Selasa, 3 Juni 2025 | 20:28 Wita
Abdullah Said, Bara dari Menara Ta’mairul

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Malam mulai turun di langit Makassar, Rabu, 27 Agustus 1969. Awan menggantung kelabu, seolah langit pun menahan napas atas apa yang tengah disusun di bawahnya.
Dari jalan-jalan kota yang lengang, tiga sosok melangkah mantap menuju jantung perjuangan: lantai dua Menara Tamirul Masjid, tempat yang selama ini menyimpan gemuruh langkah para pemuda Muhammadiyah.
Tanpa menunda waktu sepulang dari Kaemba, Muhsin, Mahyuddin, dan Abdul Jalil menggerakkan roda perlawanan.
Di ruang yang sempit dan sederhana itu, cahaya lampu temaram memantul samar di dinding-dinding semen yang dingin. Namun semangat yang memenuhi dada para hadirin, membara, tak tertandingi.
Malam itu bukan malam biasa. Di Makassar, sedang berkumpul tokoh-tokoh besar umat, mantan petinggi Masyumi yang baru saja dibebaskan dari kurungan rezim lama.
Ada Prof. K.H. Abdul Ghaffar Ismail, sang ulama karismatik asal Pekalongan, ayah dari budayawan Taufiq Ismail; ada pula Prawoto Mangkusasmito, mantan Wakil Perdana Menteri sekaligus Ketua Masyumi terakhir; E.Z. Muttagin, pemimpin Pemuda Islam Indonesia; dan sejumlah tokoh lain yang namanya menggetarkan sejarah.
Abdul Jalil berdiri di tengah ruangan yang mulai sesak, mencoba mengatur lautan pemuda yang ingin mendengar langsung wejangan Pak Prawoto.
Saat itu, Muhsin dan Mahyuddin tengah dijadwalkan menjemput sang tokoh. Tapi waktu berlalu, dan mereka kembali tanpa Prawoto.
Dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat, Jalil pun paham, barangkali memang Prawoto sengaja tidak diizinkan hadir oleh petinggi PII Sulsel.
Situasi Makassar sedang mendidih, dan bisik-bisik tentang rencana pengganyangan sudah mulai menyelinap keluar, seperti asap dari bara yang tersembunyi.
Atau… ini memang siasat. Siasat Muhsin yang cerdik membaca gelombang. Ia sebar kabar tentang hadirnya tokoh besar, bukan untuk menipu, tapi untuk menghidupkan gairah yang nyaris padam.
Dan terbukti: strategi itu menggetarkan. Ruangan penuh sesak. Nafas menjadi satu. Semangat menebal di udara, seperti kabut pagi yang menandakan fajar telah dekat.
Acara pun digelar—tanpa kehadiran Pak Prawoto, memang, namun bukan berarti tanpa arah dan cahaya. Abdul Jalil mengambil peran sebagai protokol, tangannya gemetar pelan menahan haru dan tanggung jawab.
Lalu ia mempersilakan Ustadz M. Arsyad Palantei membuka pertemuan dengan lantunan ayat suci.
Suara lantunan ayat suci mengalir dari bibir sang ustadz—lembut, bening, namun menghunjam. Ayat-ayat itu memantul di dinding-dinding masjid, merambat ke langit-langit malam yang muram, lalu naik ke langit, menjadi doa, menjadi tekad, menjadi janji diam-diam para pejuang muda.
Setelahnya, Abdul Jalil mengangguk kecil, memberi isyarat kepada Muhsin. Ia pun berdiri, tegap tubuhnya. Tatap matanya menyapu seluruh wajah-wajah muda yang duduk melingkar di hadapannya; mata-mata penuh harap, penuh tanya, dan nyala.
Sunyi sejenak menggelayut, seolah malam pun menanti ucapannya.
“Saudara-saudaraku…” suaranya berat, tapi bening, bergetar oleh keyakinan, “Pak Prawoto, tokoh besar yang kita rindukan, tak bisa membersamai kita malam ini.”
Tapi semangat beliau menyala dalam dada kita. Karena kita semua di sini tanpa gelar besar, tanpa nama gemerlap, tapi kita adalah jiwa-jiwa yang sadar.
Kita bukan sedang melawan angka. Kita sedang melawan racun yang ditabur dengan sengaja, racun yang menjelma jadi harapan palsu, membius lewat mimpi, menggoda lewat ilusi.”
Muhsin menghela napas. Ruangan tetap hening, namun hening yang menggigilkan. “Ini bukan lagi tentang judi. Ini tentang nalar yang dibutakan. Tentang iman yang dilucuti. Dan malam ini, kita tidak sedang menyusun amarah, tapi menyiapkan terang. Sebab kota ini tak boleh kita biarkan tenggelam dalam gelap yang disebar oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.”
Dan di malam itu, di ruang sunyi yang terletak tinggi di menara masjid, sebuah keputusan lahir. Bukan dendam yang jadi bara, tapi cinta.
Cinta pada masyarakat yang telah dibutakan oleh harapan semu. Cinta pada Islam yang mereka jaga, agar tak dinodai oleh perjudian yang menggerogoti jiwa.
Namun, mereka sadar. Mata-mata mengintai. Intel kepolisian bertebaran. Maka pertemuan itu pun dipersingkat, cukup untuk menyemai benih api.
Lalu tiga sahabat itu kembali bergerak dalam senyap. Muhsin, Mahyuddin, dan Abdul Jalil dan yang lainnya membawa bara itu ke ruang rahasia. Mereka melakukan pertemuan tertutup untuk satu rencana besar: Mengganyang Lotto.(bersambung/*)
*) Oleh : Dr Abdul Kadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan

TERBARU
-
Abdullah Said, Bara dari Menara Ta’mairul
03/06/2025 | 20:28 Wita
-
Abdullah Said, Api dari Kaemba
31/05/2025 | 06:17 Wita
-
Abdullah Said, di Ujung Angka, Kami Melawan Mimpi
29/05/2025 | 08:11 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita