Senin, 16 Juni 2025 | 13:28 Wita
Abdullah Said, Nahi Mungkar Tak Pernah Mati

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Sabtu, 30 Agustus 1969. Langit masih kelam ketika azan subuh usai mengalun di Kampung Bontomaero. Kabut pagi menyelimuti tanah basah dan dedaunan gemetar oleh embun.
Namun di satu sudut kampung, cahaya samar dari pelita menembus celah-celah rumah kayu milik Sirajuddin Bali, Sekretaris Pemuda Muhammadiyah Bontomaero.
Di dalamnya, tiga pemuda berdiri dalam diam penuh makna: M Amin Dewa Dg Awing, Yusuf Hasan, dan Silahuddin. Wajah mereka serius namun tak kehilangan kelembutan iman.
Mereka menunggu, menanti perjalanan penting: mengantar Muhsin Kahar, As’ad Kahar, dan Manshur Salbu kembali ke Makassar, kota yang baru saja berguncang oleh gelombang kebenaran.
Mereka memilih jalan kampung yang tak lazim dilewati, seperti menyusuri lorong waktu, menghindari tatapan mata-mata gelap yang mungkin saja mengintai.
Di antara desir angin dan langkah sunyi, mereka mencari kabar tentang nasib saudara-saudara seperjuangan. Setiap simpang jalan adalah teka-teki, setiap bayangan adalah tanya: bagaimana keadaan teman-teman setelah badai pengganyangan semalam?
Sementara itu, di Makassar, fajar belum sepenuhnya menyingsing, tetapi berita telah lebih dulu menjalar. Tak perlu radio, tak perlu koran.
Kota berbicara lewat bisik-bisik di warung kopi, lewat lirih ibu-ibu di dapur, lewat raut gelisah di wajah ayah-ayah yang mendadak enggan keluar rumah.
Kata “lotto” berubah makna: dari harapan semu menjadi simbol luka yang harus dihentikan.
Lapak-lapak judi terdiam. Kupon-kupon terbakar malam sebelumnya, menyisakan bau bensin yang belum sepenuhnya lenyap. Antrean angka yang dulu menjadi candu, pagi itu sirna tanpa jejak.
Para bandar, biasanya pongah, kini menunduk seperti kehilangan lidah. Beberapa menghilang entah ke mana, sebagian lain masih bersembunyi di balik tirai kekuasaan.
Namun tak semua diam karena takut. Di balik tirai rumah-rumah panggung, ada doa-doa lirih. Di bawah atap warung kopi, ada senyum kecil yang ditahan.
“Akhirnya ada yang bergerak,” bisik seorang lelaki tua di Jalan Bandang.”Bukan cuma marah-marah di mimbar, tapi betul-betul turun tangan,” sahut yang lain.
Para ibu menghela napas lega. Mereka tahu, pagi ini berbeda. Suami mereka tak lagi sibuk mengejar mimpi angka. Mereka duduk kaku di kursi ruang tamu, memandangi dinding, mengunyah penyesalan.
Mungkin baru hari itu mereka sadar: angka-angka telah merampas harga diri mereka—sebagai lelaki, sebagai ayah, sebagai manusia.
Di kantor Kodim 1408 dan pos kepolisian, berkas-berkas mulai menumpuk seperti amarah yang tak tersalurkan. Petugas intelijen mencatat nama-nama, menyelami laporan dengan mata curiga.
Nama Abdul Djalil Tahir segera muncul di antara daftar itu, sosok keras kepala dengan jaket lapangan dan motor CB yang menderu seperti singa luka.
Muhsin Kahar disebut sebagai otak utama dibalik guncangan semalam serta Mahyuddin Thaha membantunya menyusun strategi.
“Di mana Muhsin Kahar?!” bentak seorang penyelidik, wajahnya memerah. Dengan tenang, Abdul Djalil menjawab, “Bagaimana saya tahu, Pak, sementara saya kan di sini?”
Beruntung, Letnan Zaid, perwira piket malam itu mengenal Djalil sebagai sesama aktivis lama di IMM IAIN. Ia mengambil alih interogasi, bukan dengan makian, melainkan dengan kejujuran.
“Apa yang bisa saya bantu, Djalil?” tanyanya pelan. “Saya ingin berkomunikasi dengan Muhsin,” jawabnya serius.
“Tulis surat. Saya akan antarkan.”
Ada keraguan, namun kesempatan itu terlalu mahal untuk dilewatkan. Djalil mengambil kertas, menulis dengan tangan gemetar tapi hati yang mantap. Surat itu selesai, ringkas namun sarat makna.
Tapi ia tahu, di kantor militer, surat bisa dibaca siapa saja. Maka, ketika Ustadz Abdul Khair Thayyib datang menjenguk dengan membawa termos kecil, muncul ide Djalil dari langit hati.
Djalil menyelipkan surat itu dalam termos dan berbisik, “Tolong cari Muhsin, sampaikan ini surat ini dan katakan bahwa ini sangat penting.”
Ustadz Abdul Khair hanya mengangguk, tanpa banyak tanya. Amanah ini terlalu besar, tapi terlalu mulia untuk ditolak.
Saat langkah Ustadz Khair menjauh, Abdul Djalil bersandar pada dinding sel. Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis.
“Kalau semangat nahi mungkar harus dibayar dengan tubuh yang luka, biarlah. Tapi jangan biarkan semangat ini mati…” gumamnya.
Matahari naik cepat hari itu. Teriknya menyentuh tanah Makassar seolah memberi restu. Di balik jeruji, di dalam lorong kampung, dan di dada para ibu, sebuah keyakinan tumbuh pelan-pelan: bahwa sejarah tengah bergerak, dan bahwa setiap gerak itu dimulai dari satu tekad… untuk berkata cukup pada kemungkaran.(bersambung ke seri 36)

TERBARU
-
Abdullah Said, Nahi Mungkar Tak Pernah Mati
16/06/2025 | 13:28 Wita
-
Abdullah Said, Malam Yang Menyalakan Api
15/06/2025 | 14:11 Wita
-
125 Santri SMP-SMA Al Bayan Hidayatullah Diwisuda
13/06/2025 | 06:24 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita