Rabu, 10 Maret 2021 | 08:46 Wita
Isra’ Mi’raj di Era Covid19 (1)
■ Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation
HidayatullahMakassar.id — Berhubung karena lagi di perjalanan, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk menulis bersambung tentang Isra Mi’raj dalam berbagai sudutnya. Minimal saya akan menuliskan 12 pelajaran penting dari peristiwa Isra Mi’raj ini.
Merespon mereka yang ragu atau ingkar
Sebelum saya memasuki aspek-aspek penting dari Isra’ Mi’raj, saya ingin merespon kepada pihak-pihak yang berusaha mengaburkan, bahkan membangun keraguan tentang peristiwa agung dalam sejarah Islam ini. Bahkan mereka dengan penuh percaya diri (istilah positif) atau penuh keangkuhan (istilah negatif) mengingkari eksistensi Isra Mi’raj yang telah menjadi konsensus Umat selama ini.
Saya memulai dengan mengutip ayat yang pepuler tentang Perjalanan suci Rasulullah SAW ini:
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, yang Kami telah berkahi di sekitarnya. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha mendengar lagi Maha melihat” (Al-Isra).
Pada umumnya masyarakat awam ketika mendengar kata Isra dan Mi’raj hanya berpatokan kepada satu ayat Al-Quran, Surah Al-Isra atau Surah Bani Israil ayat satu. Mereka gagal memahami bahwa Al-Quran dalam menyampaikan informasi tentang Al-Haq (kebenaran) tidak memakai rentetan ayat per ayat atau surah per surah. Justeru terkadang sebuah masalah hanya menjadi tuntas jika dipahami secara menyeluruh dan sempurna berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Pada sisi lain ada juga pihak-pihak yang mencoba merendahkan posisi Sunnah atau hadits-hadits dalam upaya memahami kebenaran. Seolah hadits-hadits karena sekedar diatributkan ke Rasulullah shallallahu alaihi wa syallam tidak dapat dijadikan sebagai basis kesimpulkan tentang sebuah kebenaran.
Akibatnya dalam hal Isra Mi’raj ada sekolompok manusia yang merasa pintar, kemudian mengingkari kebenarannya. Mereka kemudian memberikan penafsiran-penafsiran seenak hawa nafsunya sendiri berdasarkan analisa otaknya yang sempit. Dengan otak hawa nafsu itu mereka kemudian menafikan kebenaran Isra, apalagi Mi’raj.
Pemikiran hawa nafsu itu mengatakan bahwa Isra itu sendiri sesungguhnya bukan ke Jerusalem. Tapi perjalanan Rasulullah shallallahu alaihi wa syallam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Aqsa yang dimaksud adalah “tempat yang jauh”. Sehingga ayat itu dipahami secara terbuka. Bukan secara spesifik Jerusalem. Sebagian memahaminya jika Isra pada ayat itu merujuk kepada Perjalanan atau Hijrahnya Rasulullah shallallahu alaihi wa syallam dari Mekah ke Madinah.
Pendapat ini batal sekaligus batil dalam banyak hal. Pertama, kalau yang dimaksud adalah Hijrah Rasul, maka saat itu belum ada masjid di Madinah. Justeru masjid pertama yang didirikan oleh Rasul di Madinah adalah masjid Kuba. Kedua hijrah bukan dari Masjidil Baram awalnya. Tapi dari rumah baginda menuju Gua Tsur lalu ke Madinah.
Mereka kemdian mengingkari eksistensi Mi’raj karena menurutnya tidak disebutkan dalam Al-Quran. Benarkah tidak disebutkan dalam Al-Quran?
Boleh jadi secara literal tidak disebutkan di mana-mana. Tapi memahami ayat-ayat yang diketahui ada relevansinya dengan peristiwa ini menjadikan para ulama salaf dan Khalaf sepakat bahwa yang dimaksud pada ayat-ayat tersebut adalah peristiwa Mi’raj (perjalanan ke atas) atau vertikal Rasulullah shallallahu alaihi wa syallam.
Mari kita lihat lebih rinci beberapa keraguan orang terhadap Isra dan Mi’raj Rasulullah shallallahu alaihi wa syallam. Baik dari argumentasi rasionalitas, maupun dasar-dasar Syar’i dari Al-Quran, Sunnah maupun interpretasi para ulama Islam yang mu’tabar (menjadi rujukan Umat).
Pertama, benarkah peristiwa Isra Mi’raj ini tidak rasional atau tidak masuk akal?
Ada dua hal yang harus kita bedakan ketika kita bersentuhan dengan sesuatu yang berkaitan dengan rasionalitas manusia. Satu, ada hal-hal yang memang tidak rasional. Dua, ada juga hal-hal yang sejatinya rasional, hanya saja akal manusia tidak mampu memahaminya.
Yang pertama adalah hal-hal yang memang secara sederhana dipahami oleh akal. Ambillah sebagai misal 1+1=2. Akal memahaminya secara pasti tanpa penafsiran. Tapi ketika 1+1+1 dipaksakan sama dengan 1, lalu dipaksakan menjadi sebuah konsep yang harus diterima sebagai realita umum maka hasilnya terjatuh ke dalam istilah irrational (tidak masuk akal).
Sementara yang kedua adalah hal-hal yang karena tabiatnya memang kompleks, apalagi bersentuhan dengan isu-isu teologis yang ranah dominannya ada pada hati. Hal-Hal seperti itu bukan tidak rasional atau tidak masuk akal. Hanya saja rasionalitas atau akal manusia sangat terbatas memahaminya.
Ambillah contoh lain selain Isra Mi’raj. Kebangkitan dari kubur misalnya. Kalau saja kita memaksakan diri untuk memahaminya dengan akal tentang bagaimana kebangkitan dari kubur itu, kemungkinan besar manusia akan mengingkarinya atau manusia menjadi gila. Kesimpulannya, kebangkitan itu bukan tidak masuk akal. Hanya saja akal manusia sangat terbatas untuk memahaminya.
Demikian halnya dengan Isra Mi’raj. Bukannya tidak masuk akal. Hanya saja akal manusialah yang terbatas dan tidak mampu memahami segala rincian teknis dari prosesnya.
Saya kira landasan terbesar dari rasionalitas Isra Mi’raj adalah bahwa Perjalanan itu memang “aktornya” (pelaku) adalah Allah. Muhammad SAW adalah objek yang diperjalankan. Dan kalau dalam suatu hal Allah sebagai pelaku, apakah hal itu dapat dikategorikan tidak masuk akal?
Oleh karenanya Isra Mi’raj sangat rasional karena Allah yang tidak terbatas kemampuan dan ilmu itu mampu melakukan segala hal yang tidak bertentangan dengan tabiat diriNya sendiri.
Mungkin dalam hal ini ada saja yang mencoba bermain api dan mengatakan bahwa kalau memang Tuhan tidak memiliki batas dalam kemampuan dan ilmu, berarti Tuhan bisa menjadikan diriNya dalam wujud manusia?
Jelas ini tidak rasional. Karena kontra terhadap kekuasaan dan tabiatNya Sebagai Tuhan. Bahwa Tuhan itu tidak punya keterbatasan. Tapi di sisi lain Tuhan tidak akan melakukan sesuatu yang justeru menjatuhkan dirinya kepada keterbatasan. Mewujudkan diriNya menjadi makhluk berarti menjadikan Allah terbatas. Maka di sini terjadi “self contradictory” atau paradoks dari ketuhanan itu sendiri.
Kedua, benarkah Al-Quran tidak menyebutkan Mi’raj sama sekali?
Kekeliruan para pengingkar Isra Mi’raj adalah karena mereka membaca satu ayat Al-Quran tanpa mencoba menelusuri rimba ilmu-ilmu yang ada dalam Al-Quran. Mereka dengan sangat simplistik mengambil kesimpulan tanpa pendalaman. Maka pada umumnya mereka hanya membaca ayat pertama dari Surah Al-Isra untuk mengambil kesimpulan.
Padahal jika mereka mencoba mengkaji Al-Quran lebih jauh akan mereka dapati beberapa ayat lain dalam Al-Quran yang sangat relevan dengan peristiwa Mi’raj Rasulullah shallallahu alaihi wa syallam. Lihat misalnya Surah yang sama (Al-Isra) ayat 12-18.
Allah menegaskan: “Maka apakah kamu akan membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya (Jibril dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. Yaitu di sisi Sidratul Muhtaha. Di dekatnya Ada syurga tempat tinggal, (Muhammad melihatnya) ketika di Sidratul Muntaha ditutupi oleh sesuatu yang menutupi. Penglihatannya (Muhammad) tidak menyalahi dari apa yang dilihatnya atau melebih-lebihkan. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda kekuasaan Tuhannya yang besar”.
Berikut beberapa ahli yang menyebutkan hal ini dalam kajian tafsirnya.
Tafsir Al-Mukhtashor: dan sesungguhnya Muhammad shallallahu alaihi wa syallam telah melihat kembali Jibril dalam bentuk aslinya di malam isra Mi’raj.
Zubdatut Tafsir: Yakni Muhammad shallallahu alaihi wa syallam telah melihat Jibril dalam rupanya yang asli pada waktu yang lain. Yaitu ketika malam Isra Mi’raj.
Untuk menguatkan itu, para ahli tafsir kemudian mengaitkan kata melihat itu dengan kalimat: di sisi Sidratul Muntaha.
Tafsir Al-Mukhtashor: Sidratul Muntaha yaitu pohon besar sekali berada di langit ketujuh.
Dan banyak lagi tafsiran yang menguatkan bahwa ayat 12-18 dari Surah Al-Isra itu menegaskan bahwa interaksi langsung yang terjadi antarta Muhammad dan Jibril itu bukan di bumi. Tapi di Sidratul Muntaha yang Allah Maha Tahu rinciannya.
Saya tidak perlu menuliskan lagi semua ayat-ayat Al-Quran tersebut. Tapi untuk memudahkan bagi para pengingkar, saya tuliskan beberapa ayat lagi untuk menjadi rujukan, antara lain: Surah An-Najm:15 dan Surah Al-Isra: 60. Juga Surah At-Takwir: 23.
Sekali lagi, menyimpulkan bahwa Al-Quran tidak menyebutkan sama sekali peristiwa Mi’raj Rasulullah shallallahu alaihi wa syallam adalah kecerebohon dan kebodohan bahkan keangkuhan. Kenyataannya Al-Quran dipahami secara baik akan di dapati ayat-ayat yang secara langsung sangat relevan dengan peristiwa Mi’raj Rasululllah shallallahu alaihi wa syallam.
Ada banyak hadits-hadits mutawathir yang menyebutkan proses Perjalanan Rasulullah shallallahu alaihi wa syallam secara vertikal (Mi’raj) pada malam itu. Satu di antaranya adalah dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan:
“Kemudian Nabi menoleh ke arah Jibril seolah meminta pendapat mengenai itu (jumlah rakaat sholat). Kemudian Jibril mengisyaratkan pada beliau: Iya. Bila kamu menghendaki keringanan untuk itu. Lalu nabi naik kepada Rabb sedangkan dia (nabi) di tempatnya dan berkata: ya Rabb, ringankanlah untuk kami. Sesungguhnya Umatku tidak mampu melakukan ini” (HR Bukhari).
Imam Al-Asqalani menyebutkan: bahwa kalimat “dan dia pada tempatnya” maksudnya tempat Muhammad ketika menerima pentintah awal sholat. Yaitu di Sidratul Muntaha.
Saya tidak ingin menyebutkan lagi semua riwayat hadits yang menguatkan Perjalanan vertikal (Mi’raj) Rasulullah shallallahu alaihi wa syallam. Tapi intinya adalah bahwa mengingkari peristiwa Mi’raj boleh jadi tanpa disadari justeru pengingkaran kepada ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa syallam.
Saya hanya ingin tegaskan sekali lagi bahwa ketidak mampuan dan keterbatasan akal manusia memahami peristiwa ini bukan alasan untuk anda mengatakan bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj itu tidak rasional atau tidak masuk akal.
Jangan-jangan ketika anda dengan serta merta mengambil kesimpulan seperti itu justeru akal anda sedang bermasalah. Atau memang anda sedang terjangkiti keangkuhan yang dihiasi oleh perasaan paling rasional.■ Bersambung
TERBARU
-
Transformasi dan Transmisi di Masa Transisi Hidayatullah
24/11/2024 | 07:58 Wita
-
Nilai dan Keutamaan Hidup Muhammad Sebelum jadi Rasul
22/11/2024 | 06:04 Wita
-
Raih Belasan Medali, Atlet Tapak Suci Pesantren Ummul Quro Hidayatullah Tompobulu Terbaik di Kejurnas UINAM Cup
18/11/2024 | 05:42 Wita