Jumat, 14 Mei 2021 | 16:15 Wita

Khutbah Ied: Istiqamah Selepas Ramadhan

Editor: Firman
Share

■ Oleh : Syamsul SPdKepala Sekolah SMP SMA Integral Albayan Islamic School

HidayatullahMakassar.id — Bulan Ramadhan itu penuh dengan ampunan. Sehingga sampai ulama seperti Qatadah rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang tidak diampuni di bulan Ramadhan, maka sungguh di hari lain ia pun akan sulit diampuni.”

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Tatkala semakin banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapati pengampunan tersebut, sungguh dia telah terhalangi dari kebaikan yang banyak.”

Kita terus berdoa pada Allah, moga amalan kita di bulan Ramadhan diterima di sisi Allah. Moga amalan kita yang penuh kekurangan tetap mendapatkan balasan terbaik di sisi-Nya. Moga Allah juga mengampuni kesalahan dan setiap kelalaian kita selama beramal di bulan Ramadhan.

Selain ampunan, seorang mukmin sudah sepatutnya juga terus meminta pada Allah keistiqamahan. Itulah yang kita pinta dalam shalat minimal 17 kali dalam sehari lewat doa,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6)

“Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah: 6)

Ini pertanda kita butuh untuk terus istiqamah. Artinya, terus berada dalam jalur yang benar, tetap dalam ibadah pada Allah walau sudah mengakhiri Ramadhan.
 
Apa keistimewaannya?

Disebutkan dalam kitab Hilyah Al-Auliya’ beberapa perkataan ulama berikut.

Ibnul Mubarak menceritakan dari Bakkar bin ‘Abdillah, ia berkata bahwa ia mendengar Wahb bin Munabbih berkata, ada seorang ahli lewat di hadapan ahli ibadah yang lain. Ia pun berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Dijawablah, “Aku begitu takjub pada si fulan, ia sungguh-sungguh rajin ibadah sampai-sampai ia meninggalkan dunianya.” Wahb bin Munabbih segera berkata, “Tidak perlu takjub pada orang yang meninggalkan dunia seperti itu. Sungguh aku lebih takjub pada orang yang bisa istiqamah.” (Hilyah Al-Auliya’, 4: 51)

Orang yang bisa istiqamah, ajek terus dalam ibadah, itu lebih baik daripada orang yang memperbanyak ibadah.

Bisa terus istiqamah, itulah karamah seorang wali Allah (kekasih Allah) yang begitu luar biasa,

وَأَنَّ الْكَرَامَةَ لُزُومُ الِاسْتِقَامَةِ

“Sesungguhnya karamah (seorang wali Allah, pen.) adalah bisa terus istiqamah.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10: 29)

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ 

Lalu bagaimana biar bisa terus istiqamah?

Ada beberapa kiat yang secara singkat kami terangkan berikut ini.

Pertama: Selalu berdoa pada Allah karena istiqamah itu hidayah dari-Nya

Kita butuh doa agar bisa istiqamah karena hati kita bisa saja berbolak-balik. Oleh karenanya, do’a yang paling sering Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan adalah,

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

“ (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

Adapun doa yang diajarkan dalam Al-Qur’an,

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imron: 8)

 Ummu Salamah pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لأَكْثَرِ دُعَائِكَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

“Wahai Rasulullah kenapa engkau lebih sering berdo’a dengan do’a, ’Ya muqollibal quluub tsabbit qolbii ‘ala diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu)’. ”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab,

يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ

“Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.”

Setelah itu Mu’adz bin Mu’adz (yang meriwayatkan hadits ini) membacakan ayat,

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami.” (QS. Ali Imran: 8) (HR. Tirmidzi, no. 3522; Ahmad, 6: 315. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Kedua: Berusaha menjaga keikhlasan dalam ibadah

Amalan yang dilakukan ikhlas karena Allah itulah yang diperintahkan sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Adapun buah dari keikhlasan akan membuat amalan itu langgeng, alias istiqamah. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَمَا لاَ يَكُوْنُ لَهُ لاَ يَنْفَعُ وَلاَ يَدُوْمُ

“Segala sesuatu yang tidak didasari ikhlas karena Allah, pasti tidak bermanfaat dan tidak akan kekal.”  (Dar’ At-Ta’arudh Al-‘Aql wa An-Naql, 2: 188).

Para ulama juga memiliki istilah lain,

مَا كَانَ للهِ يَبْقَى

“Segala sesuatu yang didasari ikhlas karena Allah, pasti akan langgeng.”

Dalam implementasi keimanan kita adalah bagaimana kita menghadirkan Allah SWT pada setiap tingkah laku dan perbuatan kita deng konsep “Iqro’ Bismi Rabbik”. Tentu ketika itu jadi landasan kita maka segala amal perbuatan yang kita laksanakan senantiasa di kerjakan dengan penuh keikhlasan lillahi ta’ala.

Ketiga: Rutin beramal walau sedikit

Amal yang dilakukan ajek (kontinu) walaupun sedikit itu lebih dicintai Allah dibandingkan amalan yang langsung banyak namun tak ajek.

Maksudnya, seseorang dituntun untuk konsekuen dalam menjalankan syari’at atau dalam beramal dan tidak putus di tengah jalan. Karena konsekuen dalam beramal lebih dicintai oleh Allah daripada amalan yang hanya sesekali dilakukan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-; beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” (HR. Bukhari, no. 6465; Muslim, no. 783). Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya.

Kita karus konsisnten di dalam menjalankan ibadah kepada Allah sebagai implementasi ketaatan kita kepada Allah SWT . ibadah yang urgen kita lakukan adalah ibadah yang sifatnya wajib sebagai ibadah otoritas Allah dari Hambanya. Sebagaimana pula kita harus melaksanakan ibadah Nawafil (yang Sunnah-Sunnah) yang di perintahkan dalam Qur’an Surah Al-Muzammil, apakah itu perintah Qiamul Lail, Tilawah Qur’an. Serta ibadah yang harus menjelma dalam pribadi kita adalah sifat tabattul, nikmat beribadah kepada Allah SWT, tawakkal, sabar, dan senantiasa berhijrah ke hal positif (jaddiduu iimanakum). 

Berzikir, baik dalam pengertian menyebut atau mengingat Allah, sangatlah pengting. Manusia memang dituntut banyak berpikir. Jika malas berpikir,itu sama dengan membunuh diri pelan-pelan. Tapi berpikir saja tanpa zikir, akan menimbulkan stres dan buahnya tidak mengantar kepada kemaslahatan. Itulah yang banyak melanda manusia sekarang. Ahli pikir banyak, tapi ahli zikir kurang
Tawakkal, untuk menjelaskan tentang tawakkal, Abdullah Said mencontohkan burung, berlandaskan hadist.                                                                                                                                                 “ Sekiranya kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Allah akan memberi kamu rezeki sebagaiman memberi rezeki kepada burung. Berangkat di waktu pagi dengan perut kosong dan kembali di sore hari dalam keadaan tembolok penuh.’’ (H.R. At-Tirmidzi)                                                                                                            

 “Coba belajar pada burung untuk mendapatkan jiwa optimis, karena jiwa optimis itu merupakan pembuka jalan untuk dapat berpikir positif. Kalau kita telah memiliki cara berpikir positif, hidup ini pasti enak . Dunia ini tidak sesempit yang kita duga.
Sabar, Washbir ‘ala ma yaquuluun.[5] Dalam ayat ini Allah SWT menyuruh kita bersabar terhadap ucapan-ucapan yang mengolok, mengkritik, dan mencelah. Mengapa? Karna ada enam hal yang menjadi modal eksisnya syahadat dalam diri dan menajamkan cita-cita merealisasikan Al-Qur’an dalam kehidupan keseharian, yang paling utama adalah bersabar menerima ucapan-ucapan yang tidak menyenangkan.
Hijrah yang paling utama adalah mengubah pola pikir dan cara pandang negatif kepada yang positif. “ Tujuan utama hijrah adalah untuk menyatukan shaf, memperkokoh barisan.

Keempat: Rajin koreksi diri (muhasabah)

Kalau kita rajin mengoreksi diri, diri kita akan selalu berusaha untuk baik. Allah Ta’ala memerintahkan kita supaya rajin bermuhasabah (introspeksi diri),

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, Haasibuu anpusakum qabla antuhaasabuu“Hisablah (koreksilah) diri kalian sebelum kalian itu dihisab. Siapkanlah amalan shalih kalian sebelum berjumpa dengan hari kiamat di mana harus berhadapan dengan Allah.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7: 235)

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Pandanglah amal yang telah kalian lakukan. Apakah amalan shalih yang berujung selamat? Ataukah amalan jelek yang berujung celaka?” (Zaad Al-Masiir, 8: 224)

 Kita harus meresapi bahwa yang kita lakoni ini berada dalam wahyu ilahi (petunjuk), ketika terimplementasi dalam kehidupan sehari dengan memaknai perjalanan hidup berarti wahyu system itu telah bekerja dalam diri kita dengan hidayah Allah SWT.

Kelima: Memilih teman yang shalih

Teman bergaul amat penting, itulah yang memudahkan kita untuk istiqamah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya.”  (QS. Al-Kahfi: 28)

Diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu; engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari, no. 2101)

Imam Al-Ghazali rahimahullah mengatakan, “Bersahabat dan bergaul dengan orang-orang yang pelit, akan mengakibatkan kita tertular pelitnya. Sedangkan bersahabat dengan orang yang zuhud, membuat kita juga ikut zuhud dalam masalah dunia. Karena memang asalnya seseorang akan mencontoh teman dekatnya.” (Tuhfah Al-Ahwadzi, 7: 94)

Teman yang shalih punya pengaruh untuk menguatkan iman dan terus istiqamah karena kita akan terpengaruh dengan kelakuan baiknya hingga semangat untuk beramal. 

Ahli hikmah juga menuturkan,

يُظَنُّ بِالمرْءِ مَا يُظَنُّ بِقَرِيْنِهِ

“Seseorang itu bisa dinilai dari orang yang jadi teman dekatnya.”

Sebuah keberkahan hidup berjama’ah lainnya bisa kita temukan lewat pelaksanaan sholat berjama’ah. Dimana jika kita mengerjakan sholat dengan berjama’ah maka pahalanya akan dilipat gandakan. Sangat berbeda jauh ketika sholat tersebut kita laksanakan sendirian. Sebagaimana Hadis Rasulullah SAW “Sholat jamaah lebih baik 27 derajat dibanding sholat sendiri” (HR. Bukhari Muslim).

Dalam kontek umum, kita bisa melihat dan mengetahui kecenderungan serta kwalitas seseorang dari kehidupan “berjama’ah”nya. Maksudnya, kita bisa menyimpulkan kwalitas seseorang dengan melihat lingkungan pergaulannya. Karena biasanya seseorang akan bergaul dengan orang yang punya kecenderungan yang sama. Baik itu minat, bakat, hobi, karakter dan semisalnya. Sehingga untuk melihat kwalitas seseorang kita bisa melihat bagaimana kwalitas teman temannya. Walaupun itu tidak seratus persen benar, setidaknya realita tersebut yang sering kita dapati dikehidupan masyarakat.

Agar bisa istiqamah, ada point keenam yang bisa diamalkan yaitu:

Melakukan Puasa Syawal

Karena dengan melakukan puasa Syawal berarti sebagai tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan sebelumnya.

Dari Abu Ayyub Al-Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim, no. 1164)

Kapan mulai puasa Syawal? Kapan pun boleh yang penting masih di bulan Syawal.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan melakukannya secara berturut-turut di awal Syawal. Jika tidak berturut-turut atau tidak dilakukan di awal Syawal, maka itu boleh. Seperti itu sudah dinamakan melakukan puasa Syawal sesuai yang dianjurkan dalam hadits.” (Al-Majmu’, 6: 276).■


Tags: