Kamis, 17 Juli 2025 | 07:38 Wita

Abdullah Said, Menelusuri Jejak Suppa, Menggenggam Nyala Sejarah

Editor: admin
Share

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Pagi baru saja merekah. Langit masih diselimuti cahaya lembut kemerahan, serupa doa yang baru saja dilangitkan dari sepertiga malam.

Di jalanan kecil yang membelah Parepare, Abdul Fattah mengayuh sepeda tuanya dengan irama yang sabar. Di belakang punggungnya yang kurus, memboncenglah Muhsin Kahar, terdiam, tubuhnya condong ke depan seakan ingin larut dalam punggung waktu, bersembunyi dari dunia yang terus mencarinya.

Tak jauh di belakang, satu sepeda lagi melaju tenang. M. Yunus memegang setangnya, sementara di boncengannya duduk Manshur Salbu, membawa kabar, kesetiaan, dan diam yang panjang.

Kedua sepeda itu mengarah ke utara, menuju tanah Suppa—sebuah kampung sunyi bernama Barakasanda, di Maritengngae, Pinrang—tempat sejarah bersandar, dan kenangan keislaman memancarkan cahaya yang belum padam.

Lebih dari sepuluh kilometer mereka tempuh, menyusuri jalanan yang kadang sunyi, kadang riuh oleh cuit burung dan desir angin di sela dedaunan. Tapi tak satu pun dari mereka mengeluh.

Karena perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa, bukan pula kunjungan biasa. Ini adalah ziarah—ziarah ruhani ke tanah yang pernah memeluk Islam dengan damai, dan mengusir judi dengan ketegasan seorang raja yang bersujud.

Suppa bukanlah tanah biasa. Ia adalah tanah kelahiran istri M. Yunus, H. Puttiri, dan iparnya Abdul Fattah. Tapi lebih dari itu, ia adalah tapak sejarah peradaban Bugis yang berdiri sejak abad ke-15.

Di sinilah Sultan Alauddin dari Gowa pernah mengutus Datuk Ri Bandang membawa risalah langit ke bumi Ajatappareng. Dan di sinilah, pada tahun 1609, We Passulle Daeng Bulaeng, Datu Suppa sekaligus Addatuang Sawitto, menyambut Islam bukan dengan curiga, tapi dengan dada lapang dan tekad untuk mengubah zaman.

Muhsin mendengar kisah itu dari M. Yunus dan para tokoh Muhammadiyah di sana. Dalam sejuk udara dan rindangnya pohon-pohon tua, ia duduk diam, menyimpan dalam dada suara-suara sejarah yang meneduhkan.

Dan di tengah keheningan, ada desir pelan yang mengalir di dadanya—antara getir dan haru. Getir, karena kini ia terusir karena menentang judi.

Haru, karena tanah ini dulu menjunjung tinggi apa yang kini dianggap ancaman oleh para penguasa.

Muhsin terdiam lama, ada desir di dadanya. Betapa kontras dengan kenyataan yang ia alami di mana ia justru harus melarikan diri karena menentang judi.

Suara nahi mungkar membuatnya terusir dari kota yang membesarkannya. Tapi di sini, di tanah Suppa, suara itu pernah menjadi kehormatan, dan yang melawan syariat-lah yang dulu dianggap asing dan harus diusir.

Sore mulai menjingga ketika mereka berpamitan. Matahari tergelincir pelan di balik barisan pohon, bayang-bayang tubuh mereka tertarik panjang di pematang sawah.

Mereka berjalan kaki, mendorong sepeda menyusuri ladang-ladang hijau yang basah. Jalanan becek tak mampu dipatahkan ban, tapi tak juga menghentikan langkah mereka.

Muhsin berjalan paling belakang, sesekali menunduk dan menyembunyikan wajahnya di balik punggung Abdul Fattah setiap kali kendaraan melintas.

Ia tetap waspada. Ia tahu, di balik keindahan sawah dan senyap senja, mata-mata masih berkeliaran, mencari setiap jejak yang mengarah padanya.

Namun jauh di dalam dadanya, ada rasa syukur yang tak bisa ia ucapkan. Perjalanan hari itu bukan sekadar menyelamatkan diri. Ia seperti dituntun oleh sejarah, diantar oleh kisah lama agar tahu bahwa ia tak sendiri.

Bahwa ruh nahi mungkar yang ia kobarkan bersama sahabat-sahabatnya di Makassar bukanlah ruh baru. Ia telah hidup sejak berabad-abad silam, ditanam oleh raja-raja dan ulama-ulama besar di tanah ini.

Dan sekarang, ruh itu sedang menunggu untuk dibangkitkan kembali dengan nyala yang lebih matang, dengan wajah yang tak takut pada badai, dan dengan jiwa yang tak akan pernah padam. (bersambung ke seri 44)

*) Oleh: Dr Abdul Qadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA