Selasa, 6 Mei 2025 | 06:57 Wita

Abdullah Said, Mereka Pergi Membawa Cahaya

Editor: admin
Share

SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Pendidikan Kader Muballigh itu hanya berlangsung enam bulan. Waktu yang pendek di kalender, tapi panjang dalam jejak sejarah jiwa.

Itu mungkin hanya separuh tahun, tapi gema ilmunya menembus batas waktu, menyentuh generasi yang belum lahir, dan desa-desa yang belum terjamah cahaya.

Di antara hari-hari itu, hadir sosok yang cahaya lisannya menenangkan dan menggugah: Kiai Haji Ahmad Marzuki Hasan. Ulama kharismatik itu tidak sekadar mengajar; ia menanamkan akar.

Nahwu dan sharaf ia bentangkan laksana peta, agar para pemuda tak tersesat saat menafsirkan Kalam Ilahi. Dan ketika ia menafsirkan al-Qur’an, mushaf tak perlu dibuka.

Ayat-ayat itu mengalir deras dari hafalan yang telah menyatu dengan jiwanya—seolah setiap kata telah lama tinggal di hatinya.

Di sisi lain, Muhsin Kahar berdiri sebagai sang penggugah semangat. Ia tak sekadar mengajarkan retorika dan manajemen organisasi.

Ia mengajarkan nyala. Setiap kalimatnya membakar semangat, menghidupkan keberanian, dan mengukir arah. Bagi Muhsin, dakwah bukan sekadar berbicara, tapi membangun jalan—meski dengan batu-batu kecil keteguhan.

Enam bulan itu melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Tanpa upacara, tanpa panggung kehormatan. Tak ada ijazah yang dibagikan, tak ada selempang kelulusan disematkan.

Hanya embun pagi yang perlahan jatuh, membasuh wajah-wajah muda yang bersiap pergi. Angin tipis meniupkan pesan sunyi dari langit Malimongan Baru (Mimbar), seolah ingin membisikkan bahwa ini bukan akhir—ini awal dari sesuatu yang lebih besar.

Muhsin berdiri di hadapan mereka. Matanya tajam, tapi bening. Suaranya tak meninggi, namun menusuk ke dasar dada. “Jangan tunggu dunia berubah untuk kalian bergerak,” katanya.

“Bergeraklah… maka dunia akan mulai berubah.”
Dan mereka pun berangkat. Bukan sebagai siswa, tapi sebagai cahaya. Cahaya kecil yang diam-diam menembus kabut.

Satu per satu mereka bersalaman. Ada yang menunduk lama saat menggenggam tangan guru-gurunya. Ada mata yang basah, tapi tawa tetap merekah.

Mereka datang dengan semangat bertanya, mereka pulang dengan amanah untuk menjawab zaman.

Suara Kiai Marzuki masih terngiang di benak mereka, “Ilmu yang kalian bawa, tak akan terlihat megah. Tapi ia akan tumbuh di hati manusia, dalam shalat mereka, dalam pilihan hidup mereka.”

Dan Muhsin berdiri sendiri di halaman rumahnya, memandangi jejak-jejak yang memudar di jalan tanah. Mimbar kembali senyap, dan angin pun bersaksi, bahwa dari sebuah pelatihan yang sederhana, telah lahir kader-kader yang akan menggenggam malam, dan menyalakan fajar.

Muhsin beranjak masuk ke dalam rumah dan saat berdiri di ambang pintu, terdengar suara lembut manyapanya; “Engkau terlihat letih, Muhsin,” ucap kiai Kahar lirih, seperti angin yang menyapu lembut dedaunan.

“Bukan badan, Abah… tapi dada ini,” jawab Muhsin, “ia seperti memanggul beban yang tak semua orang pahami.”

Kiai Abdul Kahar mengangguk pelan. “Itu tanda bahwa Allah sedang menitipkan tugas. Yang ringan, seringkali tak punya arti. Tapi yang berat, bisa mengguncang sejarah.”

Malam itu, mereka berbincang panjang. Tentang sejarah perjuangan ulama, tentang jejak para pejuang yang tidak dikenal dunia tapi dicatat langit.

Kiai Abdul Kahar mengajarkan Muhsin tentang pentingnya kesabaran, bukan sekadar menahan diri, tapi bertahan dalam keyakinan ketika semua orang mulai meragukannya.(bersambung ke edisi 25/*)

*) Oleh: Dr Abdul Kadir Mahmud MA, Direktur STAI Al Bayan



BACA JUGA