Minggu, 15 Juni 2025 | 14:11 Wita
Abdullah Said, Malam Yang Menyalakan Api

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Malam kian larut, langit Makassar tergantung gelisah di atas kota yang menolak tidur. Guncangan pengganyangan judi lotto menyusup ke lorong-lorong dan gang-gang sempit, memecah sunyi dengan nyala semangat yang telah lama ditekan.
Di balik bayang-bayang lampu jalan yang padam, sejarah tengah ditulis oleh tangan-tangan muda yang menolak tunduk pada kemungkaran.
Abdul Djalil melaju perlahan menyusuri aspal yang basah embun dengan Honda CB merah kesayangannya. Deru mesin membelah senyap malam, menyelinap di antara bangunan tua dan pohon-pohon mahoni yang diam menyimak.
Ia berhenti di depan rumah mertuanya, KH Abdul Djabbar Asyiri, di Jalan Bandang 74 A. Wajah tua sang kiai menyambutnya di bawah cahaya lampu temaram.
“Kelihatannya ada urusan yang sangat penting, Nak,” suara sang kiai lembut, tapi penuh rasa tahu. Djalil mengangguk pelan.
“Iya, Pak Kiai… nanti saya ceritakan.” Tapi malam seolah tak memberi waktu panjang.
Baru saja ia hendak keluar kembali, sebuah kabar berhembus pelan, namun cukup menusuk jantung: Munzir Rowa, kader KOKAM yang menjadi salah seorang ujung tombak pengganyangan, telah ditangkap bersama beberapa pemuda lain.
Djalil menarik napas panjang. Dunia seperti berhenti berputar sejenak.
Ia menghampiri istrinya, Khaeriyah, lalu berbisik sambil menggenggam tangannya, “Siap-siap, Dek… sepertinya sebentar lagi saya akan dijemput aparat.”
Sementara itu, di sudut kota yang lain, Muhsin Kahar telah bergerak ke arah selatan. Makassar yang tegang dan mulai tak ramah tidak lagi bisa ia percaya sebagai pijakan.
Bersama kerabatnya Nurdin Abdullah, Amir Said, Muhsin menembus malam, meninggalkan kota yang mulai menggeram, ia menuju suatu tempat dimana As’ad Kahar adiknya bersama Manshur Shalbu sudah menunggu di sana.
Tepat tengah malam, Muhsin tiba di Bontomaero, sebuah kampung sunyi di Limbung, Gowa. Di sana, jauh dari sorot lampu dan mata-mata penguasa, ia disembunyikan oleh Mansyur Soma, seorang anggota DPR dari Partai Muslimin Indonesia.
Sementara itu, Mahyuddin Thaha memilih arah utara. Ia menghilang di balik kabut Kaemba, lalu berlabuh sejenak di Maros, bernaung di rumah seorang kerabat yang memahami arti perlindungan bagi pejuang yang sedang diburu.
Ketika waktu menari menuju subuh, ketukan keras menggetarkan pintu rumah KH Abdul Djabbar. Aparat datang dengan wajah lelah dan suara yang menyimpan tekanan.
Mereka disambut dengan tenang, seperti tamu yang sudah lama dinanti. “Kami datang untuk menjemput Abdul Djalil Tahir,” ucap salah seorang dengan suara dingin, “ia sebagai salah seorang pelaku utama pengganyangan.”
Sang kiai hanya tersenyum. Tatapannya dalam dan tenang, seolah telah membaca babak ini jauh sebelum ia datang. “Pada akhirnya,” gumamnya lirih, “Murid-muridku sendiri yang merealisasikan kegelisahan terhadap kemungkaran yang bernama lotto…”
Ketika azan subuh mulai bersenandung dari menara, Abdul Djalil telah tiba di Koramil 1408 Makassar. Di sana, dari balik jeruji besi ia melihat wajah-wajah yang dikenalnya: Munzir Rowa, Tahir Fatwa, Abdurrahman. semua tertahan dalam ruang yang sempit tapi dipenuhi martabat.
Bahkan para tokoh tua seperti KH Marzuki Hasan, KH Fathul Muin Dg Maggading, Ustadz Arief Marzuki, hingga ayah Muhsin sendiri, Kiai Abdul Kahar Syuaib telah ikut digelandang.
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Satu per satu tokoh Muhammadiyah datang menjenguk, mencoba menjadi suara bagi mereka yang ditahan.
KH Muhammad Aqib, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulselra, menyampaikan klarifikasi bahwa ini bukan gerakan resmi persyarikatan. Tapi aparat telah mengunci niatnya.
“Mereka bisa bebas,” kata seorang perwira, “asal Muhsin Kahar diserahkan.” Sosok itu kini menjadi hantu bagi rezim, bayangan muda yang berani menantang perjudian di tengah gemuruh kekuasaan.
Malam belum usai, meski mentari perlahan hendak kembali. Dan di balik bukit-bukit sunyi, Muhsin menatap langit yang mulai terang.
Ia tahu: ini baru awal dari perjuangan panjang. Di balik jeruji besi dan kampung-kampung terpencil, bara itu masih menyala, menunggu waktu untuk kembali menyala.(bersambung ke seri 35)

TERBARU
-
Abdullah Said, Nahi Mungkar Tak Pernah Mati
16/06/2025 | 13:28 Wita
-
Abdullah Said, Malam Yang Menyalakan Api
15/06/2025 | 14:11 Wita
-
125 Santri SMP-SMA Al Bayan Hidayatullah Diwisuda
13/06/2025 | 06:24 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita