lorong itu seluas keyakinan kita.”

Muhsin menatap ke luar jendela. Langit membiru tanpa awan. Angin pagi membawa bau asin dari laut dan suara anak-anak yang berlarian menuju sekolah.

Di bawah bangunan hotel itu, seperti biasa, terdengar teriakan Marzuki, laki-laki kurang waras yang saban hari berseru, “Siapa yang tinggal di atas?” Namun warga sekitar, masih kerabat H. Badiu, menjawab dengan cepat dan serempak, “Tidak ada orang di atas, Marzuki!”

Muhsin menarik napas panjang. “Kita harus segera ke Kalimantan, Manshur. Tapi bukan untuk sembunyi. Kita ke sana untuk menanam.

Seperti Musa keluar dari Mesir bukan karena takut, tapi karena risalah harus tumbuh di tanah yang baru.”
Manshur menatapnya dalam. “Kapan?” “Secepatnya,” jawab Muhsin.

“Dengan niat, dengan tekad, karena Allah.” Ia menambahkan dengan nada mantap, “Pergilah ke Makassar. Sampaikan secara rahasia kepada keluargaku dan sahabat-sahabat seperjuangan. Kumpulkan kebutuhan kita, dan segera kembali.”

Pagi itu, air mata dalam sujud semalam menjelma menjadi keputusan yang mantap dan langkah yang pasti. Kamar tua itu bukan lagi ruang pelarian, tapi menjadi titik awal kebangkitan dan tempat nyala yang baru dinyalakan untuk menembus batas tanah seberang.

Sesaat kemudian, Manshur berpamitan. Mereka berpelukan dalam hening, lalu berpisah. Setelahnya, Muhsin membereskan barang-barangnya.

Sebuah tas kecil cukup untuk membawa beberapa lembar pakaian. Tapi hatinya terasa lebih berat dari tas itu sendiri. Ada firasat aneh yang berdesir. Gelisah yang samar.

Menjelang maghrib, langit mulai temaram. Tiba-tiba, pintu kamar diketuk keras, seperti ada yang hendak menerobos masuk. Muhsin tersentak. Segera ia menyadari: inilah tafsir dari mimpi-mimpinya.

Tanpa berpikir panjang, ia mendekap tasnya dan menuju jendela. Saat pintu didobrak, ia menjatuhkan diri dari lantai dua, seraya terus melafalkan dzikir: “Hasbunallahu wa ni‘mal wakil, ni‘mal maula wa ni‘man nashir…”

Tubuhnya yang gempal menghantam tanah empat meter di bawah, tapi mukjizat seperti meredam rasa sakit. Ia bangkit, melangkah cepat melewati lorong-lorong padat permukiman warga, menyelinap dalam senja yang mulai gelap.

Muhsin terus melangkah cepat, menyusuri lorong-lorong sunyi kota Parepare yang telah dikenalnya bagai garis-garis di telapak tangan sendiri. Malam makin menebal, dan dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara azan menggema dari menara-menara masjid, saling bersahutan seperti nyanyian langit yang menenangkan jiwa.

Di sebuah tikungan gelap, ia berhenti sejenak. Nafasnya tertahan, bukan karena lelah, tetapi karena gelombang perasaan yang menyerbu tanpa aba-aba. Ia membuka ransel kecilnya, mengganti pakaian seadanya demi mengaburkan jejak dari mata-mata yang mungkin masih mengintai.

Setiap gerak diiringi lafaz dzikir dan doa yang mengalir lirih dari bibirnya, munajat seorang hamba yang tak lagi menggantungkan diri pada selain Tuhan.

“Allahu waliyyul ladziina aamanuu…” bisiknya pelan, “…yukhrijuhum minazh zhulumaati ilan nuur.”

Ia terus bergerak menyelinap dari gelap untuk menjemput cahaya. Seperti Nabi Musa yang menyeberangi laut demi menyelamatkan risalah. Seperti Ibrahim yang meninggalkan rumah demi keyakinan yang tak bisa dibungkam.(bersambung ke seri 46/*)

*) Oleh : Dr Abdul Qadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan



BACA JUGA