Kamis, 1 Juli 2021 | 07:29 Wita

Kekhawatiran itu!

Editor: Firman
Share

Oleh : Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

HidayatullahMakassar.id — Dari sekian banyak kekhawatiran-kekhawatiran Komunitas Muslim di Amerika, krisis generasi menjadi kekhawatiran terbesar. Generasi terancam kehilangan jati diri. Salah satunya hilangnya identitas “budaya asal” yang positif seperti sopan santun, hormat orang tua, gotong royong dan kebersamaan, dan lain-lain.

Tapi yang terpenting dari semua itu adalah hilangnya jati diri yang paling mendasar sebagai manusia. Yaitu iman dan Islam yang menjadi modal atau fondasi kehidupannya. Saya tidak lagi mengulangi ragam contoh dalam masyarakat tentang anak-anak yang telah jauh, bahkan meninggalkan keyakinannya sebagai orang-orang Muslim.

Inilah yang menjadi alasan penting untuk menghadirkan wahana atau fasilitas bagi generasi sebagai jalan “survival” (keselamatan) mereka dalam iman.

Masjid-masjid, Islamic Center, sekolah-sekolah Islam, dan lain-lain harusnya memang memainkan peranan itu. Sayangnya kerap kali masjid-masjid atau institusi-insitusi keagamaan itu memerankan irama yang sama. Irama lama. Menjadi tempat-tempat kegiatan ritual, dzikir-dzikir kering yang tidak memiliki dampak sosial dalam hidup.

Apalagi seringkali institusi-institusi itu dengan irama lama juga berwawasan lama (tua). Orientasi kegiatan/aktifitasnya berkisar pada irama lama itu. Akibatnya generasi muda khususnya yang lahir dan besar di Amerika merasa terabaikan. Imam/guru yang dihadirkan juga tidak memiliki kapasitas yang cukup. Baik pada kapasitas wawasan baru itu, apalagi kemampuan komunikasi dan bahasa yang dipahami generasi muda.

Walhasil pada tingkat kesadaran beragama terjadi jurang yang menganga antara generasi “ortu” (orang tua) dan generasi “millennial” (pemuda/remaja). Krisis relasi orang tua dan anak juga semakin kompleks. Orang tua ingin dihormati di satu sisi. Anak-anak merasa punya independensi yang mutlak di sisi lain. Realita ini berakibat kepada krisis sosial lainnya. Relasi antar kekuarga (silaturrahim) semakin menipis.

Bahkan pada tataran selanjutnya dan pada konteks yang lebih luas generasi muda Muslim memasuki kehidupan publik tanpa ada kesadaran tanggung jawab (religious responsibility) keislaman itu. Sehingga generasi berhasil pada dunianya tapi menjadi generasi yang tidak peduli (don’t care) dengan akhiratnya.

Situasi itu sesungguhnya menjadi karakter utama dunia kapitalisme. Bahwa hidup ini segalanya adalah fisikal atau material. Pandangan atau wawasan hidup yang demikian dikenal sebagai paham “materialisme”. Paham ini sejujurnya telah diadopsi tanda disadari sebagai agama bagi dunia Barat saat ini.

Kekhawatiran, bahkan realitanya ancaman masa depan generasi inilah yang mengharuskan komunitas Muslim di Amerika mencari alternatif-alternatif, atau meminjam istilah para missionary, salvation (penyelamatan). Jika tidak, maka masa depan keislaman generasi Muslim di Amerika menjadi semakin terancam.

Komunitas Muslim Indonesia

Masyarakat Muslim Indonesia di Amerika tentu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Komunitas Muslim Amerika secara umum. Manis pahitnya hidup Komunitas Muslim di US menjadi bagian dari manis pahitnya kehidupan warga Muslim Indonesia di negara ini. Istilah Muslim Amerika atau Muslim Indonesia Amerika (Indosian American Muslim) juga mencakup mereka yang telah ganti paspor dan mereka yang tetap memegang paspor hijau. Semuanya menghadapi ancaman yang sama.

Namun saya ingin “brutally honest” (sejujur jujurnya) pada poin ini. Bahwa jika dibandingkan dengan masyarakat Muslim lainnya, khususnya mereka yang dari Asia Selatan atau yang biasa dikenal dengan IPB atau India Pakistan Bangladesh, Komunitas Muslim Indonesia mengalami “fragility” (fragilitas) yang lebih tinggi. Artinya kemungkinan bagi anak-anak atau generasi Muslim Indonesia kehilangan identitasnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Komunitas Muslim lainnya.

Tentu terlalu banyak faktor yang dapat disebutkan. Selain memang secara umum karena lingkungan sekitar. Tapi terutama karena kurangnya kepedulian orang tua terhadap agama, termasuk terhadap pendidikan agama anak-anak.

Tentu hal itu juga disebabkan karena pada galibnya kehadiran warga Indonesia di US, termasuk warga Muslim, berwawasan keduniaan. Artinya mereka berpindah ke Amerika baik secara permanen atau temporary karena tujuan dunia. Sehingga agama menjadi sesuatu yang overlooked (terlewatkan atau tidak diperhatikan).

Syukur Alhamdulillah sejak beberapa tahun terakhir ini tumbuh organisasi-organisasi yang mulai peduli generasi. IMSA atau Indonesian Muslim Society (tadinya Student) in America misalnya, di mana saya sendiri adalah anggota Dewan penasehat, mulai menyentuh kebutuhan remaja dan pemuda. Tapi kegiatan itu masih sangat terbatas, baik pada bentuk program maupun jangkauannya.

Di sìnilah peranan signifikan Nusantara Foundation, khususnya dengan proyek besar Pesantren Nur Inka Nusantara Madani, untuk merespon secara serius terhadap bahaya laten Komunitas Muslim di Amerika, khususnya mereka yang berasal dari Indonesia.

Salah satu inisitatif Nusantara melalui Pesantrennya saat ini adalah kegiatan Program Pesantren Musim Panas selama bulan Juli dan Agustus ini. Program ini tidak saja akan memberikan berbagai ilmu keagamaan yang bersifat informatif dan teoritikal. Tapi juga sekaligus membangun kesadaran keagamaan dalam lingkungan yang Islami.

Apalagi pada program kali ini juga akan dihadirkan 5 ustadz/ustadzah yang akan mengikuti Program Kepemimpinan Global (Global Leadership Program for Ustadz). Mereka sekaligus akan ditugaskan menjadi tenaga pengajar bagi anak-anak peserta program Pesantren Musim Panas ini.

Para Ustadz/ustadzah atau tokoh-tokoh Muslim muda ini, selain akan mengambil manfaat dari berbagai kegiatan dan kunjungan selama di Amerika. Juga akan memberikan manfaat keilmuan dan pengalaman kepada peserta program Pesantren Musim Panas ini.

Harapannya dengan selesai mengikuti program Pesantren musim panas ini para peserta akan membawa pulang tidak saja bekal keilmuan. Tapi juga perubahan wawasan dan karakter yang bercirikan iman dan Islam. Semoga.■

New York, 30 Juni 2021



BACA JUGA