Kamis, 3 Juli 2025 | 09:47 Wita

Abdullah Said, Benih Tersemai dalam Sunyi

Editor: admin
Share

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Sore mulai mengurai jingga di cakrawala. Di beranda rumah M. Yunus yang menghadap laut, Muhsin duduk diam, memandangi horison yang jauh.

Matahari memerah seperti darah perjuangan yang belum selesai. Angin laut membelai wajahnya dengan lembut, membawa debur ombak ke ujung-ujung pikirannya yang sedang bergelayut resah.

Dalam hatinya, pelarian ini bukan akhir, justru awal dari satu fase baru. Tapi dari mana harus dimulai ?

Bayangan tentang Syanggit kembali muncul di pelupuk ingatan, nama yang telah lama mengendap di dadanya.

Sebuah tempat yang ia impikan sebagai perkampungan kader. Tanah sunyi yang jauh dari gemerlap dunia, namun dipenuhi suara penghafal Al-Qur’an, langkah-langkah dai muda, dan nyala ruh perjuangan yang dibina dalam kesederhanaan serta keteguhan.

Di sanalah ruh nahi mungkar bisa ditumbuhkan dengan sabar, bukan dengan gembar-gembor, tapi dengan pengabdian dan pembinaan jiwa.

Lamunan itu buyar saat adzan Maghrib berkumandang dari menara masjid di kejauhan. Muhsin menatap langit yang mulai meremang. “Waktunya kembali menghadap,” bisiknya lirih, lalu beranjak mengambil wudhu.

Setelah shalat Isya, ia duduk berdua dengan M. Yunus di serambi. Obrolan mereka mengalir dalam diam yang dalam, bicara tentang masa depan kaderisasi dan arah perjuangan setelah badai.

Tak jauh dari mereka, Abdul Fattah, bocah kecil siswa PGAN yang merupakan adik ipar M. yunus duduk menyimak dengan mata berbinar. Ia belum mengerti seluruhnya, tapi hatinya sudah bisa merasakan getar makna.

“Pak Yunus,” ucap Muhsin pelan, “Kita butuh tempat yang sunyi untuk membesarkan kader. Kader bukan lahir dari tepuk tangan podium, tapi dari lantai dingin dan hati yang dibakar istiqamah. Dari tempat sederhana yang membesarkan tekad untuk menyambung risalah ini sampai akhir zaman.”

M. Yunus mengangguk, matanya menatap jauh ke gelapnya laut. “Kalau begitu, carilah tempat sunyi yang menumbuhkan. Tempat yang tak hanya sepi dari hiruk pikuk, tapi juga cukup luas untuk menampung mimpi besar. Pare-pare mungkin hanya persinggahan, tapi dari sinilah ruh itu bisa kamu bawa ke mana pun engkau rasa tepat.”

Muhsin tersenyum, tak lagi pelan. Ada cahaya di wajahnya, seperti seseorang yang melihat celah terang di tengah kabut tebal. Hatinya menghangat, seolah satu pintu telah terbuka menuju cita-cita lama yang sempat terkubur oleh kejaran dan pelarian.

Tengah malam tiba. Kota kecil itu tenggelam dalam keheningan. Di pelabuhan, ombak hanya bergumam pelan. Muhsin bangkit seperti biasa, mandi dalam dingin yang menggigit, lalu membentangkan sajadahnya.

Dalam hening, ayat-ayat suci mengalun lirih, menembus relung jiwa: “Innahum fityatun āmanū birabbihim wa zidnāhum hudā…”

Abdul Fattah kecil terbangun. Matanya masih berat, tapi jiwanya seolah ditarik oleh suara yang asing tapi menggugah. Ia melirik jam dinding, pukul 02.00 dini hari.

“Shalat apa ini?” bisiknya, tapi ia tak bertanya. Hanya diam, duduk di ambang pintu, memperhatikan lelaki yang berdiri lama dalam diam, dalam pertemuan panjang dengan Tuhannya.

Ia menunggu hingga Muhsin selesai. Pukul 04.00 dini hari, saat doa panjang ditutup dengan wajah yang basah oleh air wudhu dan air mata, Abdul Fattah kecil tahu: ini bukan pelarian sembarang.

Ini adalah perjalanan ruh, perjalanan seorang lelaki yang sedang mencari jalan pulang, bukan ke rumah, tapi ke takdir perjuangan yang sudah dipilihnya.

Pagi menyapa dengan lembut. Setelah sarapan sederhana, M. Yunus menuntun sepeda tuanya keluar. “Muhsin Ayo, kita silaturahmi,” ajaknya. Muhsin mengangguk, dan mereka pun menyusuri jalanan Pare-pare yang mulai riuh pelan dengan kehidupan.

Mereka berkeliling menyapa tokoh-tokoh Muhammadiyah dan PII. Di antara mereka, hadir sosok H. Badiu pengusaha sukses, sekaligus pejuang tua Muhammadiyah.

Ketika mendengar kisah pelarian Muhsin, H. Badiu hanya menatapnya lekat-lekat. Tak banyak kata. Lalu dengan suara tenang ia membuka suara, “Kalau engkau butuh tempat sunyi untuk menyusun arah, aku punya hotel lama yang sudah tak aktif. Kamar-kamarnya kosong. Tapi di situlah mungkin bisa dimulai ulang segalanya.”

Muhsin menunduk haru. “Terima kasih, Pak Aji. Mungkin memang Allah sedang menyusun segalanya.”
Di Pare-pare, angin laut membawa semerbak ruh perjuangan baru.

Tubuh Muhsin memang dalam pelarian, tapi ruhnya justru terasa lebih utuh. Ia tahu, semangat nahi mungkar tidak memilih tempat, tidak butuh panggung. Ia bisa menyala dari balik jeruji, bisa tumbuh dalam sunyi, bisa hidup dalam dada seorang bocah kecil bernama Abdul Fattah yang mulai menyimpan bara itu diam-diam.

Syanggit belum dibangun. Tapi benihnya telah tersemai. Di hati orang-orang seperti M. Yunus, H. Badiu, dan bahkan Abdul Fattah kecil, di mana nyala itu disimpan seperti pelita dalam dada.

Muhsin tahu, ini masih awal. Tapi seperti doa-doa dalam tahajjudnya, awal yang datang dari sunyi adalah awal yang paling dalam.

“Sesungguhnya para pemuda itu telah beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk…” (QS. Al-Kahfi: 13)
(bersambung ke seri 41)

*) Oleh: Dr Abdul Qadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA