Sabtu, 12 Juli 2025 | 21:01 Wita

Menapaki 50 Tahun Kedua Hidayatullah : Transformasi dan Rejuvinasi (2)

Editor: admin
Share

HidayatullahMakassar.id — Anggota Dewan Pertimbangan Hidayatullah yang juga Ketua Badan Pembina Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar Ust Dr H Abdul Aziz Qahhar Muzakkar MSi menyampaikan tausyiah “Menapaki 50 Tahun Kedua Hidayatullah : Transformasi dan Rejuvinasi.”

Tausyiah disampaikan kepada peserta Semarak Muharram Hidayatullah Sulsel di kampus Hidayatullah Lamatanre, Pinrang, Sabtu (12/6/2025). Berikut kutipannya yang ditranskrip oleh Ust Muh Anshor, Pengurus Ponpes Ummul Quro Hidayatullah Tompobulu, Maros.

***

Salah satu karakter Islam yang hakiki adalah bahwa Islam tidak pernah lahir di ruang hampa. Islam turun—melalui wahyu Al-Qur’an—di tengah-tengah peradaban yang sangat kuat.

Islam muncul sebagai wahyu ilahi di jantung pusat ideologi kafir Quraisy, di kota Mekkah, bukan di sebuah dusun terpencil yang sunyi dari benturan pemikiran, kekuasaan, dan tradisi.

Ketika Rasulullah ﷺ menerima wahyu pertama, Al-‘Alaq, dan kemudian mulai menyampaikannya, beliau langsung dituduh majnun—orang gila. Bayangkan, seseorang yang sebelumnya bergelar Al-Amin tiba-tiba menjadi sasaran tudingan hanya karena menyampaikan kebenaran. Mengapa? Karena kebenaran itu membentur sistem yang ada—keyakinan, ideologi, filsafat, dan adat yang telah mapan.

Inilah hakikat perjuangan Islam: konfrontatif terhadap kebatilan. Maka jangan heran, jika sampai hari ini orang yang sungguh-sungguh menyampaikan dakwah pasti akan mengalami resistensi, cacian, bahkan fitnah.

Kalau Anda belum pernah dicaci karena berdakwah, barangkali belum menyentuh inti dari perjuangan Islam itu sendiri.

Mengapa Hidayatullah Disebut Lembaga Perjuangan

Dalam konteks ini kita bisa memahami mengapa Hidayatullah disebut sebagai lembaga perjuangan. Karena sejak awal, Hidayatullah tidak hanya memfasilitasi pendidikan dan dakwah, tapi juga membangun ruh jihad dalam pengertian menyeluruh: berjuang dengan ilmu, amal, dan pengorbanan.

Pendiri kita, almarhum Ustaz Abdullah Said, bahkan mengambil ijtihad luar biasa: melebur total kehidupannya ke dalam lembaga perjuangan ini.

Beliau menyatakan, “Saya tidak memiliki harta pribadi. Kalau saya wafat, keluarga saya hanya boleh membawa apa yang menempel di badan.”

Pernyataan ini bukan sekadar lisan, tapi diwujudkan secara nyata. Maka, generasi awal Hidayatullah pun mengikuti jejak beliau: hidup tanpa harta pribadi, semuanya diserahkan untuk perjuangan.

Beliau tidak menjadikan lembaga ini sebagai warisan keluarga. Bahkan dengan tegas menyatakan: “Ini bukan pesantren keluarga, bukan untuk diwariskan.” Jika saat itu tidak ada kejelasan seperti ini, kemungkinan besar lembaga ini akan mengikuti pola banyak pesantren di tanah Jawa—diwariskan turun-temurun, berdasarkan kepemilikan pribadi atau keluarga.

Peralihan Manhaj: Dari Ijtihad Personal ke Kepemimpinan Syuro

Namun, kita harus jujur bahwa ijtihad semacam itu tidak mungkin dipaksakan selamanya. Maka, ketika almarhum wafat pada tahun 1998, pimpinan pasca beliau langsung melakukan muhasabah besar-besaran.

Salah satu keputusan penting yang dihasilkan adalah mengubah pola kepemimpinan dari “pemimpin tunggal” ke “kepemimpinan syuro.” Lalu dibentuklah struktur formal: Pemimpin Umum, Majelis Syuro, Dewan Eksekutif, dan Dewan Syariah.

Pada tahun 2000, Hidayatullah
dideklarasikan sebagai ormas nasional. Salah satu konsekuensi dari deklarasi ini adalah berakhirnya ijtihad “tidak boleh punya harta pribadi.”

Lembaga sudah tidak lagi mampu menanggung seluruh kebutuhan keluarga para kader, seperti biaya persalinan, pendidikan, bahkan kebutuhan pokok. Maka, diperkenalkanlah konsep “kemandirian ekonomi.”

Namun satu hal yang tetap tidak berubah adalah orientasi perjuangan. Kader tetap dipahami bukan semata-mata orang yang tinggal di kampus atau bekerja di lembaga, melainkan siapa pun yang tertarbiyah secara manhaji, berkomitmen dalam sistem, dan taat pada kepemimpinan.

Warisan Besar: Sistematika Wahyu dan Imam-Jamaah

Kalau kita ingin memahami apa sebenarnya warisan utama Ustaz Abdullah Said, maka saya pribadi menyimpulkannya dalam tiga hal pokok:

1. Sistematika Wahyu – yakni pemahaman dan metode perjuangan yang merujuk langsung pada tahapan-tahapan wahyu yang diterima Rasulullah ﷺ.

2. Sistem Kepemimpinan Imam-Jamaah – yaitu kepemimpinan yang meneladani model Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin.

3. Al-Harakatul Islamiyah – yaitu bahwa Hidayatullah bukan hanya institusi pendidikan, melainkan sebuah gerakan Islam.

Ketiga hal ini dirumuskan bukan dalam dokumen akademik, tetapi melalui ceramah-ceramah intens beliau, transkrip pelatihan dakwah, serta keteladanan nyata dalam kehidupan.

Dan warisan terbesar yang tak boleh dilupakan adalah: kader. Andaikan beliau hanya menyampaikan gagasan, tanpa membentuk manusia yang menghidupkan gagasan itu, maka semuanya akan sirna saat beliau wafat. Tapi karena beliau membentuk kader—maka manhaj ini hidup sampai hari ini.

Menatap Masa Depan: Jangan Salah Paham dalam Memaknai Karir

Kita juga perlu menyadari bahwa struktur di Hidayatullah bukanlah tangga karir. Jangan berpikir bahwa menjadi Ketua DPD harus naik menjadi DPW, lalu DPP. Tidak. Ini bukan lembaga karir. Ini lembaga amanah perjuangan. Maka menjadi pengurus bukanlah promosi, melainkan penempatan tanggung jawab.

Itulah mengapa jabatan struktural tidak menjadi jaminan nilai seseorang di hadapan Allah. Yang dinilai adalah ketaatannya pada manhaj dan konsistensinya dalam perjuangan.

Transisi Adalah Momentum Kritis

Maka, 10 tahun ini—antara 2023 hingga 2033—adalah masa transisi yang sangat strategis dan kritis. Peran kader-kader generasi awal akan segera berakhir, dan tongkat estafet kepemimpinan akan dipegang oleh generasi yang tidak lagi dibina langsung oleh pendiri.

Pertanyaannya: apakah mereka memahami warisan ini dengan baik? Apakah mereka hanya mewarisi organisasi, atau juga manhajnya?

Hidayatullah akan tetap hidup bukan karena struktur yang kuat, tetapi karena jati diri yang dijaga. Maka, keberadaan DMP, BMW, dan segenap instrumen pembina jati diri bukanlah pelengkap organisasi—mereka adalah tulang punggung eksistensi kita.

Ingatlah, tidak ada Islam tanpa jamaah, tidak ada jamaah tanpa kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan. Inilah mata rantai perjuangan yang diwariskan dari Rasulullah ﷺ, diteruskan oleh sahabat, dan kini menjadi tanggung jawab kita. (*)



BACA JUGA