Rabu, 6 Januari 2021 | 14:41 Wita

Tahun 2021: Optimisme vs Pesimisme (1)

Editor: Firman
Share

Oleh : Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation/Diaspora Indonesia dan Imam di kota New York.

HidayatullahMakassar.id — Tak disangkal lagi tahun 2020 adalah tahun yang penuh dengan berbagai kesulitan dan tantangan. Bahkan tidak berlebihan jika disebut sebagai tahun yang kelam bagi dunia kita.

Hiruk pikuk politik dunia, termasuk US yang sedang diuji dengan kepemimpinan Donald Trump, memanas dan pada tingkatan tertentu menimbulkan kekisruhan bahkan korban jiwa. Mungkin yang paling terasa adalah terjadi friksi sosial yang dalam akibat perbedaan pilihan politik.

Kekerasan rasial juga masih terjadi di mana-mana. Di Amerika sendiri, di mana Rasisme merupakan penyakit historis negeri ini, kematian George Floyd di Minneapolis telah memicu demonstrasi serempak di seantero negeri. Gerakan Black Lives Matter seolah menemukan hidupnya kembali.

Kebencian kepada kelompok lain, termasuk kelompok agama, semakin menjadi-jadi akibat menaiknya politisi-politisi radikal golongan kanan atau Right Wing politicians. Salah satunya adalah Donald Trump di Amerika Serikat.

Terpilihnya politisi-politisi golongan kanan itu menguatkan kembali teroris putih dari kalangan White Supremacy. Akibat dari menguatkan kelompok rasis dan teroris putih ini adalah tumbuhnya kekerasan-kekerasan yang terjadi kepada penduduk non White di negara-negara mayoritas putih. Contoh yang paling diingat adalah pembantaian Saudara-Saudara Muslim kita di New Zealand (Selandia Baru).

Tapi dari semua itu yang paling terasa dan memilki dampak negatif yang masif adalah musibah virus Corona. Hingga hari ini di Amerika saja telah hampir 350 ribu kematian. Mereka yang terkapar Covid mencapai 20 juta lebih. Bahkan di tahun baru ini 157 ribu sedang dirawat di rumah-rumah sakit di Amerika.

Corona juga telah mengambrukkan perekonomian dunia. Bisnis-bisnis menengah ke bawah banyak yang berguguran. Jutaan manusia yang terpaksa kehilangan sumber penghasilan.

Corona bahkan merombak sendi-sendi kehidupan sosial, bahkan kehidupan beragama kita sekalipun. Jika dulu berkumpul silaturrahim adalah nilai yang baik, kini justeru dianggap nilai yang harus dihindari. Sebelum Corona jabat tangan itu menggugurkan dosa-dosa. Saat ini jabatan tangan bisa jadi sumber dosa.

Dalam kehidupan beragama, tatanan ibadah juga banyak berubah. Masjid-masjid yang harusnya dmakmurkan dengan keramaian saat ini justeru dianjurkan untuk mengurangi keramaian. Bahkan jarak shof sholat yang harusnya berdekatan sebagai bagian dari kesempurnaan sholat, kini dianjurkan untuk berjauhan.

Bahkan dalam sejarah panjang agama ini baru kali ini masjid-masjid sempat ditutup. Bahkan masjidil Haram dan masjid Nabawi juga sempat ditutup beberapa waktu. Ramadan tidak lagi diramaikan dengan tarawih berjamaah dan kegiatan Ramadan lainnya. Bahkan sholat eid juga dilakukan dengan sangat sederhana.

Di berbagai belahan dunia masih banyak manusia yang berjuang untuk mendapatkan hak-hak dasarnya (HAM). Dari Myanmar, Kashmir, Uighur, hingga yang paling klasik Saudara-Saudara kita di Palestina, semuanya masih berada dalam situasi terbelenggu. Mereka dan banyak lagi di berbagai belahan dunia adalah orang-orang yang tidak memiliki hak-hak setara dengan manusia lainnya.

Saudara-Saudara kita warga warga Rohingyah di Myanmar hingga saat ini masih terbengkalai tidak menentu di berbagai tempat yang menyedihkan. Di Bangladesh mereka ditempatkan di lokalitas-lokalitas yang rawan banjir dan penyakit. Tapi yang terpenting mereka belum mendapatka status kewarga negaraan mereka. Hewan saja ada identitas kepemilikan. Tapi warga Rohingyah tidak mau diakui oleh siapapun.

Palestina dan Jerusalem khususnya juga semakin menghadapi realita yang kelam. Pengakuan Trump secara unilateral tentang Jerusalem sebagai Ibukota Israel dan memindahkan Kedutaan US ke Jerusalem adalah kesemena-menaan yang luar biasa. Pengakuan itu tidak saja melanggar berbagai resolusi PBB. Tapi juga melanggar hak-hak dasar bangsa Palestina yang seharusnya dilibatkan dalam semua proses yang terjadi.

Selama Donald Trump berkuasa di Amerika Palestina memang disisihkan seolah tidak ada (eksis). Bahkan Trump lebih memilih Saudi, Mesir. Bahrain atau Uni Emirat sebagai partner dalam menentukan hal-hal yang berkaitan dengan nasib bangsa Palestina. Sebuah pelecehan dan arogansi yang tidak dapat ditolerir.

Pada akhirnya yang cukup menyedihkan pula adalah keberhasilan Donald Trump melalui tangan kanannya meyakinkan (atau mengintimidasi dan/menyuap) beberapa negara Muslim untuk membangun hubungan diplomasi dengan Israel. Beberapa negara berhasil membangun relasi penuh dengan Israel. Di antaranya Uni Emirat, Bahrain, Sudan, Maroko, dan beberapa lainnya.

Hubungan diplomasi ini tentunya semakin melemahkan posisi Palestina dalam perundingan dengan Israel. Karena tidak adanya hubungan diplomasi antara dunia Islam dan Israel merupakan salah satu bentuk tekanan agar Israel memberikan kemerdekaan kepada bangsa Palestina. Maka dengan hubungan ini seolah negera-negara tersebut memberikan justifikasi atas penjajahan Israel atas bangsa Palestina.

Tentu kita juga tidak lupakan berbagai kekerasan yang menimpa Umat Islam di berbagai negara-negara mayoritas Muslim. Di Bangladesh para pemimpin jamaah Islamiyah, sebuah organisasi massa dan poliitk dibasmi. Di Mesir para Pemimpin dan aktifis IM dihabisi. Di Saudi Arabia ratusan bahkan ribuan Ulama dan aktifis sedang di penjara.

Di Indonesia sendiri juga terjadi kekerasan-kekerasan kepada beberapa ulama dan aktifis Islam. Yang paling hangat adalah pembunuhan enam anggota dan aktifis FPI.

Sekali lagi, seperti yang pernah saya sampaikan, terlepas dari kenyataan di lapangan di subuh hari itu, simpati atau tidak simpati dengan FPI, pembunuhan kepada kaum sipil tanpa ancaman yang pasti (imminent threat) tidak dibenarkan.

Dan karenanya fakta tentang peristiwa ini harus dicari dan diselesaikan secara tuntas. Jika tidak maka akan menjadi catatan kelam dalam perjalanan sejarah bangsa ini.

Kota New York, Januari 2021



BACA JUGA