Kamis, 8 Mei 2025 | 13:22 Wita
Abdullah Said, Berlayar di Bawah Langit Ilmu

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Setelah riuh pengkaderan di mimbar mereda, Muhsin Kahar kembali mengemasi langkahnya. Bukan untuk membimbing, melainkan untuk menimba ilmu lebih dalam.
Bersama sahabat seperjalanannya Usman Palese, ia menapaki dek kapal yang perlahan meninggalkan dermaga Makassar.
Lautan luas membentang di hadapan, mengantar mereka menuju Surabaya—pelabuhan yang menjadi gerbang ke timur Jawa, tempat awal pijakan sebelum cahaya ilmu menuntun mereka ke Ponorogo.
Perjalanan laut itu bukan sekadar perpindahan tempat—ia adalah ruang sunyi tempat jiwa berzikir, tempat angin dan ombak menjadi teman tafakkur.
Kapal itu perlahan meninggalkan dermaga Makassar, membelah samudra dengan dada berani.
Di dek kapal, Muhsin berdiri menatap cakrawala. Langit seperti terbakar jingga, laut berkilau menampung matahari yang hendak tenggelam.
Angin asin membelai wajahnya, dan suara burung camar seperti azan yang berkumandang dari langit luas.
“Usman,” kata Muhsin perlahan, “Lautan ini luas. Tapi bukankah lebih luas lagi cakrawala ilmu? Kita sedang berlayar, bukan hanya ke timur Jawa, tapi ke arah yang lebih dalam—ke arah pemahaman yang sebenar-benarnya tentang hidup dan agama.”
Usman hanya mengangguk. Diamnya adalah tanda hormat pada getar kata-kata Muhsin.
Setiba di Surabaya, mereka melanjutkan perjalanan ke Pondok Modern Gontor. Namun, hanya seminggu mereka menetap di sana.
Bukan karena putus asa, tetapi karena pencarian mereka menemukan arah baru: ke Pesantren Persis di Bangil, Pasuruan.
Di bawah bimbingan Ustadz Abdul Qadir Hassan, Muhsin Kahar merasakan udara intelektual yang berbeda. Malam-malam di pesantren Persis Bangil tidak hanya diisi dengan tilawah atau tafsir, tetapi juga perdebatan hangat seputar fiqih dan pemikiran Islam.
Ia kerap berdebat hangat dengan Ustadz Mansyur Hassan, adik dari sang pimpinan pesantren dan putera ulama besar A. Hassan.
Suatu malam, di beranda kecil dekat perpustakaan pesantren, Muhsin duduk bersila bersama Ustadz Mansyur Hassan. Di antara mereka, dua gelas teh panas dan beberapa lembar kitab usang yang terbuka.
Muhsin membuka diskusi, “Ustadz, bagaimana sebenarnya pendapat Persis tentang taqlid? Bukankah kadang sulit bagi orang awam untuk tidak mengikuti pendapat ulama?”
Ustadz Mansyur tersenyum tipis. “Muhsin, kami ingin umat berpikir. Taqlid itu bukan haram mutlak, tapi jika terus-menerus tanpa usaha memahami, maka di situlah masalahnya. Allah menurunkan akal, bukan untuk ditinggal di rak kitab.”
Dari percakapan-percakapan santai itu, benih-benih ilmu tumbuh. Bukan hanya dari teks, tapi dari cara menyampaikan, dari cara mendekatkan hukum kepada kehidupan sehari-hari.
“Ustadz, kadang saya pikir… belajar fiqih itu seperti belajar hidup dengan lebih sadar, ya?” tanya Muhsin.
“Betul,” jawab Ustadz Mansyur, “dan kadang, hidup juga mengajari kita memahami fiqih dengan cara yang lebih manusiawi.”
Selain berdiskusi tentang hukum dan pemikiran Islam, Muhsin Kahar kerap diminta naik mimbar menjadi khatib Jumat, menyampaikan ceramah di masjid-masjid jamaah binaan Persis, seolah tak ada jeda antara belajar dan berdakwah.
Di tanah rantau, jauh dari kampung halaman, Muhsin tak sepenuhnya merasa asing. Kehangatan itu hadir lewat sosok Puang Arsya sapaan akrab Arsyad Hasan, S.H., sepupunya yang saat itu menjadi jaksa di Surabaya.
Di rumah Puang Arsya, ia menemukan kembali rasa keluarga yang sempat tertinggal di Mimbar. Rumah itu menjadi tempat ia melepas penat, mengendurkan ikat kepala perjuangan, dan membuka lembar-lembar pemikiran yang tak sempat terucap.
Mereka sering berbincang hingga malam menua, mereka berdiskusi tentang hukum yang kehilangan ruh, tentang politik yang makin kabur arahnya, dan tentang umat yang menanti pelita.
Kata demi kata mengalir bukan hanya dari pikiran, tapi dari hati yang sama-sama menyimpan kegelisahan.
Namun, api di dada Muhsin belum padam.
Ia tahu perjalanannya masih panjang. Setiap pijakan kaki adalah bagian dari ikhtiar besar yang telah ia ukir dalam diam: mencetak generasi Islam yang tangguh dalam ilmu, jernih dalam jiwa, dan tulus dalam pengabdian.
(bersambung ke seri 26)
*) Oleh: Dr Abdul Kadir Mahmud, Direktur STAI AlBayan Makassar


TERBARU
-
Abdullah Said, Berlayar di Bawah Langit Ilmu
08/05/2025 | 13:22 Wita
-
Membangun Kader Intelektual Berjiwa Dakwah: Refleksi Jelang Wisuda Perdana STAI AlBayan
08/05/2025 | 12:53 Wita
-
Abdullah Said, Mereka Pergi Membawa Cahaya
06/05/2025 | 06:57 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita