Sabtu, 25 Januari 2025 | 06:05 Wita

Abdullah Said The Man of Action, Dari Ujung Sebuah Kampung

Editor: admin
Share

HidayatullahMakassar.id — Kampung itu bernama Panreng Lamatti Rilau, sebuah desa kecil yang terhampar di dataran tinggi Sinjai Utara, tampak tenang seperti biasa. Desa ini dikelilingi pemandangan menakjubkan—pulau-pulau kecil di Teluk Bone terlihat seolah mengambang di atas laut biru.

Namun, di balik keindahannya, desa ini penuh keterbatasan. Jalanannya masih berupa tanah berbatu, meskipun berjarak hanya empat kilometer menuju ibu kota kabupaten akan tetapi terasa seperti perjalanan panjang yang melelahkan.

Di kampng inilah, terjadi sebuah keajaiban yang menjadi buah bibir. Kehamilan seorang perempuan muda bernama Aisyah, istri dari seorang Kiai kharismatik Abdul Kahar Syuaib, terus menjadi perbincangan.

Sudah dua tahun ia mengandung, namun bayinya belum juga lahir. Warga mulai melontarkan berbagai pendapat, dari rasa kagum hingga desas-desus yang terus berhembus mengusik telinga.

“Dua tahun? Apa mungkinkah itu manusia?” bisik seorang ibu di tepi sumur desa.
“Mungkin kah…? Aah entahlah,” jawab ibu yang lain, dengan suara tertahan seraya mencelupkan gayung ke dalam air.

“Aah jangan berprasangka, bisa jadi ini mukjizat yang diberikan Allah untuk Puang Imang” celetuk pria paruh baya yang sering mengikuti ceramah Kiai Kahar.

Namun, di tengah spekulasi warga kampung, Puang Imang –begitulah kebiasaan warga kampung memnggil Kiai Abdul Kahar– tetap tenang.

Beliau adalah imam desa, seorang ulama yang sangat disegani dan dihormati warga kampung. Dengan bijaksana, ia selalu menenangkan istrinya.“Bersabarlah ini semua kehendak Allah,” ujarnya dengan suara yang lembut namun tegas sambil berharap dan berdo’a dari relung kalbunya yang dalam bahwa semoga kelak anak yang lahir akan menjadi orang yang besar seperti Imam Syafi’i seorang imam madzhab besar dalam Islam.

Paman sang istri, KH Hasan Syuaib, juga seorang ulama besar yang merupakan seorang Kadi di Sinjai, pun berusaha menenangkan keponakan dan keluarganya.

“Semua ini adalah ujian. Jangan goyah, jangan terpengaruh dan percaya pada omongan orang. Allah akan memberikan yang terbaik, bayi ini akan lahir pada waktu yang terbaik,” katanya dengan suara yang lembut, menguatkan hati puang Ica -nama panggilan Aisyah dalam keluarga- keponakannya.

Hari Kelahiran

Waktu terus berlalu, tekanan rasa penasaran keluarga dan warga semakin kuat. “Sudah dua tahun !?” gumam salah seorang keluarga. Seolah, mereka menunggu sesuatu yang luar biasa untuk terjadi.

Jumat sore, tepat pada 17 Agustus 1945, sebuah peristiwa mengubah kampung Panreng, Desa Lamatti Rilau. Di sebuah rumah panggung sederhana, jeritan Aisyah istri Kiai Abdul Kahar mengurai keheningan mengiringi surya menuju peraduannya.

Setelah dua tahun mengandung, akhirnya bayi itu lahir. Seorang laki-laki mungil, sehat, dan penuh energi. Bayi itu diberi nama Muhsin Kahar, simbol harapan dan anugerah Allah di hari kemerdekaan bangsa.

Berita kelahiran ini menyebar cepat ke seluruh desa, bahkan hingga ke kampung-kampung tetangga. Orang-orang yang dulu ragu kini berbondong-bondong datang untuk melihat sang bayi.

“Dia benar-benar bayi laki-laki sehat! Dan dia lahir di hari yang sama dengan kemerdekaan!” ujar salah seorang warga kampung dengan penuh kekaguman.

Malam itu, di bawah langit berbintang, kampung yang biasanya sunyi berubah riuh. Orang-orang berkumpul, membicarakan bayi itu dan keajaiban di balik kelahirannya.

Ada yang berbisik-bisik, ada pula yang berdoa memanjatkan rasa syukur. Kiai Abdul Kahar, dengan senyum bijaksananya, berdiri di depan rumah, menyambut setiap tamu yang datang.

“Anak ini adalah anugerah dari Allah,” katanya, memandang Muhsin kecil yang tertidur dalam pelukan ibunya. “Dan anugerah, sebagaimana kemerdekaan, adalah tanggung jawab yang harus dijaga.” (Bersambung ke seri 02)

Oleh : Dr Abdul Qadir Mahmud MA, Ketua STAI Al Bayan Hidayatullah Makassar



BACA JUGA