Jumat, 7 Februari 2025 | 13:30 Wita
Abdullah said The Man of Action, Lentera di Kelas

SOSOK, HidayatullahMakassar.id —
Langkah-langkah kecil Muhsin Kahar menyusuri halaman Sekolah Rakyat No. 30 di Makassar. Matanya menatap bangunan sekolah yang sederhana namun penuh dengan harapan.
Di sinilah ia akan menempuh pendidikannya, menantang dirinya untuk bersaing dengan anak-anak kota yang konon lebih unggul dalam pelajaran.
Hari-hari pertama terasa menantang, tapi Muhsin tak pernah gentar. Ia duduk di bangku depan, memperhatikan setiap pelajaran dengan saksama.
Matematika, bahasa, sejarah, hingga pelajaran tulisan indah —semuanya dikuasainya dengan cepat. Bakatnya dalam menulis indah pun menonjol, membuatnya dikenal di kalangan guru dan teman-temannya.
“Hebat sekali, Muhsin,” ujar Pak Guru suatu hari, menatap hasil tulisan indahnya yang rapi dan penuh detail.
“Kau punya bakat besar!” Tak hanya itu, gurunya pun sering mempercayakan Muhsin untuk menyalin pelajaran di papan tulis karena tulisannya yang rapi dan indah.
Muhsin hanya tersenyum, menyadari bahwa dirinya yang berasal dari daerah tertinggal ternyata mampu bersaing dengan anak-anak kota.
Bahkan, tak sekadar bersaing—ia mengungguli mereka. Ia menjadi bintang kelas, menaklukkan setiap ujian dengan nilai terbaik.
Tahun 1958 tiba, ujian akhir Sekolah Rakyat pun dilaksanakan. Muhsin menyelesaikan soal-soalnya dengan tenang, seperti yang selalu ia lakukan.
Ketika hasil diumumkan, namanya kembali berada di puncak—nilai tertinggi di antara semua murid.
Dengan nilai yang gemilang, ia bisa memilih sekolah mana pun yang diinginkannya.
Banyak yang menduga ia akan melanjutkan ke sekolah umum terbaik di kota, tetapi pilihan Muhsin justru mengejutkan banyak orang.
Suatu malam, di ruang tamu rumahnya yang sederhana, Muhsin duduk bersama kedua orang tuanya. Ayahnya, seorang Kiai bersahaja dengan sorot mata penuh wibawa, menatapnya dengan bangga.
Ibunya menatapnya penuh haru, seolah tak percaya anaknya telah tumbuh begitu jauh.
“Jadi, kau sudah memutuskan akan melanjutkan ke mana, Nak?” tanya sang Ayah sambil menyeruput teh hangatnya.
Muhsin mengangguk mantap. “Aku ingin masuk Pendidikan Guru Agama Negeri 6 Tahun (PGAN 6 Tahun), Yah, Bu.”
Ibunya terdiam sejenak, lalu berkata lembut, “Kenapa memilih sekolah agama?”.
Muhsin menatap ibunya dengan penuh keyakinan. “Ayah dan ibu selalu mengajarkan aku bahwa ilmu itu bukan hanya tentang dunia, tapi juga tentang akhirat. Di PGAN, aku bisa mempelajari keduanya. Aku ingin jadi orang yang tak hanya pintar, tapi juga bermanfaat untuk orang lain.”
Ayahnya tersenyum, bangga dengan keputusan anaknya. “Kau telah berpikir jauh, Nak. Ayah yakin, jalan yang kau pilih adalah yang terbaik.”
Ibunya menghela napas, kemudian mengelus kepala Muhsin dengan lembut.
“Jika itu yang kau yakini, Ibu hanya bisa mendoakan. Tapi ingat, tetaplah rendah hati dan jangan pernah berhenti belajar.”
Muhsin mengangguk. “InsyaAllah, Bu. Aku akan berusaha sebaik mungkin.”
PGAN pada masanya bukan sekolah biasa. Hanya murid-murid berprestasi yang bisa diterima di sana.
Selain mendalami ilmu agama, lulusannya tak perlu lagi repot mencari pekerjaan—mereka langsung ditempatkan oleh pemerintah.
Lebih dari itu, PGAN adalah satu-satunya sekolah guru agama negeri di Indonesia Timur, sebuah kebanggaan tersendiri bagi siapa pun yang berhasil masuk ke sana. (bersambung ke seri 9/*)
*) Oleh: Dr Abdul Qadir Mahmud, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar

TERBARU
-
Pimpinan Bank Indonesia Buka Bersama Santri Ponpes Al Bayan Hidayatullah Makassar
08/03/2025 | 07:55 Wita
-
Abdullah Said, Dari Mimbar ke Medan Aksi
03/03/2025 | 17:50 Wita
-
Syaikh Muh Mahmud : Keberkahan Negeri Syam dan Masjidil Aqsa
01/03/2025 | 15:05 Wita
FOTO

Galeri – Powerfull Ramadhan Bersama Al Quran, Tarhib Ramadhan Al Bayan
23/02/2025 | 06:20 Wita
Galeri – Visitasi Asesmen Prodi Ekonomi Syariah STAI Al Bayan
09/01/2025 | 20:50 Wita
Galeri – Suasana Kedatangan Santri Baru Ponpes Al Bayan Hidayatullah Makassar
15/07/2023 | 22:16 Wita