Sabtu, 31 Mei 2025 | 06:17 Wita
Abdullah Said, Api dari Kaemba

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Senja mulai luruh di ufuk, langit Makassar tak sepenuhnya cerah. Angin membawa aroma asin dari laut, bercampur debu jalanan dan keresahan yang makin terasa menusuk dada.
Di antara gemerlap lampu kota dan deru kendaraan, ada satu arus kelam yang mengalir diam-diam, tapi pasti, judi modern bernama lotto.
Ia bukan lagi sekadar permainan angka. Ia telah menjelma jadi candu, menghisap akal sehat dan iman rakyat kecil.
Dari gang-gang sempit hingga warung kopi di pinggir jalan, dari mimpi semalam hingga angka di secarik kertas, masyarakat seperti dililit harapan palsu. Harapan yang nyaris selalu gagal ditebus, tapi terus dijadikan pegangan.
Muhsin Kahar berdiri di beranda rumahnya yang sederhana, memandangi langit senja yang muram.
Angin mengalir pelan, membawa dengung keresahan yang sudah terlalu lama ia pendam.
“Jalil, kau dengar sendiri, bukan? Kita sudah bersuara di mimbar-mimbar. Sudah membakar semangat dari pengajian ke pengajian. Tapi rasanya… suara kita tak cukup menembus tembok batu yang mereka bangun,” ujar Muhsin kepada sahabatnya, Abdul Jalil Tahir, yang duduk bersila tak jauh darinya.
Jalil mengangguk pelan, memandangi cangkir teh yang tak lagi mengepul. “Ya. Kita lantang di masjid, tapi mereka makin nyaring di warung. Bahkan kini, orang bicara angka seperti bicara takdir. Ini lebih dari sekadar dosa. Ini wabah.
Lalu datanglah Mahyuddin Thaha, membawa selembar kertas dan wajah serius. “Aku baru dari pertemuan aktivis PII. Mereka resah, sama seperti kita. Tapi belum ada satu langkah yang benar-benar konkret. Kita harus mulai memikirkan cara lain. Sesuatu yang lebih… menggugah.”
Muhsin menatap kedua sahabatnya, mata mereka bersitatap dalam satu pemahaman yang tak bisa dijelaskan. Malam itu mereka sepakat: saatnya menyalakan api yang lebih besar. Bukan lagi sekadar suara, tapi aksi.
Beberapa hari kemudian, mereka bertiga berangkat menuju Kaemba, sebuah dusun sunyi di Maros. Di pinggir empang yang tenang di Kaemba, Maros, matahari sore menggantung redup di ufuk barat, mewarnai air yang diam dengan kilau keemasan.
Gemerisik angin mengayun pelan dedaunan di atas kepala mereka, sementara burung-burung kecil sesekali melintas rendah di atas permukaan air.
Tiga sosok duduk bersila di atas tikar pandan yang dibentang di lantai gubuk yang mulai lapuk. Riak air empang memantulkan bayang-bayang mereka seperti cermin alam yang ikut menyimak.
Muhsin menatap jauh ke permukaan air, lalu menarik napas dalam. “Kita tidak bisa terus membakar semangat tanpa arah,” ujarnya pelan, tapi mantap. “Sudah waktunya kita membentuk barisan.”
Abdul Jalil mengangguk pelan, matanya tak lepas dari pusaran kecil di permukaan empang. “Lotto itu seperti racun yang menetes diam-diam… Tapi lama-lama melumpuhkan semua,” bisiknya.
Mahyuddin meremas lembut ujung tikar pandan di sampingnya. “Kalau kota sudah tak mampu menolak racun itu, maka kita yang harus menjadi penawarnya.”
Di tepi empang itu, di antara lengang alam dan semilir angin sore, tekad dibentuk bukan dengan teriakan, tapi dengan ketenangan yang dalam. Mereka tahu, dari tempat sunyi inilah gelombang perlawanan akan dilahirkan.
“Aku siap kerahkan pemuda Muhammadiyah,” sahut Jalil mantap. “Termasuk 30 kader ulama tarjih yang sementara digembleng. Semangat mereka masih menyala.”
Mahyuddin menambahkan, “Dan aku akan hubungi jaringan PII. Kita juga butuh logistik, kalau ini perang, kita harus siapkan pasukan.”
Muhsin menatap cakrawala Kaemba yang perlahan memerah senja.
“Kita beri nama gerakan ini ‘Pengganyangan’. Tak ada kata lebih tepat.”sahutnya dengan suara tenang tapi berwibawa. Tiga pemuda itu pun menyusun siasat.
Di tengah alam yang tenang, mereka menyepakati strategi pengganyangan. Muhsin Kahar akan menjadi penanggung jawab penuh gerakan.
Abdul Jalil Tahir ditunjuk sebagai koordinator lapangan. Sedangkan Mahyuddin Thaha, si tenang yang penuh siasat, ditugasi menjalin komunikasi dengan aktivis PII dan mengurus perlengkapan aksi.(bersambung ke seri 31)
*) Oleh: Dr Abdul Kadir Mahmud, Ketua STAI Al Bayan

TERBARU
-
Abdullah Said, Api dari Kaemba
31/05/2025 | 06:17 Wita
-
Abdullah Said, di Ujung Angka, Kami Melawan Mimpi
29/05/2025 | 08:11 Wita
-
Ust Aziz : Malas Ikut Halaqah Indikasi Sakitnya Akal dan Hati
26/05/2025 | 07:58 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita