Sabtu, 13 Maret 2021 | 12:04 Wita
Mengusap Khuf Tanpa Batas Waktu
■ Kajian Bhulughul Maram: Kitab Taharah, Bab Mengusap Khuf (Hadits ke 62)
HidayatullahMakassar.id — Dari Ubay bin ‘Imarah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
وَعَنْ أُبَيِّ بْنِ عِمَارَةَ ( أَنَّهُ قَالَ: { يَا رَسُولَ اَللَّهِ أَمْسَحُ عَلَى اَلْخُفَّيْنِ? قَالَ: “نَعَمْ” قَالَ: يَوْمًا? قَالَ: “نَعَمْ”, قَالَ: وَيَوْمَيْنِ? قَالَ: “نَعَمْ”, قَالَ: وَثَلَاثَةً? قَالَ: “نَعَمْ, وَمَا شِئْتَ” أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَقَالَ: لَيْسَ بِالْقَوِيِّ }
“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah aku mengusap kedua sepatuku?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya, boleh saja.” Ia berkata, “Satu hari?” Beliau menjawab, “Iya, boleh.” Ia berkata, “Dua hari?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya, boleh.” Ia berkata lagi, “Tiga hari?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iya, boleh sesukamu.” (Dikeluarkan oleh Abu Daud dengan menyatakan bahwa hadits ini tidak kuat). Hadits ini dhaif.
Hal-Hal Penting dari Hadits
Hadits ini lemah (dhaif). Yang tepat, mengusap khuf atau sepatu dibatasi waktunya. Hadits umum semacam ini dibawa pada hadits yang menyebutkan waktu, yaitu tiga hari tiga malam untuk musafir dan sehari semalam untuk mukim.
Catatan Tambahan;
Beberapa catatan penting sebagaimana disebutkan dalam Shahih Fiqhus Sunnah diantaranya;
■ Pembatal Mengusap Khuf
a. Berakhirnya waktu mengusap khuf.
b. Terkena junub.
c. Melepas sepatu.
■ Jika salah satu pembatal di atas ada, maka tidak diperkenankan mengusap khuf. Wajib baginya ketika berhadats untuk berwudhu lagi, lalu ia mencuci kakinya secara langsung saat berwudhu. Kemudian setelah itu, ia boleh lagi mengenakan khuf dan mengusapnya.
■ Jika khuf dilepas –sementara masa mengusap khuf belum selesai- kemudian berhadats, maka tidak diperkenankan mengenakan khuf dan mengusapnya, sebab saat itu berarti seseorang memasukkan kakinya dalam keadaan tidak suci.
■ Jika salah satu pembatal mengusap khuf di atas terwujud tidak berarti wudhunya batal jika memang masih dalam keadaan suci. Demikian pendapat An Nakha’i, Al Hasan Al Bashri, ‘Atha’, Ibnu Hazm, dan Pendapat ini juga yang dipilih An Nawawi, Ibnul Mundzir dan Ibnu Taimiyah.
Wallahu a’lam bish shawwab
—☆☆☆–
*) Oleh: Ust Abdul Qadir Mahmud MA, Kadep Dakwah & Pelayanan Ummat Yayasan Al Bayan Hidayatullah, Makassar
Untuk menikmati sajian berseri Kajian Kitab Bhulughul Maram ini, serta info dan artikel dakwah lainnya, silahkan bergabung di Group WA: Dakwah Al Bayan. Klik https://chat.whatsapp.com/HBSbB3fZ1Uk6fk71SkBm0Z Telegram: https://t.me/hidmanews Konsultasi & Pertanyaan ke 085255799111. Simak dan nikmati pula di : YouTube: Al Bayan Media TV https://youtube.com/channel/UC83a_coR66ZBb6fRxjKGyIA Facebook: Albayan Media Corp ( @albayanmediacorp )
Sebarkan! Semoga menjadi ladang pahala bagi kita semua. Aamiin.
TERBARU
-
Tausyiah Raker : “Kalau tak memiliki tak mungkin memberi.”
15/01/2025 | 17:20 Wita
-
2025, Al Bayan Optimalkan Ekspansi Kemandirian Ekonomi
15/01/2025 | 14:31 Wita
-
Al Bayan-BMH Tanam Lengkeng Teduhkan Wadi Barakah
15/01/2025 | 11:36 Wita