Minggu, 29 Juni 2025 | 03:45 Wita

Spirit Muharram : Wadi Barakah dan Darul Hijrah

Editor: admin
Share

HidayatullahMakassar.id — Ust Dr H Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar MSi,  Dewan Pertimbangan Hidayatullah dan Ketua Badan Pembina Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar, menyampaikan spirit Muharram dan tausyiah ba’da shalat subuh perdana di Masjid Hilal Burhanuddin dalam rangkaian kegiatan Muharram Fest 1447 H Yayasan Al Bayan. Berikut petikannya :

Pembangunan masjid ini (Masjid Hilal Burhanuddin Wadi Barakah) sesungguhnya lebih cepat dari yang kita duga. Setahun lalu hanya sembilan tiang yang kita mampu dirikan, dan itu tentunya sebagai bentuk ikhtiar dan  doa. Tapi alhamdulillah ada muhsinin (keluarga alm. Burhanuddin) yang Allah gerakkan hatinya untuk membangun masjid ini sendiri.

Tadi dengan shalat lail yang dimulai pukul 03.00 Wita, dimana kita yakin dihadiri kerumunan malaikat  (sebagaimana  keterangan dari hadits Rasulullah tentang qiyamul lail), masjid ini telah diresmikan secara spiritual. Di pagi nanti akan diresmikan secara seremonial oleh Bupati Maros Chaidir Syam.

Peresmian sengaja ditepatkan dengan hari yang istimewa 1 Muharram 1447 tahun baru hijriyah dan sayyidul ayyam hari Jumat.

(Pendiri Hidayatullah) Ust Abdullah Said mengatakan jam kerja orang (kader) Hidayatullah itu mulai sejak shalat lail. Dan itu sekaligus sebagai pekerjaan utama.

Kinerja kita (diukur) mulai dari shalat lail yang merupakan waktu terbaik untuk ibadah dan beristigfar hingga merencanakan pekerjaan.

Di kampus Hidayatullah Depok, tempat saya tinggal, shalat lail yang merupakan salah satu amalan dari Gerakan Nawafil Hidayatullah (GNH) diabsensi dan dinilai sebagai bagian dari kinerja yang berimplikasi pada tunjangan gaji bagi pengurus dan pegawai. Saya merasa hal ini tidak terlalu tepat juga, tapi sebagai bentuk tarbiyah atau pembiasaan terutama pada kader muda, saya pikir ini merupakan hal yang baik.

Apalagi shalat lail merupakan bagian dari manhaj (metode perjuangan) kita yang diperintahkan dalam surah Al Mujammil, sehingga merupakan hal yang “wajib” bagi kader Hidayatullah. Secara historis juga shalat lail adalah shalat yang diwajibkan selama 10 tahun kepada Rasulullah sebelum ada perintah shalat lima waktu.

Kita berharap Hidayatullah di Pucak ini  secara simbolik mempraktikan mainstream gerakan Hidayatullah, yakni tarbiyah dan dakwah. Di bagian atas sana (Ponpes Ummul Qura Hidayatullah Tompobulu) untuk mainstream gerakan tarbiyah. Dan di Wadi Barakah ini adalah untuk gerakan dakwahnya.

Makanya harus ada upaya sungguh-sungguh untuk terselenggaranya program al-Quran Camp dengan wisata quran dan pembelajaran quran bisa optimal dilaksanakan di Wadi Barakah ini.

Ditambah dengan outbond dengan program karakter building berbasis nilai quran. Wadi Barakah tidak akan menjual tiket satu persatu secara perorangan kepada pengunjung sebagaimana tempat wisata umumnya. Tapi melalui komunitas, rombongan atau kelompok, sekolah dan keluarga dengan paket program yang disediakan.

Wadi Barakah juga diharapkan menjadi wahana pusat tarbiyah kekaderan internal Hidayatullah. Bisa diatur per halaqah secara  rutin bergantian menggelar mabit di sini.

Wadi Barakah ini insya Allah kita akan lengkapi dengan sarana latihan panahan, olahraga berkuda, dan kolam renang, dan lainnya.

Kita tak boleh membiarkan kader hanya berorientasi karir sebagai pegawai BMH atau guru di sekolah saja tanpa latihan ketahanan fisik dan mental serta wawasan perjuangan yang lebih luas.

Walau memang sebagai lembaga perjuangan kita membutuhkan lembaga keuangan seperti BMH. Demikian pula kita mutlak memerlukan tenaga guru untuk mengelola pendidikan. Tapi  semua harus berkualifikasi sebagai kader.

Seorang kader harus memiliki kualitas spiritual, kekuatan mental maupun fisik dan intelektualitas sebagai keunggulan.

Tempat ini (Wadi Barakah) bisa juga menjadi semacam “darul hijrah”.

Maka perlu kita pahami apa itu hijrah. Betapa banyak ayat al-Qur’an menyebutkan dan menjelaskan soal hijrah.

Dalam surah Al-Baqarah ayat 218 Allah ta’alla berfirman
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أُو۟لَٰٓئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ ٱللَّهِ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sementara itu Surah Al-Anfal ayat 74 yang artinya: Dan orang-orang yang beriman serta berhijrah dan berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada muhajirin), mereka itulah orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.

Allah menyebut orang yang berhijrah dan orang yang menolong mereka merupakan orang yang benar-benar beriman (mukminuna haqqa). Hijrah menjadi ukuran eksisnya iman.

Walaupun pada saat futuh Makkah, Rasulullah menegaskan tidak ada lagi hijrah setelah futuh Makkah. Tapi karena  banyak ayat yang menyinggung soal hijrah dan juga betapa pentingnya peristiwa hijrah Rasulullah maka nilai-nilai hijrah tentu tetap harus menjadi wawasan dan spirit kita.

Wadi Barakah dan kampus Tahfidz Pucak ini harus kita maknai dalam spirit hijrah. Kita hadir di sini dengan motivasi iman dan jama’ah dan memiliki kedaulatan kawasan. Itu bagian penting dari ciri hijrah.

Apalagi jika dikaitkan dengan spirit Ashabul Kahfi. Yakni dengan komitmen keimanan maka mereka berhijrah. Karena dengan niat sebagai hijrah itu bahkan tanpa berjihad Allah tetap memenangkan mereka para ashabul kahfi.

Sebagaimana di surah Al-Kahfi ayat 16 Allah berfirman
وَإِذِ ٱعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ فَأْوُۥٓا۟ إِلَى ٱلْكَهْفِ يَنشُرْ لَكُمْ رَبُّكُم مِّن رَّحْمَتِهِۦ وَيُهَيِّئْ لَكُم مِّنْ أَمْرِكُم مِّرْفَقًا

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.

Tempat ini, bahkan semua kampus Hidayatullah harus dengan spirit seperti itu. Di sini adalah “gua” bagi kita untuk menepi  karena kita hindari kemaksiatan, kedholiman yang belum sanggup kita lawan, maupun kemusrikan di tempat awal. Maka kita harus yakin bahwa Allah akan siapkan sarana dan memberikan fasilitas yang kita butuhkan sebagai pertolongan dari Allah.

Saya selalu wiridkan ayat ini jika saya berada di Pucak, diniatkan agar Pondok Tahfidz dan Wadi Barakah terwujud seperti itu. Bahwa Wadi Barakah ini bukan untuk tempat rekreasi seperti orang lain kembangkan yang sekedar untuk bersenang-senang.

Tapi ini adalah mujahadah  kita ibarat Ashabul Kahfi yang menghindari kedholiman, kemaksiatan dan kemusrikan di luar sana yang tidak sanggup mereka atasi. Ini memang hanya salah satu perspektif. Tentu masih ada perspektif lain dalam kehadiran kita di sini.

Kita ingin ada proses keimanan, spiritual, dan perjuangan yang tumbuh di Wadi Barakah.

Spirit dan niat seperti itulah yang harus mempertemukan kita di sini. Saya yakin itu juga yang pertemukan saya dan pak Muaz (Direktur Wadi Barakah Muaz Yahya), yang seorang arsitek nasional, dan pak Firi (Firmansyah Sekretaris Wadi Barakah) padahal jurnalis senior, sehingga mereka mau berlelah-lelah mencangkul atau berpeluh kerja bakti di sini.

Bahwa Allah memberikan jaminan jika kita hijrah dengan semangat karena tak tahan dengan kemaksiatan dan kemusrikan di tempat tinggal atau di pekerjaan kita,  tak kuat dengan dosa-dosa maka kita berhijrah.

Jadi kurang apa janji Allah seperti itu. Filosofi ini yang harus jadi spirit bagi kita semua.

Ini bukan tempat wisata umum. Karena paket andalan nanti paket mabit dengan inti kurikulum adalah berqur’an. Irama spiritualnya yang harus kita gapai dan jaga.

Bedanya orang beriman dan kafir dalam hal rejeki adalah merasakan sifat rahim-Nya, kasih sayang Allah.

Kalau rezeki material untuk kesinambungan hidup manusia semua dijamin Allah. Itu sifat Rahman Allah. Tapi sifat Rahim spesifik untuk orang beriman. Di sinilah spiritualnya. Maka celaka betul kalau ada orang stres gara-gara soal rumah atau tempat tinggal, soal kendaraan dan kekayaan, karena sejatinya hal itu sudah Allah jamin dengan sifat rahman-Nya.

Mulai dari niat, rencana, doa, sampai perjuangan kita untuk ada dan berkembangnya tempat ini kita rasakan adanya pertolongan Allah.  Kita meyakini ada Allah yang menggerakkan menggerakkan semuanya. Keyakinan ini yang mahal.

Malaikat tak mengaji atau membaca al-Qur’an. Mereka mencari dan berkerumun di tempat orang membacaal-Qur’an, shalat lail, dzikir, dan lainnya yang akan kita amalkan di Wadi Barakah. Makanya kita harus bisa merasakan dan enjoy dengan amalan-amalan keshalihan ini.

Kita harus mampu menikmati kehidupan berjama’ah dan berjihad atau berjuang di jalan Allah. Berjamaah berarti menjadi ummat yang terpimpin. Ciri hidup berjamaah adalah siap memimpin dan dipimpin, siap mengatur dan siap diatur. Demikianlah bahwa Islam adalah agama dakwah dan perjuangan. 

Kalau sudah bisa kita merasakan dan menikmati kehidupan seperti itu dalam nuansa iman, maka itu rahmat Allah yang sangat besar.

Ada sekitar 10-15  ribu shahabat Rasulullah di Madinah dan mayoritas mereka meninggal bukan di Madinah tapi di berbagai belahan dunia lain karena misi dakwah dan jihad.

Di surah At Taubah ayat 92-93 menekankan betapa Allah mengecam orang yang  punya harta dan sehat fisik tapi tak ikut perang. Pada masa Rasulullah hanya dua jenis orang yang boleh diizinkan tidak ikut berjihad yakni orang sakit dan orang miskin yang tak mampu membiayai dirinya saat berjihad.

Ini harus selalu menjadi kesadaran dan orientasi kita,  bahwa iman dan Islam selalu menuntut kita berjuang. Dan berjuang mutlak adanya kebersamaan atau berjama’ah.(*)

*) Ditranskrip dan disarikan oleh tim AMC.



BACA JUGA