Minggu, 6 Juli 2025 | 16:57 Wita
Abdullah Sa’id, Tirai Senja di Parepare: Persiapan Sunyi Menuju Seberang

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Hari-hari di Parepare bergulir perlahan seperti angin laut yang tak pernah tergesa. Muhsin kini menempati sebuah kamar sunyi di hotel tua milik H. Badiu.
Bangunan yang sudah lama ditinggal tamu, namun kini menyimpan tamu paling sunyi, seorang pelarian dengan nyala yang belum padam.
Di kamar itu, Muhsin menulis diam-diam. Bukan ceramah, bukan seruan, tapi peta ruhani. rencana-rencana kecil yang disusun dengan sabar, untuk sebuah perjalanan besar yang tak boleh salah langkah.
Ia tahu, pelarian ini bukan soal menyelamatkan tubuh, tetapi menyelamatkan ruh perjuangan, agar bara tak padam oleh tiupan badai.
Kalimantan mulai menyusup dalam pikirannya. Pulau seberang itu seolah memanggil dari balik kabut.
Ia belum sepenuhnya akrab, tapi juga tak sepenuhnya asing. Di sana, ia membayangkan medan yang lebih lapang, tanah yang lebih leluasa untuk menanam benih perjuangan, jauh dari mata kekuasaan dan telinga-telinga gelap.
Dan dalam setiap tahajjudnya yang sunyi, nama Kalimantan semakin kerap terucap di antara desah nafas dan ayat-ayat yang mengalun pelan:
“Ya Allah… jika ini tempat pelarian yang Engkau pilih untukku, izinkan aku menyingkir bukan karena takut, tetapi karena ingin menanam yang telah Engkau titipkan.”
Muhsin tidak berjalan sendiri. M. Yunus dan H. Badiu, dua sahabat setia, mulai menggerakkan simpul-simpul lama. Diam-diam mereka menghubungi rekan dagang, aktivis Muhammadiyah dan PII yang tersebar lintas pulau.
Jalur kapal dari Parepare ke Kalimantan dipetakan tanpa suara. Nama-nama dicatat, pelabuhan dipilih. Semuanya disusun dalam senyap.
Namun rencana itu tiba-tiba terhenti sejenak oleh bunyi khas. Dentingan sepeda di halaman hotel. Sore itu, dari arah selatan, muncul sosok yang dinanti. Manshur Salbu datang membawa debu perjalanan dan napas yang tersengal, tapi matanya menyala, ia membawa kabar dari Makassar.
Muhsin memeluknya tanpa kata. Tak perlu banyak penjelasan, pertemuan itu adalah simpul dari jalan panjang yang tak pernah benar-benar berpisah.
Di dalam kamar hotel yang senyap, Manshur mulai bicara perlahan, tapi deras seperti arus sungai yang baru menemu jalannya.
“Makassar masih gelisah. Lotto lumpuh. Bandar-bandarnya menghilang seperti hantu yang kehabisan nyawa. Tapi aparat belum berhenti mencari. Mereka yakin kau masih di sekitar sini. Tapi sejak kau pergi, tekanan itu mulai longgar. Para tokoh sepuh sudah dibebaskan. Katanya… karena mereka tahu, hanya engkaulah yang mereka cari.”
Muhsin menunduk. Di dadanya, lega dan gelisah bersilangan seperti angin dan ombak.
“Beberapa pemuda masih ditahan,” lanjut Manshur.
“Mereka ingin memancingmu untuk menyerahkan diri. Tapi karena kau menghilang, mereka tak bisa bergerak sembarangan.”
Lalu ia berhenti sejenak, menatap Muhsin dengan mata yang basah cahaya.
“Tapi tahukah engkau apa yang paling mengejutkan? Para pemuda yang ditahan… justru semakin membara. Mereka bilang, jika engkau memilih jalan sunyi untuk menjaga ruh perjuangan, maka mereka akan menjaganya dari dalam. Mereka bahkan menyebut sel itu sebagai madrasah perlawanan.”
Hening panjang menyusup ke dalam kamar itu. Muhsin perlahan bangkit dari duduknya, berjalan ke jendela dan membuka sedikit tirai. Di luar sana, matahari mulai tenggelam ke pelukan laut, meninggalkan semburat cahaya keemasan di permukaan air yang beriak lembut.
“Kalau begitu,” katanya lirih tapi penuh keyakinan, “kita bersiap. Kita susun rencana ke Kalimantan. Bukan untuk lari, tapi untuk menanam ruh perjuangan di tanah yang belum tercemar. Jika Syanggit belum sempat kita dirikan di sini, mungkin Allah sedang mengisyaratkan, “dirikanlah ia di seberang sana.”
Manshur menggenggam tangannya erat, seperti sahabat yang tahu bahwa ini bukan sekadar rencana. Ini adalah restu dari langit yang menjelma dalam nyali seorang manusia.
Malam pun turun perlahan. Tirai kegelapan menutup kota kecil itu, tapi bukan untuk mengubur terang. Justru dari balik sunyi Pare-pare, sedang disusun sebuah perpindahan nyala dari satu kamar kecil ke sebuah pulau besar.
Dan malam pun turun seperti tirai menyelimuti persiapan rahasia yang akan menandai babak baru perjuangan Muhsin Kahar.(bersambung ke seri 42)

TERBARU
-
Abdullah Sa’id, Tirai Senja di Parepare: Persiapan Sunyi Menuju Seberang
06/07/2025 | 16:57 Wita
-
Abdullah Said, Benih Tersemai dalam Sunyi
03/07/2025 | 09:47 Wita
-
Abdullah Said, Pelarian yang Menjaga Ruh
02/07/2025 | 09:39 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita