Senin, 17 Juni 2024 | 09:20 Wita

Khutbah Ied Adha: Ibrahim Pemimpin Global dan Mahaguru Pendidikan (3)

Editor: admin
Share

Oleh: Dr KH Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar MSi Dewan Pertimbangan Hidayatullah dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar

HidayatullahMakassar.id — Tonggak peradaban monumental kedua yang dilakoni dan diwariskan nabi Ibrahim adalah sebagai tokoh pendidikan yang paling sukses.

Nabi Ibrahim adalah “Bapak Pendidikan Tauhid”. Proses panjang yang dilalui Ibrahim dalam pencarian Tuhan, Sang Khaliq, tantangan dan ujian yang dihadapi, kemudian menyampaikan risalah kepada keluarga, kerabat dan masyarakatnya, tidak saja merupakan proses untuk menggapai hidayah dan kebenaran, tapi juga mengandung konsepsi dan metodologi pendidikan.

Dalam proses pencarian dan pengenalan Tuhan, Ibrahim menggunakan potensi akalnya. Kekagumannya tertuju pada bintang-bintang di malam hari, dimana ia menyangka “inilah Tuhanku”. Tapi setelah bintang itu hilang tidak terlihat dia kecewa.

Kemudian ia beralih kagum pada bulan, dan kemudian kecewa lagi setelah terbenam. Selanjutnya ia tertarik kepada matahari, tapi kemudian juga terjadi hal sama. Ia kemudian sadar bahwa akalnya tidak akan sanggup menemukan Tuhan, Sang Khaliq, Pencipta alam semesta.

فَلَمَّا رَءَا ٱلْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَٰذَا رَبِّى ۖ فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِى رَبِّى لَأَكُونَنَّ مِنَ ٱلْقَوْمِ ٱلضَّآلِّينَ

Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku”. Tapi ketika bulan itu terbenam ia berkata, “Sungguh jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat” (QS 6:77).

Ibrahim kemudian pasrah dan berucap:

إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik (QS 6:79).

Pelajaran teologis atau pendidikan aqidah tauhid dari kisah ini bahwa dalam upaya untuk mengenal Allah sangat penting menggunakan akal sebagai potensi dan karunia khusus yang diberikan kepada manusia.

Namun demikian, dengan menggunakan akal semata sejatinya manusia tidak akan pernah tiba pada pengenalan Allah secara hakiki. Pengenalan Allah (ma’rifatullah) mutlak memerlukan hidayah yang langsung dari Allah dan penggunaan mata batin atau ruhani sebagai perangkat utamanya.

Pengenalan Ibrahim kepada Allah SWT, setelah melalui proses panjang dialektika dan interaksi potensi intelektual dan ruhani, serta intervensi langsung dari Allah berupa hidayah, selanjutnya perlu diwadahi dengan ibadah kepada Allah.

Maka atas hidayah dan petunjuk Allah SWT nabi Ibrahim membangun rumah ibadah, yang kemudian menjadi infrastruktur peradaban tauhid yang paling monumental, yaitu Ka’bah. Dan inilah rumah ibadah pertama dalam sejarah peradaban manusia, dalam hal ini beradaban tauhid.

Kehadiran rumah ibadah ini menjadi bagian mutlak dari pendidikan berbasis tauhid. Ketika meninggalkan Ismail yang masih bayi di lembah tandus Makkah, Nabi Ibrahim mengaitkan tindakan tersebut dengan keberdaan masjid. Ibrahim berdoa:

رَّبَّنَآ إِنِّىٓ أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِى بِوَادٍ غَيْرِ ذِى زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ ٱلْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجْعَلْ أَفْـِٔدَةً مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهْوِىٓ إِلَيْهِمْ وَٱرْزُقْهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebaggian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur (QS 14:37).

Ayat ini sejatinya mengajarkan suatu falsafah dan konsep pendidikan, bahwa seorang peserta didik hendaknya berada pada suatu sistem dan lingkungan pendidikan yang mengkondisikan ruhani mereka untuk menggantungkan diri kepada Allah dan suasana yang kondusif untuk melaksanakan ibadah. Dengan kondisi seperti itu maka jiwa dan pemikiran ketauhidan mereka akan tumbuh dengan baik.

Selanjutnya, kesadaran nabi Ibrahim tentang pentingnya membangun peradaban dan pendidikan berbasis tauhid yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu secara sempit –kekinian dan kedisinian saja— tapi berdimensi global dan futuristik, kemudian mendorong Nabi Ibrahim untuk berdoa:
رَبَّنَا وَٱبْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ

Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka, dan mensucikan mereka. Sungguh Engkaulah yang Mahaperkasa, Mahabijaksana (QS 2:129).

Doa nabi Ibrahim tersebut diijabah Allah SWT sekitar tiga ribu tahun kemudian dengan mengutus nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.

لَقَدْ مَنَّ ٱللَّهُ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS 3:164).

Doa nabi Ibrahim yang dikutip terakhir diatas dan kemudian diijabah oleh Allah SWT sungguh mengandung falsafah, prinsip-prinsip dan konsep pendidikan Islam. Rentetan makna pada ayat-ayat tersebut tidak hanya mengandung kebenaran substansial, tapi juga kebenaran metodologis. Hal itu terutama terlihat pada perbedaan urutan penyebutan kata “wayuzakkihim” pada redaksi doa nabi Ibrahim dan redaksi kalimat ijabah Allah pada ayat yang lain.(AMC)



BACA JUGA