Sabtu, 12 Juli 2025 | 16:13 Wita
Spirit Muharram Ust Abdul Majid : Hijrah dan Persahabatan

HidayatullahMakassar.id — Badan Pembina Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar yang juga Ketua Dewan Murrabi Wilayah Hidayatullah Sulsel Ust Ir H Abdul Majid MA menyampaikan tausyiah Refleksi Muharram di arena Semarak Muharram Hidayatullah Sulsel di kampus Hidayatullah Lamatanre, Pinrang, Sabtu (12/6/2025). Berikut kutipan tausyiah yang disarikan Ust Muh Anshor, Pengurus Ponpes Ummul Quro Hidayatullah Tompobulu.

***
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang masih memberi kita kesehatan, waktu, dan kekuatan untuk hadir dalam majelis ini.
Sungguh ini bukan sekadar pertemuan fisik, tapi juga momen spiritual—karena dalam majelis ini kita berkumpul bukan hanya untuk mendengar, tapi untuk menangkap hikmah dan menyerap semangat perjuangan.
Kita bersyukur karena masih diberikan kesempatan bersilaturahim. Semoga Allah menjadikan pertemuan ini sebagai titik tolak kebangkitan ruhiyah dan dakwah kita ke depan.
Saya pribadi sangat bersyukur bisa duduk bersama para orang tua, guru, dan sahabat seperjuangan—terutama kepada pemimpin umum kita, yang sejak awal konsisten mengawal dakwah ini.
Kami doakan semoga Allah senantiasa menjaga kesehatan beliau, dan memberikan kekuatan untuk terus menebar cahaya Islam.
Hijrah dan Persahabatan
Saya ingin mengangkat sedikit refleksi tentang hijrah. Karena sesungguhnya, hijrah bukan hanya berpindah tempat, tetapi juga berpindah hati, berpindah orientasi hidup, dan berpindah nilai.
Para shahabat Rasulullah ﷺ adalah teladan utama dalam hal ini. Mereka adalah generasi yang selalu siap berhijrah, baik secara fisik maupun secara ruhani.
Izinkan saya menceritakan sedikit pengalaman pribadi, tentang persahabatan yang saya jalin sejak masih di bangku kuliah. Kami bertiga (bersama Ust Abdul Aziz Qahhar Muzakkar dan Ust Khairil Bait) berasal dari jurusan yang sama di Unhas, bahkan tinggal bersama sejak semester dua—berbagi suka dan duka perjuangan.
Saya minta maaf kepada guru-guru lain jika cerita ini terasa terlalu personal, namun saya yakin ada hikmah yang bisa kita petik bersama.
Zaman dulu, suasana kampus masih bersih dari hiruk-pikuk organisasi yang tak jelas arahnya. Yang mendominasi saat itu adalah semangat pengkaderan dan pembinaan ruhiyah. Bahkan, dalam satu tahun, kami bisa mencetak hingga 3.000 kader baru (saat di HMI).
Saya masih ingat ketika kami harus menjalani training, setiap peserta diwajibkan membawa lima calon kader baru. Tidak boleh tidak. Saya yang waktu itu menjadi instruktur, terkadang agak “memaksa”—bukan karena arogan, tapi karena kami tahu bahwa dakwah ini hanya bisa hidup dengan kaderisasi yang kuat.
Ke Balikpapan dan Menikah
Saya juga ingin berbagi satu momen yang sangat menggetarkan hati. Waktu itu, saya baru saja menikah. Tamu masih banyak berdatangan ke rumah. Namun, panggilan dakwah sudah menanti.
Saya harus berangkat ke Balikpapan. Maka saya tinggalkan semuanya. Izin ke orangtua, “Bu, saya harus berangkat sekarang.”
Sesampainya di pelabuhan, kapal sudah berangkat. Panik, tapi saya tetap mencoba. Ternyata masih ada satu kapal lagi. Tangga naiknya rusak, tapi saya naik juga. Saya tidak tahu bagaimana nanti membayar tiket, karena uang pas-pasan. Tapi Subhanallah, tiba-tiba ada seorang lelaki asing, berbaju hijau, memberi saya sejumlah uang. Dia seperti ‘malaikat’ bagi saya. Saya tidak tahu siapa dia, tapi wajahnya begitu bersih.
Saya simpan kisah itu dalam hati. Hingga kemudian saya sampai di Balikpapan, dan bertemu lagi dengan sahabat-sahabat seperjuangan. Istri saya pun baru tahu kisah itu jauh setelahnya. Ia pun terharu. Nikah kami bukan cuma kisah cinta, tapi bagian dari jalan hijrah.
Makna Hijrah Sejati
Saudara-saudaraku, mari kita resapi kembali makna hijrah. Dalam satu hadits Rasulullah ﷺ bersabda:
“Lā hijrata ba‘dal-fatḥ, wa lākin jihādun wa niyyah.”
“Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan Makkah, namun yang ada adalah jihad dan niat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, hijrah secara fisik mungkin sudah tidak berlaku sebagaimana zaman Rasulullah. Tapi hijrah secara maknawi, secara ruhiyah, masih dan akan selalu relevan. Kita harus terus berhijrah: dari malas menjadi giat, dari pasif menjadi aktif, dari sekadar ikut-ikutan menjadi pejuang sejati.
Hijrah bukan hanya soal pergi. Tapi soal siapa yang kita tinggalkan, dan untuk siapa kita melangkah.
Kalau hari ini kita mati, apakah kita sudah benar-benar berhijrah? Sudahkah kita menata niat, meninggalkan yang buruk, dan menuju yang lebih baik?
Ajak Diri untuk Terus Bergerak
Maka marilah kita jaga semangat hijrah ini—dengan memperbaiki amal, memperkuat silaturahmi, meneguhkan komitmen dakwah, dan menjadikan hidup ini sarana untuk taat sepenuhnya kepada Allah.
Jangan tunda-tunda perubahan. Jangan tunda-tunda taubat. Jangan tunda-tunda kebaikan.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

TERBARU
-
Menapaki 50 Tahun Kedua Hidayatullah : Transformasi dan Rejuvinasi (2)
12/07/2025 | 21:01 Wita
-
Menapaki 50 Tahun Kedua Hidayatullah : Transformasi dan Rejuvinasi (1)
12/07/2025 | 20:29 Wita
-
Spirit Muharram Ust Abdul Majid : Hijrah dan Persahabatan
12/07/2025 | 16:13 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita