Rabu, 18 Juni 2025 | 08:40 Wita
Abdullah Said, Langit Gelap yang Menuntun Jalan

HidayatullahMakassar.id — Petang menjelang Maghrib, langit mulai merunduk perlahan di Pasar Daya. Muhsin Kahar dan rombongannya; As’ad Kahar dan Manshur Salbu tiba setelah menempuh perjalanan panjang sejauh 40 kilometer.
Raga mereka letih, namun di dalam dada masih menyala bara semangat yang tak bisa dipadamkan hujan ataupun debu jalanan.
Tiga pemuda Muhammadiyah Bontomaero yang setia mengantar mereka, M. Amin Dewa Daeng Awing, Yusuf Hasan, dan Silahuddin, berpamitan kembali ke Limbung Gowa.
Sementara itu, Muhsin, As’ad dan Mansur meneruskan langkah ke arah Maros. Setiba di Mandai, mereka berbelok ke barat, menelusuri jalur sunyi hingga akhirnya adzan Isya menyambut mereka di Kaemba.
Di sebuah rumah sederhana milik Abdul Fattah, kader muda Muhammadiyah, mereka disambut hangat. Di sinilah mereka merebahkan penat, namun bukan untuk tidur tenang.
Sebab yang tiba malam itu bukan hanya angin malam, tapi juga sebuah pesan yang menggetarkan: sebuah termos kecil, dibawa dari satu tangan ke tangan lainnya, dari satu jiwa amanah ke jiwa amanah lainnya.
Muhsin membuka termos itu perlahan. Di dalamnya, sepucuk surat dengan tulisan tangan yang dikenalnya dengan baik, tulisan tangan Abdul Djalil Tahir, sahabat seperjuangan yang kini ditahan di Koramil.
Dengan gemetar pelan tapi penuh perhatian, ia membaca:
Untuk Saudaraku, Muhsin Kahar. Kutulis surat ini dari tempat sempit namun luas di hati.
Saudaraku..,
Langit belum terang, tapi gelapnya telah memberi tahu kita arah. Jangan kembali. Jangan berpikir untuk menyerahkan diri. Jalan yang telah engkau buka belum selesai, dan suara-suara kami bisa padam jika engkau jatuh.
Biarkan kami di sini, Biarkan tubuh-tubuh kami menahan sementara angin murka ini.
Tapi engkau, engkaulah lidah dari nurani yang tak bisa dibungkam. Jika perlu, tinggalkan Sulawesi.
Jangan biarkan mereka tahu peta gerak kita, Jangan biarkan satu per satu guru dan kawan-kawan kita ditarik dari rumah-rumahnya karena engkau tergesa menunjukkan dada.
Ingat saudaraku, ini bukan soal nama. Ini soal gelombang yang belum sempat menggulung tuntas kebusukan bernama angka-angka palsu.
Jangan kembali.
Saudaraku Muhsin, berlindunglah. Mengalirlah seperti air yang sabar, tapi tetap menggoyang batu sampai ia hancur.
Jika kami ditahan, biarlah. Asal ruh perlawanan ini tak ikut terkubur bersama tubuh-tubuh kami.
Tetap hidup, tetap menyala. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Abdul Djalil Tahir
Koramil 1408, 30 Agustus 1969,
Subuh menjelang pagi
Surat itu selesai dibaca. Tapi kata-katanya tinggal di dada. Sebuah penegasan dari sahabat yang sedang menderita di balik jeruji, namun masih bisa berpikir jernih untuk menyelamatkan bara perjuangan yang tinggal menyala dalam satu nama: Muhsin Kahar.
Muhsin diam cukup lama. Pikirannya berkelindan. Di satu sisi, suara sebahagian tokoh sepuh menggaung: “Jangan lari dari tanggung jawab”. Tapi suara lain, suara yang lebih muda, lebih tajam, lebih segar, menyahut: “Bertahanlah. Larilah jika perlu. Jangan biarkan engkau yang jadi api justru padam sebelum membakar habis sumber luka ini.”
Malam itu, Kaemba kembali menjadi saksi. Dulu dari tempat ini ia bersama dua sahabatnya memulai langkah untuk mengganyang lotto, dan malam ini juga, dari tanah yang sama, ia memutuskan untuk menghilang, membawa pergi sisa nyawa dari gerakan ini agar tak padam seluruhnya.
Ia percaya, jika ia tetap menjadi bayangan yang tak tertangkap, maka para guru, sahabat, dan adik-adik seperjuangannya mungkin akan terbebas dari belenggu.
Sedang Muhsin Kahar, diam-diam, berpamitan kepada langit Kaemba. Esok paginya, saat embun belum sepenuhnya turun, ia bertemu Zainuddin Daeng Mattiro, seorang pengurus Muhammadiyah Bontoala, putra asli Kaemba yang memberinya bekal sederhana namun penuh berkah.
Tak lama, seorang sahabat seperjuangan Mahyuddin Thaha, datang menjemput dengan Vespa tua yang masih setia meraung.
Lalu mereka pun melaju ke utara, menembus kesunyian yang bukan sekadar pelarian, melainkan langkah pengorbanan demi menyelamatkan ruh perjuangan yang tengah dikepung dari segala arah.
Di Kaemba, As’ad Kahar dan Manshur Salbu tetap tinggal. Mereka bukan sekadar menunggu, mereka menjaga simpul-simpul harapan, dan memastikan bara semangat tak padam meski digerus gelombang tekanan.
Dan Kaemba pun kembali sepi. Tapi di bawah senyapnya, ada gema yang tak akan mati: “Bila ruh sebuah perjuangan telah dititipkan pada seorang pemuda yang tak bisa dibeli dan tak bisa ditakuti, maka tinggal menunggu sejarah menulisnya dengan tinta paling abadi.” (bersambung ke seri 37)

TERBARU
-
Abdullah Said, Langit Gelap yang Menuntun Jalan
18/06/2025 | 08:40 Wita
-
Abdullah Said, Nahi Mungkar Tak Pernah Mati
16/06/2025 | 13:28 Wita
-
Abdullah Said, Malam Yang Menyalakan Api
15/06/2025 | 14:11 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita