Kamis, 9 Mei 2024 | 05:53 Wita

Tausyiah PU Hidayatullah: Istiqomahlah pada Ketaatan (2)

Editor: admin
Share

HidayatullahMakassar.id — Bapak Pemimpin Umum (PU) KH Abdurrahman Muhammad menyampaikan taushiyah di arena musyawarah khusus kampus induk dan kampus utama (KIKU) Hidayatullah se-Indonesia di aula Ponpes Al Bayan Hidayatullah Makassar, BTP Tamalanrea, Makassar, Rabu (8/5/2024). Berikut petikannya :

Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran [3]: 102-103)

Bagaimana kita memproteksi menjaga meribath melakukan ribath, melakukan muraqabah? Allah menyambungnya i’tisham-lah kepada Allah secara berjamaah.

Kalau dalam bahasa modern berorganisasi. Apa sih organisasi itu, kita semua sudah pltahu. I’tisham billah secara berjamaah. “wa la tafarraqu” dan haram bercerai berai. Begitu detailnya ayat ini menuntun.

Berorganisasilah dan jangan bercerai berai. “wadzkuru nikmatallah” Ingat nikmat Allah bahwa engkau diikat dengan ukhuwah islamiyah. Inti ukhuwah adalah “allafa baina qulubikum” adanya ikatan yang benar dalam hati, bukan ikatan-ikatan material, bukan ikatan kepentingan dunia. Tapi bagaimana semua aktifitas menuju kesatuan hati.

Alhamdulillah. Bagaimana kita saling menegakkan amar makruf bagaimana kita menjadi orang-orang selalu menyeru kebaikan. “yad’una ilal khair” Ini ciri terdepan dari fadhilah (keutamaan), mengambil menyeru kepada kebaikan.

Firman Allah: “Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al Quran) itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar,” (Fathir [35]: 30-31).

Jadi terdepan dalam kebaikan, terdepan memberi kebaikan.

Kabid Tarbiyah DPP Hidayatullah (Utsadz Abu A’la Abdullah; pen) mengatakan kampus percontohan. Show window daripada keutamaan-keutaamaan itu. Terdepan dalam kebaikan. Apa itu terdepan dalam kebaikan.

Yaitu sesuai Firman Allah: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fushssilat [41]: 33).

Sebaik-baik kaum, sebagai satu konsepsi satu pemikiran adalah bagaimana menyeru manusia mengenalkan manusia kepada Allah. Inilah inti dari semua kebaikan. Apakah kebaikan itu bekerja untuk sesuatu yang mengantarkan manusia kepada Allah.

Alhamdulillah, kehadiran kampus utama untuk menjadi satu jendela kebaikan yang sempurna. Di sana ada manusia-manusia yang menjadi kebaikan terdepan dari contoh-contoh. Apa kebaikan dari contoh-contoh itu?

Saya katakan di Gunung Tembak, bahwa kemudian saya melewati bulan Ramadhan (1445 H) mengambil kesimpulan bahwa perjalanan ini menuju kebaikan. Hanya ada dua, yaitu munajat dan berjuang (berjihad).

Munajat, istiqamah dalam munajat. Jangan meninggalkan Allah, doa kita seperti itu, jangan meninggalkan kita dalam sekejap mata.

Karena kalau meninggalkan Allah sekejap mata ada terputus nanti, akan konslet. Tidak akan sampai kebaikan itu. Seperti alat komunikasi, kalau ada trouble sedikit maka komunikasi tidak sampai, biar sekecil apapun tidak akan sampai, seperti hape ini.

Kebaikan tidak akan sampai kalau ada jeda waktu. Ini memang satu kajian yang luar biasa. Bagaimana koteksnya dalam Sistematika Wahyu (SW).

Karena saya menyimpulkan SW itu bagaimana bekerjasama rasio dan hati manusia dalam melahirkan jihad.

Ini penting bagi para fudhala kita sebagai orang terdepan dalam kebaikan sebagai ahlu kebaikan. Kalau bahasa klasiknya, bagaimana menjadi filsuf, meskipun ini masih modern juga (filosophia).

Bahkan doktor itu kalau sudah filosof sudah hebat itu, sudah tuntas ilmunya dan memang harus tuntas.

Jawaban yang paling inti dari worldview itu adalah tuntas. Dan Allah memang memulai ayat-ayat-Nya dengan Iqra bismirabbik. Para filsuf selalu bertanya tentang bagaimana alam semesta ini, bagaimana tuntasnya ini. Itu bekerjanya pikir, rasio.

Tapi itu tidak akan tuntas karena dalam diri manusia ada namanya hati. Bagaimana kerjanya hati itu.

Jadi tetap filsuf itu bertanya dimana kerjanya hati. Inilah yang dijawab oleh tasawuf. Jadi bersama itu, menjadi seorang sufi dan menjadi seorang filsuf. Itu nanti yang bikin manusia tidak lalai.

Firman Allah: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka,” (Ali Imran [3]: 191).

Inilah orang cerdas. Bukankah seorang filsuf itu pemimpin besar? Apakah itu digunakan, tidak ada yang digunakan kecuali rasion. Tapi itu tidak bisa dilakukan, karena rasio belum bisa menjangkau hati.

Siapakah yang bisa pertemukan rasio dan hati? hanya al-Quran. Siapa yang tidak merujuk kepada al-Qur’an maka dia tidak akan pernah tuntas dalam pekerjaannya dalam kebaikan di jalan Allah.

Makanya di Silatnas (November 2023) saya katakan, semua kampus-kampus Hidayatullah terutama kampus induk dan utama harus menjadi episentrum pusat pergerakan rasio dan ruh. Kita tidak akan pernah berbicara ruh, yang paling sedikit itu dengan al-Qur’an.

Para ahli kebathinan pun tidak sampai. Para pencari Allah para pencari Pencipta alam itu tidak akan sampai juga kepada akal dan hati. Hanya adanya al-Qur’an itu mengawinkan akal dan hati.

Firman Allah: “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus,” (Asy-Syura [42]: 52).

Alhamdulillah, sebenarnya dikatakan sulit ya sulit kalau belum ketemu kuncinya, kalau belum ketemu kuncinya sulit sekali. Ketemu kuncinya pun ternyata tidak pas, dimasukkan dimasukkan ternyata salah kunci.

Banyak orang salah kunci, napaksa-napaksa kuncinya sampai patah. Rasio tidak akan sampai kepada Tuhan. Hati juga tidak akan sampai kepada Tuhan. Karena baik hati ataupun akal itu kecil di hadapan Tuhan.

Bagaimana bisa? Kata para filsuf jangan menimbang dengan yang bukan timbangannya. Rasio mau menimbang Allah, tidak akan sampai. Hati juga seperti itu.

Jadi kalau hanya pakai hati atau akal saja tidak akan pas. Tapi ada orang mau pas-paskan. Napikir napikir narasa narasa salah, salah rasa salah pikir juga. Tasawuf kata orang Bugis tassopo’i.

Filosof itu cari-cari akhirnya buntu, sesat. Tidak ada yang sampai. Siapa yang memberi tahu kepada kita tentang Allah mengenal Allah. Hanya Allah yang tahu diri-Nya dan Dia kenalkan diri-Nya maka kita jadi tahu.

Jangan seperti Descarte (yang berkata) saya berpikir maka saya ada. Akhirnya menyembah pikiran. Bikin patung, bikin ini, itu karena menyembah pikiran manusia. Itu namanya menyembah pikiran, bayang-bayang pikiran. Barangkali ini Tuhan, barangkali ini Pencipta.

Hindu begitu juga. Coba lihat tuhan-tuhannya itu. Itu pakai hati itu. Kala ke candi Prambanan, ke Jawa banyak itu. Ada tuhan panjang giginya. Ada tuhan lain kepalanya lain badannya. Tuhannya itu Mulawarman, gajah badannya atau kepalanya itu ya? Ya itulah bayang-bayang hati.

Kira-kira begini. Menyembah hati dan pikirannya. Inilah manusia-manusia sekarang. Salah kunci semua. Inilah tugas kita semua. Menyerahkan kepada manusia kunci yang benar.

Iqra bismi rabbika, itulah rasio. Al-Qur’an juga adalah ruh. Inilah jalannya bagaimana manusia mengelola pikir dan rasa ini. Al-Qur’an ini. Inilah keutamaan yang besar.

Alhamdulillah, Hidayatullah mengalami perjalanan panjang 50 tahun, makanya gerakan kita itu gerakan pikir dan gerakan hati yang dipandu oleh wahyu. Kalau ada iman ada keindahan. Kalau ada keindahan ada cinta.

Walakinnallah habbaba ilaikumul iman. Wa zayyanahu fi qulubihim iman. Bagaimana membuka tabir keindahan ini sehingga ada cinta, kalau ada cinta maka tak mengapa segalanya dikorbankan.

Segalanya tak mengapa dikorbankan karena ada cinta. Saya rasa ini. Panjang ceritanya. Bacalah buku filsafat dan buku tasawuf itu. Pandulah dengan sunnah rasul. Bagaimana mensucikan hati sudah ada panduannya.

Sudah ada buku muktabar yang dipakai oleh semua pihak. Namanya Ihya Ulumuddin, karya Imam al-Ghazali. Kemudian disingkat oleh Said Hawa, banyak buku-buku tentang hati yang ditulis oleh Said Hawa.

Dan Said Hawa ini adalah seorang mujahid. Ia mengatakan saya membaca setiap hari itu dua jam 30 lembar. Kalau tiga jam berarti 60 lembar.

Maka saya katakan episentrum, pusat pergerakan ruh. Kita ingin melihat anak kita ini kelihatan keshalehannya. Bagaimana melihat keshalehannya?

Terlihat dari munajat. Ia bolak balik masjid melakukan shalat. Ia berdoa dan mengangkat tangannya. Munajat itu berpikir dan berdzikir. Sisanya itu jihad mewujudkan ketaatan dan ketaatan mewujudkan kebaikan.(Masykur/sarmadani)



BACA JUGA