Minggu, 25 April 2021 | 11:36 Wita

Takwa dalam Perspektif Komunikasi

Editor: Firman
Share

■ Perspektif Iman : Ust Muhammad Shaleh UtsmanKetua Departemen Pengkaderan DPP Hidayatullah

HidayatullahMakassar.id — Takwa secara bahasa adalah takut, sedangkan menurut istilah adalah alhkaufu minaljalil, walamalu bittanziil, walisti’dadu liyaurrahiil. Adanya rasa takut kepada Allah ta’alla, kemudian senantiasa menjalankan apa yang diturunkan oleh Allah swt, dan senantiasa melakukan amalan yang baik sebagai bekal untuk menghadap kepada Allah swt di hari akhir. 

Orang yang bertakwa senantiasa menjalankan ibadah kepada Allah swt, baik itu ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah. Ibadah yang optimal ketika dilakukan dengan mengikuti tatacara pelaksanaan yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wa syallam baik secara lahir maupun batin. Tidak hanya fisik yang nampak sibuk melakukan aktivitas ibadah, melainkan hati, batin juga harus benar-benar terkoneksi dengan Allah swt. 

Dalam beribadah, khususnya shalat harus dipastikan adanya komunikasi yang komunikatif dengan Allah swt. Dalam penjelasan tafsir tentang  AQIIMU SHALAAH (menegakkan shalat) bukan sekedar mengerjakan shalat sebatas gerakan dan bacaan semata, melainkan harus dipastikan HUDHUURULQALBI FIIHA (hadirnya hati ketika shalat), WATADABBURUHU MAA YAQUUL( mentadabburi apa yang dibaca ketika shalat). 

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a, saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: Allah azza wajalla berfirman : Aku telah membaagi shalat (bacaan al-Fatihah) menjadi dua bagian, antara diri-Ku dengan hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Jika hamba-Ku mengucapkan ALHAMDULILLAHI RABBIL’AALAMIIN( segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam) maka Allah swt menjawab ..HAMIDANII ‘ABDII (hamba-Ku telah memujiku).

Jika hamba-Ku mengucapkan ARRAHMAANIRRAHIIM (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyang) maka Allah swt menjawab: ATSNAA ‘ALAYYA ‘ABDII (hamba-Ku menyanjung-Ku). Jika hamba-Ku mengatakan: MAALIKI YAUMIDDIIN (Yang menguasai hari pembalasan) maka Allah swt menjawab: MAJJADANII ‘ABDII (hamba-Ku mmemuliakan-Ku).

Dan Abu Hurairah ra pernah mengatakan ‘hamba-Ku berserah diri kepada-KU’. Jika hamba-Ku mengucapkan IYYAAKA NA’BUDU WAIYYAAKA NASTA’IIN (hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan). Maka Allah swt berfirman: HADZA BAINII WABAINA ‘ABDII WALI’ABDII MAA SA ALA (ini antara diri-Ku dan hamb-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta). (HR.Muslim(.

Dapat disimpulkan dari hadits Rasulullah saw di atas bahwa seorang hamba dalam menjalankan ibadah shalat, terjadi komunikasi vertikal secara intim, dimana komukasi terbangun dalam nuansa HUBB (cinta), RAJAA’ (penuh harap) dan sekaligus memiliki KHAUF (rasa takut) kepada Allah swt. 

Perangkat utama komunikasi vertikal itu ada alhubb, walkhauf warrajaa. Alhubbu adalah adanya rasa cinta yang mendalam kepada Allah swt. Rasa cinta ini lahir karena manusia merasakan adanya limpahan nikmat yang Allah berikan kepadanya. Begitulah yang Allah pertegas dalam alquran  

WAIN TA’UDDU NI’MATALLAAHI LAA TUHSUUHA ( jika kalian ingin menghitung nikmat Allah swt maka kalian tidak akan sanggup menghitungnya). Kemudian rasa takut muncul itu muncul disebabkan karena manusia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap seluruh nikmat yang Allah swt telah berikan itu, LATUSALUNNA YAUMAIDZIN ‘ANINNA’IIM (sungguh benar-benar kalian akan ditanya tentang seluruh nikmat yang telah diberikan itu).

Dan rasa penuh harap ini terbangun karena kita belum bisa mengetahui nasib amalan kita di dunia ini, karena Ali ra berkata :  ADDUNYA ‘AMALUN BILAA HISAAB, WALAKHIRAH HISAABUN BILAA ‘AMAL (dunia ini tempat beramal, belum ada pemeriksaan, dan akhirat tempat pemeriksaan/penilaian dan pemberian balasan, tidak ada lagi kesempatan beramal). 

Struktur bangunan komunikasi inilah yang harus menjadi persyaratan utama dalam mewujudkan komunikasi yang komunikatif dengan Allah swt. Orang bisa khusyuk dalam shalatnya jika tercipta suasana dialog bathin dengan Allah swt seperti yang telah digambarkan di atas.

Begitu juga dalam hal puasa, orang bisa sukses dalam menjalankan ibadah puasa manakala seluruh rangkaian aktivitas mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari semuanya dalam bingkai komunikasi vertikal dengan Allah swt, baik dalam bentu dzikir, doa, istighfar dll. Wallahua’lam bishawaab.■



BACA JUGA