Jumat, 6 Juni 2025 | 20:49 Wita
Abdullah Said, Makassar 1969 Ketika Iman Melawan

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Kamis pagi, 28 Agustus 1969, langit Makassar masih kelabu, seperti menahan napas atas apa yang akan terjadi hari itu.
Di lantai tiga Tamirul Masajid, tempat yang telah menjadi saksi bisu banyak cita dan doa, tiga sahabat duduk bersila dalam lingkaran sunyi.
Tak ada kata yang meluap, hanya isyarat, tatapan, dan secangkir teh yang mulai mendingin.
Muhsin Kahar, dengan wajah tenang dan mata tajam, membuka pembicaraan.
“Waktu kita tak banyak. Tapi ini bukan lagi soal lama atau sebentar, tapi ini soal kita ingin dilihat oleh sejarah sebagai orang-orang yang tak diam ketika kemungkaran mengakar.”
Mahyuddin Thaha mengangguk, jemarinya sibuk menyusun kertas kecil bertuliskan pesan. Ia menuliskan dengan rapi waktu dan titik awal pengganyangan.
Lalu memanggil seorang kader muda dari Pemuda Muhammadiyah. “Bawa ini ke para pimpinan,” ujarnya singkat, tapi penuh makna.
“Sampaikan, malam ini bukan mimpi tapi ini panggilan.” Kader itu mengangguk dan berlari, menyusuri jalanan kota dengan semangat yang menyala dalam dada.
Sementara itu, Muhsin dan Mahyuddin segera menemui para pengurus PII Sulsel yang sedang menggelar Muktamar. Kepada mereka, disampaikan maksud, rencana, dan harapan untuk membangkitkan kekuatan bersama.
Namun respon tak seperti yang diharapkan.
As’ad Kahar, adik Muhsin, sudah menggerakkan para peserta Muktamar dari Labbakkang Pangkep, namun langkah itu dihentikan oleh M. Zoubair Bakry, Ketua PW PII Sulsel.
“Bukan waktunya,” katanya tegas. “Tokoh-tokoh Masyumi baru saja keluar dari penjara. Jangan libatkan mereka dalam riuh ini, Jangan beri rezim alasan untuk menangkap mereka lagi.”
Di tempat lain, dengan sepeda motor Honda CB merah berpelat DD 1676, Abdul Jalil menyusuri jalan-jalan kota. Ia memetakan titik-titik penjualan kupon lotto, satu per satu dicatat dalam benaknya, lalu diukir dalam strategi.
Ia tiba kembali di Tamirul Masajid menjelang tengah hari, tubuhnya dibasahi peluh, tapi matanya menyala oleh kesungguhan.
Saat matahari menunduk di langit Makassar, para pemuda mulai berdatangan. Mereka datang bukan untuk mendengar, tapi untuk menjadi bagian dari sejarah.
Lantai tiga Tamirul Masajid seketika padat. Udara ruangan hangat oleh peluh, namun lebih hangat lagi oleh semangat.
Aura gugatan memenuhi ruang, atmosfer perlawanan menggetarkan dinding-dinding tua masjid.
Ketiganya berdiri di depan.
Muhsin membuka arahan, suaranya pelan, namun tegas, seperti aliran sungai yang tenang namun menghanyutkan.
“Saudara-saudaraku,” katanya, “ini bukan sekadar aksi. Ini adalah nahi mungkar yang menjelma menjadi langkah nyata. Tak cukup hanya dengan ceramah atau tulisan. Ini saatnya tangan bergerak, kaki melangkah, dan hati menyala.”
Mahyuddin kemudian maju. Ia menjelaskan skenario dengan tenang: titik-titik serangan, jalur mundur, siapa bertugas di mana. Setiap kata bagai bidak catur yang diletakkan penuh perhitungan.
“Gerakan kita harus rapi,” ucapnya. “Gerakan ini bukan kobaran amarah. Ini siasat yang penuh disiplin. Kita bukan massa liar, kita barisan beriman.”
Dan akhirnya, Abdul Jalil Tahir berdiri, seperti api yang menyala dari pangkal dada.
“Saudara-saudaraku!” serunya, suaranya membelah keheningan. “Apa yang akan kita lakukan bukan pekerjaan kecil. Ini perjuangan yang akan dicatat, disalin oleh waktu dalam tinta emas sejarah. Tapi ingat, setiap perjuangan punya harga. Mungkin tubuh yang luka atau mungkin juga bermalam di balik jeruji.”
Ia berhenti sejenak, menatap satu per satu wajah-wajah muda yang berdiri di hadapannya. “Pertanyaanku sederhana. Apakah kalian siap menanggung risikonya?!”
Serentak, udara pecah oleh suara seribu jiwa. “Siap! Hidup mulia atau mati syahid !” Takbir menggema.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Langit Makassar pun seperti tersentak. Malam belum datang, tapi cahaya perjuangan telah dinyalakan dari menara sunyi itu—cahaya yang akan membelah gelap kota, dan menjadi kisah yang terus hidup, di dada-dada yang tak pernah ingin tunduk pada kemungkaran.(bersambung ke seri 33)
*) Oleh: Dr Abdul Kadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan

TERBARU
-
Abdullah Sa’id, Tirai Senja di Parepare: Persiapan Sunyi Menuju Seberang
06/07/2025 | 16:57 Wita
-
Abdullah Said, Benih Tersemai dalam Sunyi
03/07/2025 | 09:47 Wita
-
Abdullah Said, Pelarian yang Menjaga Ruh
02/07/2025 | 09:39 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita