Senin, 19 Mei 2025 | 14:33 Wita

Abdullah Said, Amar Ma’ruf di Tengah Kabut Mungkar

Editor: admin
Share

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Langit sore di Maros menguning perlahan ketika gema takbir menandai akhir sebuah fase: penutupan Pengkaderan Pemuda.

Selama sepekan, para pemuda digembleng tanpa jeda oleh tiga sosok utama—Kiai Ahmad Marzuki Hasan, Muhsin Kahar, dan Drs Mahyuddin Thaha.

Mereka bukan hanya mendidik, tetapi meniupkan api keyakinan ke dada-dada muda yang kini siap kembali ke tempat mereka masing-masing membawa bara semangat amar ma’ruf nahi munkar.

Namun beban yang mereka pikul tak ringan. Musuh besar sedang berwajah baru: perjudian gaya modern bernama lotto.

Ia datang sebagai harapan palsu, menyusup dalam mimpi-mimpi rakyat kecil, tapi menggerogoti nalar, mengikis harta, dan memupus iman.

Maka perjuangan kini bergeser—bukan sekadar membangun, tetapi membentengi.

Sementara itu, di jantung Makassar, tak jauh dari getar zaman, geliat lain tengah berdenyut. Di Perguruan Muhammadiyah Cabang Bontoala, persis di samping Masjid Raya yang megah, berlangsung Pendidikan Kader Ulama.

Dipimpin oleh KH Jabbar Ashiry, bersama tiga tokoh karismatik lainnya; Kiai Marzuki Hasan, Dr S Majidi, dan Fathul Muin Daeng Maggading—empat tokoh ini dikenal di kalangan warga Muhammadiyah sebagai “Imam Empat,” para penjaga garda depan cahaya di tengah gelap zaman.

Muhsin Kahar nyaris tak pernah absen dari tempat ini. Setiap hari ia menyambangi para peserta, 27 pemuda yang tengah ditempa menjadi ulama masa depan.

Sebagian dari mereka adalah alumni kaderisasi Muballigh Pemuda Muhammadiyah, buah perjuangannya dahulu. Bersama sahabat seperjuangannya, Abdul Jalil Tahir.

Muhsin membangun ruang-ruang diskusi yang hangat namun tajam, menggugah tanpa menggurui.

Dari diskusi ke diskusi, tumbuh satu kesimpulan yang kian mengeras: lotre bukan sekadar permainan angka. Ia adalah wabah yang mematikan pelan-pelan.

Bersamanya, bermunculan para penafsir mimpi—dukun dan peramal—yang memetik “ilham” dari bunga tidur, menyusunnya jadi angka, lalu menjual harapan di tikungan pasar dan lorong-lorong kota.

Yang miskin menjadi korban pertama. Mereka menjual sisa harta demi selembar kertas penuh ilusi, demi peluang kosong yang kerap berujung kehancuran.

Sore di Makassar turun perlahan. Langit berubah keemasan, dan azan magrib menggema dari menara Masjid Raya, meluruhkan cahaya ke pelataran Bontoala yang mulai sunyi.

Usai shalat Maghrib tiga sosok duduk berhadapan di beranda kayu perguruan itu, ditemani semilir angin dan secangkir kopi yang sudah tak lagi hangat.

Muhsin Kahar mengusap dahinya yang lembap, lelah tapi tidak lesu. Di hadapannya duduk dua sahabat seperjuangan: Abdul Jalil Tahir dan Drs H Mahyuddin Thaha, yang baru saja kembali dari Maros usai penutupan pengkaderan.

“Jalil, engkau lihat wajah-wajah anak-anak itu tadi?” tanya Muhsin lirih, sambil menatap ke kejauhan. “Mereka membawa bara. Tapi belum tahu apa yang harus mereka nyalakan”.

Abdul Jalil tersenyum kecil. “Bara itu butuh arah. Dan arah kita sudah jelas: membendung gelombang mungkar yang datang diam-diam, tapi menggulung keyakinan orang banyak”.

Mahyuddin Thaha mengangguk pelan, sembari menyelipkan buku kecil dari saku bajunya.“Yang paling mengerikan dari lotto ini bukan cuma uang yang hilang, tapi akal sehat yang ikut lenyap.

Orang-orang mulai percaya mimpi lebih dari realita. Mencari angka dari tafsir tidur, bukan dari kerja.”

Suasana sejenak hening. Hanya suara angin yang menyapu pohon asam dan mahoni di halaman masjid.

Lalu Muhsin berkata, suaranya tenang tapi dalam: “Kita tak bisa hanya mengecam dari mimbar. Kita harus turun, hadir, memberi cahaya. Bangun nalar, hidupkan ruh amar ma’ruf nahi munkar. Kalau perlu, kita lawan ilusi dengan imajinasi—agar masyarakat bisa melihat, betapa rusaknya mimpi yang dijual dengan angka.”

Dari halaman sederhana di samping Masjid Raya, mereka merancang siasat untuk melawan arus. Bukan dengan dengan kebencian, tapi dengan ilmu dan cinta pada kebenaran.

Malam pun turun. Dari halaman samping Masjid Raya itu, bara-bara kecil mulai menyala, satu demi satu, menuju fajar yang lebih terang.(bersambung ke seri 29/*)

*) Oleh :dr Abdul Kadir Mahmud MA, Direktur STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA