Senin, 3 Februari 2025 | 07:56 Wita
Abdullah Said The Man of Action, Cahaya di Malimongan Baru
SOSOK, HidayatullahMakassar.id — Perjalanan ke Makassar terasa begitu panjang bagi Muhsin. Bukan hanya karena jaraknya yang jauh, tetapi juga karena pikirannya yang terus dipenuhi berbagai bayangan tentang kota besar.
Saat berada di Lamatti desanya, ia sering mendengar cerita bahwa kehidupan di kota penuh tantangan, bahkan bisa menjadi kejam bagi mereka yang lemah.
Namun, di sisi lain, kota juga disebut sebagai tempat yang menawarkan peluang besar. Banyak orang yang datang ke Makassar sebagai perantau biasa, lalu berubah menjadi tokoh yang disegani.
Muhsin membayangkan berbagai kemungkinan yang akan dihadapinya. Akankah ia menemukan kehidupan yang lebih baik? Atau justru menghadapi kenyataan yang lebih sulit?
Namun, satu hal yang pasti—ia harus siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.
Ketika akhirnya tiba di Makassar, kenyataan memang tidak seindah yang dibayangkan.
Kehidupan yang harus dijalani keluarganya jauh dari kata nyaman. Ayahnya, Kiai Abdul Kahar Syuaib, memang dihormati sebagai ulama, tetapi di kota ini, ia belum memiliki pekerjaan tetap yang bisa mencukupi kebutuhan keluarga.
Namun, nama besarnya sebagai ulama dari Sinjai tetap membuat masyarakat sekitar menaruh hormat kepadanya.
Di Makassar Keluarga Muhsin tinggal di Kampung Malimongan Baru yang dahulu dikenal dengan nama Maccini Kawa.
Malimongan Baru bermaknan Bangkit dari kegagalan. Di tempat yang baru ini, Kiai Abdul Kahar Syuaib dipercaya menjadi imam di Masjid Lailatul Qadri.
Selain memimpin salat, ia juga mengajar agama kepada masyarakat sekitar. Dari aktivitas mengajar inilah, keluarga Muhsin mendapatkan sedikit penghasilan, meskipun masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Suasana rumah sederhana di Malimongan Baru. Lampu minyak menyala redup, menerangi ruang tengah yang dipenuhi tikar dan bantal seadanya.
Beberapa kerabat dari kampung yang menumpang di rumah Kiai Kahar duduk berdesakan, sementara Puang Ica menyiapkan makanan sederhana: nasi, sayur bening, dan ikan asin.)
Puang Ica, ibu Muhsin, tersenyum sambil mengaduk panci. “Alhamdulillah, walau sederhana, rezeki tetap ada. Kita makan dulu sebelum tidur.”
Kiai Abdul Kahar Syuaib yang duduk bersila, memperhatikan anak-anaknya menyela ucapan istrinya “Yang sedikit, kalau disyukuri, akan terasa cukup, Nak. Ingat, kita hidup bukan hanya untuk dunia, tapi juga untuk akhirat.”
Muhsin yang sedari tadi memperhatikan ibunya yang tampak lelah, tetapi tetap tersenyum. Ia mendekati sang ibu, memegang tangannya dengan lembut dan berucap dengan lirih, “Ibu capek ya?”.
Puang Ica tertawa kecil sambil, mengelus kepala Muhsin, “Capek itu biasa, nak ucapnya lirih. “melihat kalian bisa tetap sekolah, bisa makan walau hanya dengan ikan asin, itu sudah cukup membuat ibu bahagia.”
Kakak Muhsin, Junaid Kahar menghela napas sembari menatap ayahnya; “Ayah, saya ingin membantu lebih banyak. Tapi saya sendiri masih berjuang untuk keluarga kecil saya. Rasanya masih sulit.”
Kiai Abdul Kahar Syuaib menatap Junaid Kahar dengan tatapan kasih sayang. Dari empat anaknya dari pernikahannya dengan puang Ica baru Junaid Kahar yang telah berkeluarga.
Kiai Kahar menepuk bahu Junaid dan tersenyum lembut, “Nak, jangan merasa sendiri dalam perjuangan ini. Kita semua berjuang bersama. Allah tak akan membiarkan hambanya dalam kesulitan tanpa jalan keluar.”
“Mari kita berdoa bersama. Semoga Allah memberi kemudahan dalam perjuangan kita di kota ini.” Ucap Kiai Kahar menutup pembicaraan. (bersambung ke seri 07/*)
*) Oleh: Dr Abdul Qadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar
TERBARU
-
Abdullah Said The Man of Action, Cahaya di Malimongan Baru
03/02/2025 | 07:56 Wita
-
Raker STAI Al Bayan 2025, Gagas Kemandirian
03/02/2025 | 07:43 Wita
-
Abdullah Said The Man of Action, Dunia Baru
31/01/2025 | 15:13 Wita