Selasa, 10 Juni 2025 | 05:55 Wita
Abdullah Said : Ketika Pemuda Menolak Diam, Ganyang Lotto

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Langit Makassar mulai temaram. Adzan Maghrib belum berkumandang, namun semangat para pemuda telah berkobar. Mereka berkumpul dalam keheningan yang mendebarkan.
Mata mereka menyala, dada mereka bergemuruh oleh cita yang telah lama dirawat: mengganyang kemungkaran.
Di lantai tiga Tamirul Masajid, pemuda-pemuda itu dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok terdiri dari empat orang, satu di antaranya diangkat menjadi pemimpin.
Mereka dibekali senjata sederhana namun penuh makna: balon pijar yang telah diisi air keras, dan bagi sebagian, sebilah senjata tajam diselipkan sebagai pilihan terakhir.
Tapi mereka tahu—senjata bukan alat utama. Ini bukan soal kekerasan. Ini soal keberanian.
Tiga sahabat itu—Muhsin, Mahyuddin, dan Abdul Jalil—berdiri di depan mereka. Sosok-sosok yang tak hanya memberi arah, tapi menyalakan keyakinan.
Wajah mereka mencerminkan tekad yang tak bisa dibelokkan. Muhsin berdiri pertama, suaranya tenang, namun menggema seperti doa yang menyelinap ke relung hati.
“Saudara-saudaraku… Malam ini bukan malam biasa. Ini malam ujian. Siapa yang akan berdiri, dan siapa yang akan mundur. Kita tidak sedang mencari kemenangan dalam bentuk pamrih, tapi dalam tegaknya amar ma’ruf dan runtuhnya mungkar.”
Ia berhenti sejenak, menarik napas, lalu melanjutkan. “Dan ingat, dalam gerakan ini, satu komando berada di tangan saudara Abdul Jalil.
Dengarkan arahannya. Ikuti langkahnya. Di medan nanti, komando adalah cahaya.”
Abdul Jalil maju. Wajahnya membara. Di tangannya tergenggam lembaran skenario yang disusun Mahyuddin Thaha dengan rapi dan urut.
Ia bicara tanpa berbelit. Setiap kata adalah aba-aba.
“Kita akan mulai dari titik Jalan Diponegoro. Lalu bergerak ke Jalan Irian. Setiap kelompok sudah tahu tugasnya. Jangan bergerak sebelum ada kode dari saya. Balon pijar dan senjata tajam hanya digunakan jika diperlukan, jangan asal lempar. Kita datang sebagai gelombang, lalu menghilang sebagai bayang.”
Setelah salat Maghrib berjamaah di Masjid Tamirul, para pemuda menyebar perlahan, menuju posisi masing-masing. Abdul Jalil berada di garis terdepan, memimpin dari atas sepeda motor Honda CB merahnya, sebagian nomor platnya telah ia tutupi.
Sebelum menggeber gas, ia berkata singkat kepada rekan-rekannya, “Tunggu aba-aba dariku. Tiga kali deru, dan kita bergerak.”
Motor pun melesat menembus jalanan yang mulai temaram. Jalil memetakan ulang medan, lalu berhenti sejenak di Masjid Nurul Hidayah di Jalan Kapopposang untuk menunaikan salat Isya.
Pukul 19.00 WITA. Langit tiba-tiba gulita, Kota Makassar dilanda pemadaman listrik. Seolah semesta pun ingin menyembunyikan langkah para pejuang dari mata-mata musuh.
Abdul Jalil melangkah keluar dari masjid dengan jaket ¾ membungkus tubuhnya. Ia duduk di atas motornya, menyalakan mesin, lalu menggeber tiga kali—keras, nyaring, tegas.
Bream!…Bream!…Bream !
Isyarat itu melesat ke telinga para pemuda yang telah siaga. Mereka bergerak serentak, menghantam titik pertama di Jalan Diponegoro.
Kupon-kupon berhamburan, suara kaca pecah bersahut-sahutan. Lalu bergerak ke Jalan Irian, dan titik-titik lainnya. Makassar menjadi panggung perlawanan.
Namun di antara kegelapan itu, bayang-bayang bergerak cepat. Intel dari Kodim 1408 tampak menyusuri jalan. Abdul Jalil menangkap gerak mencurigakan itu._”Bocor,” gumamnya.
Ia segera memutar arah untuk menarik perhatian, ia memacu motornya ke jalan Irian, lalu ke jalan Bandang dan masuk Tamirul, ia berbaur sejenak, lalu keluar lagi dengan jaket kuning.
Ia mengambil jalur berbeda, yakni jalan Sangir, lalu kembali ke Tamirul. Tak lama kemudian, ia mengenakan jaket merah, dan melesat lagi, menyusuri Makassar hingga tiba di Mattoanging tempat Muktamar PII tengah berlangsung.
Sementara itu, para pemuda dari asrama Muhammadiyah Jalan Bandang, Jalan Andalas, dan Jalan Diponegoro bergerak dengan keberanian yang menakjubkan.
Mereka mengobrak-abrik tempat penjualan kupon, mencerai-beraikan para bandar, yang sebagian besar adalah warga Tionghoa. Tidak ada yang terluka, tapi ketakutan telah menyebar.
Sebuah shock therapy yang mengguncang jantung perjudian di kota ini.
Malam pun merayap pelan. Di atas langit Makassar, bintang mulai redup. Suasana kembali hening. Kota seolah kembali tenang, tapi denyutnya telah berubah.
Tiga sahabat itu berpisah, masing-masing menuju tempat yang telah ditentukan. Dalam keheningan mereka menyimpan satu hal yang sama yaitu kepastian bahwa malam itu telah menjadi tonggak, bahwa mereka pernah berdiri, bukan untuk membenci, tapi untuk membebaskan.(bersambung ke seri 34)

TERBARU
-
125 Santri SMP-SMA Al Bayan Hidayatullah Diwisuda
13/06/2025 | 06:24 Wita
-
Santri Menulis – Pesantren dan Kerinduanku pada Orangtua
10/06/2025 | 06:15 Wita
-
Abdullah Said : Ketika Pemuda Menolak Diam, Ganyang Lotto
10/06/2025 | 05:55 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita