Sabtu, 12 Juli 2025 | 20:29 Wita

Menapaki 50 Tahun Kedua Hidayatullah : Transformasi dan Rejuvinasi (1)

Editor: admin
Share

HidayatullahMakassar.id — Anggota Dewan Pertimbangan Hidayatullah yang juga Ketua Badan Pembina Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar Ust Dr H Abdul Aziz Qahhar Muzakkar MSi menyampaikan tausyiah “Menapaki 50 Tahun Kedua Hidayatullah : Transformasi dan Rejuvinasi.”

Tausyiah disampaikan kepada peserta Semarak Muharram Hidayatullah Sulsel di kampus Hidayatullah Lamatanre, Pinrang, Sabtu (12/6/2025). Berikut kutipannya yang ditranskrip oleh Ust Muh Anshor, Pengurus Ponpes Ummul Quro Hidayatullah Tompobulu, Maros.

***

Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang senantiasa melimpahkan nikmat-Nya kepada kita, terutama nikmat iman dan Islam—dua nikmat terbesar yang menjadi sebab keselamatan kita di dunia dan akhirat.

Kita juga bersyukur atas nikmat yang sangat agung: dijadikannya kita sebagai bagian dari lembaga perjuangan ini—Hidayatullah. Sebuah nikmat yang tidak bisa dinilai dengan materi dunia.

Betapa tidak, di tengah gemerlap dunia yang meninabobokan, Allah memilih kita untuk menjadi bagian dari barisan pejuang Islam.

Ini bukan sekadar kebanggaan, melainkan tanggung jawab besar yang harus kita jawab dengan kesungguhan.

Menyongsong 50 Tahun Kedua: Masa Transisi, Masa Kritis

Tema yang diberikan panitia sangat serius dan strategis: “50 Tahun Kedua: Transformasi dan Regenerasi.”

Izinkan saya membuka pembahasan ini dengan mengutip salah satu pokok pikiran yang tertuang dalam buku Grand Design Hidayatullah yang disusun menjelang Silatnas tahun 2023 lalu.

Di sana disebutkan bahwa periode 2023–2033 adalah masa transisi Hidayatullah, bahkan lebih tegas lagi: masa kritis.

Mengapa disebut masa transisi dan kritis? Karena pada fase ini akan berakhirnya peran generasi awal, yaitu mereka yang dibina dan dikader langsung oleh para pendiri Hidayatullah.

Baik karena faktor usia, sakit, maupun karena sudah tidak mampu mengikuti dinamika zaman. Hitungannya sederhana: dalam dua Munas ke depan, yakni Munas 2025 dan 2030, kita akan menyaksikan pergantian generasi secara nyata.

Mereka yang lahir pada masa-masa awal dakwah Ustaz Abdullah Said—katakanlah berusia di atas 55 tahun saat ini—mulai memasuki fase uzur.

Bahkan yang berusia 60 tahun ke atas, jumlahnya semakin sedikit. Maka regenerasi bukan sekadar wacana, tapi keharusan sejarah.

Saya sendiri, sebagai salah satu anggota Badan Pekerja Munas, menyaksikan bahwa Munas kali ini dirancang dengan sangat strategis. Jumlah anggota badan pekerja ditambah dari 5 menjadi 9 orang, agar memberi ruang bagi keterwakilan generasi muda.

Saya tadinya berharap keterwakilan itu bisa lebih banyak, tapi musyawarah memutuskan hanya dua: Ustaz Dr. Muzakkir dan Pak Imam Nawawi. Namun ini sudah kemajuan.

Kenapa ini penting? Karena kami ingin agar proses regenerasi dimulai sejak perencanaan tertinggi organisasi. Pasca Munas ini, kita berharap generasi di bawah usia 50 tahun mulai memainkan peran-peran signifikan, mulai dari DPP, DPW, hingga cabang.

Meski untuk posisi strategis seperti Ketua Umum DPP, saya pribadi berpendapat seyogianya masih dipegang oleh yang telah berpengalaman sebagai pengurus inti.

Tapi untuk tingkatan departemen dan wilayah, generasi muda sudah harus tampil ke depan. Kita ingin melihat Ketua DPW yang masih berusia 40-an, karena ini adalah masa mereka untuk tumbuh dengan semangat zaman, namun tetap berpijak pada manhaj yang kokoh.

Lembaga Perjuangan: Dakwah, Tarbiyah, dan Jihad

Kita semua perlu kembali meneguhkan pemahaman bahwa Hidayatullah bukan sekadar organisasi, melainkan lembaga perjuangan. Sebuah entitas yang berdiri atas tiga pilar utama: dakwah, tarbiyah, dan jihad.

Ketika wahyu kedua diturunkan, yakni surat Al-Muddatsir, di situlah ditegaskan bahwa tidak ada keimanan tanpa perjuangan. Tidak ada Islam tanpa dakwah. Islam adalah agama yang menuntut keterlibatan aktif—bahkan sejak hari-hari pertama kerasulan.

Rasulullah ﷺ, yang sebelumnya dikenal sebagai Al-Amin—manusia terpercaya—langsung dicaci maki dan dituduh gila setelah menyampaikan wahyu. Tuduhan itu datang bukan dari orang jauh, tetapi dari para pembesar Quraisy yang sebelumnya menghormatinya. Apa maknanya bagi kita?

Bahwa perjuangan pasti diiringi penolakan dan pengorbanan. Tapi di situlah nilai keimanan kita diuji. Maka tidak ada tempat bagi kemalasan, keluhan, atau sikap menunggu. Karena kita sedang melanjutkan mata rantai perjuangan Rasulullah.

Kesiapan Mental Regenerasi

Kita sedang berada di gerbang sejarah. Dalam satu dekade ke depan, wajah Hidayatullah akan berubah. Bukan dalam hal prinsip, tapi dalam komposisi pelaku.

Regenerasi bukan sekadar mengganti orang lama dengan orang muda, tapi memastikan bahwa ruh perjuangan tetap hidup di dada generasi penerus.

Apakah generasi muda siap mengambil tongkat estafet ini? Siapkah mereka berdiri di atas manhaj, lalu memimpin dengan ilmu, adab, dan visi peradaban?

Kitalah yang harus menjawabnya—dengan kerja nyata, bukan retorika. Dengan membuktikan bahwa usia muda bukan halangan untuk bijaksana, dan usia tua bukan alasan untuk berhenti memberi teladan.(bersambung)



BACA JUGA