Minggu, 13 April 2025 | 10:36 Wita
Abdullah Said, Sang Kader di Tengah Arus Sejarah Politik

SOSOK, HidayatullahSulsel.id — Tahun 1968 menjadi titik balik bagi gerakan politik Islam. Lewat Keppres No. 70/1968, berbagai organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Jami’atul Washliyah, Persis, Mathla’ul Anwar, Al-Irsyad, PITI, GASBIINDO, dan lainnya menyatukan langkah membentuk Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
Pembentukan Parmusi sebuah upaya untuk menghidupkan kembali semangat Masyumi yang dibubarkan Presiden Soekarno delapan tahun sebelumnya.
Bagi Muhsin Kahar, keterlibatan dalam Parmusi bukanlah kebetulan. Ia melihat partai ini sebagai warisan perjuangan yang belum selesai.
“Ini bukan sekadar partai,” ucapnya kepada seorang sahabat seperjuangan, “ini jejak yang dulu pernah ditorehkan oleh Masyumi. Jejak yang harus kita teruskan.
”Sang sahabat mengangguk. “Tapi apa kita siap berjalan di jalan yang sama—jalan yang dulu penuh rintangan dan pengkhianatan?” Muhsin menatapnya dalam.
“Justru karena jalannya berat, maka kita harus siap. Politik bukan sekadar strategi dan kekuasaan. Bagi kita, ini ladang dakwah. Tempat kita menanam nilai, menegakkan prinsip, meski tumbuhnya lambat dan panennya mungkin bukan untuk kita.”
“Kalau Masyumi adalah api, maka Parmusi adalah bara yang harus kita jaga agar tetap menyala,” ucapnya dalam sebuah diskusi di Makassar.
Ia aktif mendukung pergerakan partai ini, berharap tokoh-tokoh seperti Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, dan Kasman Singodimejo kembali menjadi penggerak utama.
Saat Kongres I Parmusi digelar di Malang, 1–8 November 1968, Muhsin turut hadir sebagai peserta. Harapan membumbung tinggi.
Spanduk besar menyambut mereka: “Selamat Datang Keluarga Bulan Bintang di Kongres I Parmusi (Kongres ke-7 Masyumi)”.
Di sela-sela kongres, malam itu ia duduk berdiskusi dengan beberapa kader muda di serambi penginapan. Suasana dingin Malang diselimuti obrolan hangat yang membakar semangat.
“Bang Muhsin,” tanya seorang pemuda, “kenapa kita begitu ingin menghidupkan lagi Masyumi? Bukankah sudah banyak partai Islam lain?”
Muhsin tersenyum tipis.
“Karena Masyumi bukan hanya partai. Ia adalah akhlak dalam politik, adalah prinsip dalam kekuasaan. Ia ajarkan kita bahwa kekuasaan bukan untuk ditumpuk, tapi untuk digunakan menjaga amanah Allah dan umat.”
Namun harapan itu perlahan redup. Keputusan kongres yang menetapkan Mohammad Roem sebagai presiden partai tidak diakui oleh pemerintah. Ali Murtopo dan para penguasa bayangan di Orde Baru menekan keras.
Orang-orang idealis dipinggirkan, dan figur-figur bayangan mulai mengisi ruang-ruang penting dalam partai.
“Apa bedanya dengan zaman Soekarno?” gumam Muhsin getir ketika mendengar kabar itu. “Apalah artinya partai, jika jiwa perjuangan Islam dibungkam dari dalam?” gumamnya kecewa.
Akhirnya, Muhsin menarik diri. Ia sadar, cita-cita Masyumi tak akan mungkin terwujud jika dijalankan oleh mereka yang tak paham ruh perjuangan Islam.
Meski masa kiprahnya di Parmusi singkat, Muhsin tak pulang dengan tangan kosong. Ia banyak belajar dari para politisi kawakan.
Seperti Abdul Wahab Radjab Daeng Taba—“Napoleon Bonaparte-nya Sulsel”—juga Ismail Napu, M. Arsyad Pana, serta para tokoh Islam Sulsel lainnya yang telah lama mengarungi samudra politik.( bersambung ke seri 18/*)
*) Oleh: Dr Abdul Qadir Mahmud MPd, Direktur STAI Al Bayan

TERBARU
-
Abdullah Said, Sang Kader di Tengah Arus Sejarah Politik
13/04/2025 | 10:36 Wita
-
Abdullah Said, Menapaki Jalan Kaderisasi
10/04/2025 | 10:57 Wita
-
Spirit Ramadhan: Menumbuhkan Optimisme dan Daya Saing Positif
27/03/2025 | 11:24 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan di Ponpes Al Bayan Bersama Tokoh Muda
17/03/2025 | 07:19 Wita
Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita