Rabu, 30 Desember 2020 | 17:51 Wita

Godaan Membuka Hubungan Diplomasi dengan Israel

Editor: Firman
Share

Oleh: Shamsi Ali, Diaspora Indonesia dan Imam di kota New York

HidayatullahMakassar.id — Akhir-akhir ini pemerintahan Amerika di bawah Donald Trump begitu pro-aktif dan gencar membujuk dan/atau menekan negara-negara Arab dan Islam untuk membuka hubungan diplomasi dengan negara Israel. Hingga saat ini beberapa negara di antaranya Uni Emirates, Bahrain, Maroko dan Sudan telah menanda tangani huhungan diplomasi dengan Israel.

Hubungan diplomasi dengan beberapa negara Arab dan Muslim ini sekaligus memperjelas makna kata “perdamaian” yang selama ini Trump dengungkan. Bahwa perdamaian Timur Tengah bagi Israel adalah terjadinya pengakuan atau hubungan diplomasi dengan negara-negara Arab dan Islam. Atau apa yang biasa disebut dengan rekonsiliasi antara Israel dan negara-negara Arab dan Islam.

Artinya kata “perdamaian” sesungguhnya hampir saja tidak mengandung makna “perdamaian antara Israel dan Palestina”. Dengan kata lain perdamaian yang dimaksud bukan terjadinya solusi permanen terhadap konflik Israel dan Palestina dengan kemerdekaan bangsa Palestina.

Inilah sebabnya dalam empat tahun terakhir upaya-upaya perdamaian Timur Tengah sama sekali tidak melibatkan Palestina. Justeru semua proses yang berjalan melibatkan negara lain, termasuk Saudi, Emirat, Mesir, dan Jordan. Palestina nampak sengaja diabaikan dan dianggap tidak punya eksistensi dalam proses-proses tersebut.

Pengakuan Donald Trump secara unilateral terhadap Jerusalem sebagai Ibukota Israel dan pemindahan Kedutaan Amerika ke Jerusalem adalah bukti nyata akan kesemena-menaan itu. Semua yang dilakukan itu melanggar berbagai resolusi PBB yang menyatakan bahwa Jerusalem adalah daerah yang diperselisihkan (disputed territory) dan tidak boleh ada yang mengakuinya. Serta tidak boleh ada perwakilan negara asing di daerah tersebut hingga pada masanya ada persetujuan final antara Israel dan Pelestina.

Upaya-upaya Israel melalui tangan-tangan Amerika untuk menarik pengakuan dari negara-negara Arab dan Islam akan terus dilakukan secara terbuka. Tidak tanggung-tanggung memakai yang sogokan, bahkan intimidasi sekaligus.

Negara-negara seperti Uni Emirate dan Bahrain di intimidasi dengan memakai ancaman Iran. Bahwa jika negara-negara itu tidak mengakui Israel maka boleh jadi tidak akan mendapatkan pembelaan Amerika jika suatu ketika Iran menyerangnya. Amerika tentu mengingatkan apa yang pernah terjadi dengan Kuwait oleh Saddam Husain di masa lalu.

Sudan sendiri menerima bujukan Amerika untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel dengan barteran mengakhiri boikot yang cukup panjang di negara Afrika itu. Apalagi isu Darfur masih terus menjadi isu yang cukup mengganggu bagi negara yang cukup kental dengan pergerakan IM di zaman Omar Basyir itu.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Di luar negara-negara Arab, Indonesia menjadi target utama dari kampanye ini. Selain karena Indonesia memang memilki strategi penting di Asia Pasifik dan dunia Islam, Indonesia juga merupakan salah satu ekonomi besar (giant economi) dunia. Tapi yang terpenting adalah bahwa Indonesia adalah negara Muslim terbesar yang sejalan dengan norma-norma modern dan nampaknya lebih mudah diarahkan.

Hal ini semakin nampak ketika baru-baru ini Adam Boehler, Kepala Eksekutif DFC Amerika, mengatakan bahwa jika Indonesia bersedia membuka hubungan diplomasi dengan Israel korporasi keuangan pembangunan International Amerika Serikat dapat melipatgandakan tawaran sebelumnya sebesar 1 milyar US$.

Ditambah lagi belum lama ini ada menteri Indonesia yang melakukan pertemuan dengan Presiden Donald Trump di Gedung Putih, justeru di akhir-akhir masa kepresidenannya. Anehnya justeru yang mendampingi Donald Trump dalam pertemuan itu adalah menantunya Jared Kushner yang juga Penasehat senior Presiden untuk urusan Timur Tengah.

Apakah ini semua hanya “by accident” atau secara kebetulan dan bukan sesuatu yang memang direncanakan? Hanya mereka dan Allahu a’lam (Yang Maha Tahu).

Hal yang kemudian menggembirakan adalah bahwa hingga saat ini Kementerian Luar Negeri RI masih konsisten dengan posisi awal bahwa RI tidak akan membuka hubungan diplomasi dengan Israel selama negara itu masih berstatus sebagai penjajah negara Palestina.

Posisi Indonesia ini adalah sebuah keniscayaan. Dan nampaknya hingga saat ini belum ada alasan untuk berubah. Keharusan untuk Indonesia tegas dalam menentang hubungan diplomasi ini karena disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, sebagai negara Demokrasi Indonesia tentu akan selalu memperhatikan aspirasi rakyatnya. Dan hingga kini tidak diragukan lagi bahwa rakyat Indonesia menentang hubungan diplomasi itu. Penentangan rakyat Indonesia ini saya yakin didorong pertama kali oleh “iman mayoritas” masyarakat yang menengang penjajahan. Bagi Umat Islam, keimanan kepada “laa ilaaha illallah” juga merupakan keyakinan bahwa penjajahan adalah bentuk perbudakan yang wajib ditentang.

Kedua, mungkin bangsa Indonesia masih ingat bahwa salah satu negara yang pertama sekali mengakui kemerdekaan RI adalah Palestina. Maka pastinya Indonesia masih sadar sejarah serta tahu berterima kasih kepada bangsa Palestina. Hal ini juga tentunya didukung oleh semangat “humanitarian solidarity” (solidaritas kemanusiaan) bahwa penjajahan itu memang bentuk kezholiman serta bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Ketiga, dan ini tentunya yang paling mendasar. Bahwa UUD negara Republik Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Alasan ketiga ini saya yakin menjadi dasar yang begitu kuat untuk Indonesia kokoh dan konsisten dalam menentang normalisasi hubungan dengan Israel. Bahwa selama Israel masih berstatus sebagai penjajah bangsa Palestina, selama itu pula Indonesia secara Konstitusi tidak akan pernah dibenarkan untuk membuka hubungan diplomasi itu.

Dan kalau sampai pemerintah Indonesia membuka hubungan diplomasi dengan Israel, dengan sendirinya berarti bahwa pemerintah melakukan pelanggaran yang nyata terhadap konstitusi negara. Dan pelanggaran Konstitusi itu jika di Amerika dapat menjadi dasar (ground) untuk memberhentikan pemerintahan atau yang populer dengan impeachment.

Bukan Anti Yahudi

Akhirnya saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa posisi RI (dan saya pribadi) tidak harus dimaknai sebagai kebencian kepada pemeluk agama Yahudi. Karena sejatinya Islam tidak membenci orang lain hanya karena beda agama.

Banyak yang mengenal jika saya di Amerika Serikat adalah salah seorang yang aktif membangun dialog antar agama, termasuk dengan tokoh-tokoh Yahudi. Bahkan saya pernah menulis sebuah buku bersama seorang pendeta Yahudi berjudul “Anak-Anak Ibarahim: isu-isu yang menyatukan dan membedakan antara Yahudi dan Muslim”.

Buku kami saat ini sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Hebrew (bahasa resmi Yahudi) dan telah diluncurkan di Dubai beberapa hari lalu. Saya pribadi tidak hadir pada acara peluncuran itu karena terlanjur ada agenda lain. Tapi juga karena saya masih memiliki posisi tegas menentang normalisasi hubungan negara-negara Islam dan Israel.

Harapan kita adalah semoga suatu ketika bangsa Palestina mendapatkan kemerdekannya. Yang pastinya banyak ditentukan oleh “political will” dari Israel untuk mengembalikan hak-hak bangsa Palestina seperti pada perjanjian tahun 1967. Di mana bangsa Palestina memiliki negara secara berdaulat dan menjadi tetangga yang baik bagi Israel.

Pada masa itulah Indonesia dan negara-negara Muslim dapat menjalin hubungan diplomasi secara normal dengan Israel sebagaimana hubungannya dengan semua negara yang ada di dunia ini.

Entah kapan. Memang hanya Allah yang tahu ■

New York, 28 Desember 2020



BACA JUGA