Sabtu, 28 November 2020 | 09:34 Wita

Keturunan Habib

Editor: Firman
Share

Oleh: Dr Ilham Kadir MA. Cucu Nabi Adam; Dosen Universitas Muhammadiyah Enrekang

HidayatullahMakassar.id — Diskursus tentang keturunan Nabi Muhammad saat ini kian menjadi polemik, lebih khusus setelah kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam, Habib Rizieq Shihab ke tanah air setelah menetap di Makkah selama tiga setengah tahun. Tulisan ini bermaksud mengurai asal-usul istilah habib, dan keistimewaan para keturunan nabi dari manusia dan nabi pertama hingga nabi akhir zaman.

Salah satu ciri khas yang kerap dipakai oleh yang mengaku keturunan nabi adalah “habib”. Sejatinya kata habib bersumber dari Bahasa Arab yakni, habba-yuhibbu-hubbun, dan habib berarti ‘yang dicintai’, kerap disebut ‘habibi’ berarti ‘yang saya cintai’ atau ‘kekasihku’. Kemungkinan besar, awal penyebutan habib kepada keturunan nabi untuk menjadi pembeda pada keturunan selain nabi Muhammad dan sebagai tanda kecintaan kepada mereka.

Pada dasarnya panggilan habib kepada para keturunan Nabi Muhammad tidak ada dasarnya dalam agama, tidak pula ada dali baik Al-Quran maupun hadis yang memerintahkan untuk memuliakan mereka dengan menyebut habib. Karena itu, istilah habib masuk dalam perkara bid’ah non ibadah dan dihukum mubah. Tidak sunnah tapi juga tidak haram, hanya bersifat ta’dib dan ta’zhim kepada para keturunan Rasulullah.

Pendapat yang masyhur terkait dengan asal-usul istilah habib kemungkinan [belum pasti] adalah berasal dari Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir (820-924). Mereka juga biasa disebut sebagai ‘kaum alawiyin’ adalah merupakan keturunan dari Ali bin Abi Thalib yang melakukan migrasi dari Bashrah ke Hadramaut pada saat Dinasti Abbasiyah memegang tampuk kekuasaan. Anak-cucu Imam Al-Muhajir ini kemudian melakukan migrasi ke sejumlah negara seperti India, Afrika, hingga Nusantara.

Sejarah migrasi dan persebaran kaum Alawiyin, ke berbagai daerah ini terbagi ke dalam beberapa fase. Sayyid Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri dalam bukunya, “Sirat as-Salaf min Bani Alawi al-Husainiyyin” membagi persebaran menjadi empat fase. Dalam empat fase ini para keturunan Nabi menurut Asy-Syathiri, mendapatkan julukan yang berbeda-beda: Era pertama dijuluki “Al-Imam”. Fase kedua diberi gelar “Asy-Syaikh”. Fase ketiga, “Al-Habib”. Dan terakhir, fase keempat dijuluki “As-Sayyid”.

Keturunan Arab Yaman yang umumnya berasal dari salah satu daerah bernama “Tarim” dan kerap kita dengar ungkapan “Ya, Tarim wa ahlaha”, Wahai Tarim dan segenap penghuninya! Mereka inilah yang tersebar ke berbagai penjuru, termasuk ke Nusantara yang di dalamnya ada Inonesia.

Para keturunan Nabi itu umumnya beraqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan manhaj Asy’ariyah, dalam fikih mereka merujuk kepada Mazhab Syafi’i, dan dalam ilmu tasawuf mayoritas mengikuti Imam Al-Ghazali. Penyebaran orang Arab di Indonesia tidak selalu datang dari jalur Yaman, tapi banyak juga yang memang langsung dari Makkah ke Indonesia, mereka bermigrasi ke tanah air bersama para penuntut ilmu yang berasal dari Indonesia datang ke nusantara menjadi ulama, dai, hingga aktivis organisasi. Fase ini adalah fase terakhir migrasi orang-orang Arab ke Indonesia, khususnya di abad ke-17 hingga abad ke-19.

Orang-orang Arab muslim yang datang ke Nusantara memang untuk berdakwah menyebarkan agama Islam sambil berdagang–bukan sebaliknya–berbagai macam dagangan, mulai dari hasil bumi berupa rempah-rempah hingga minyak wangi dan obat-obatan. Walau pun demikian, mereka cepat berbaur dengan masyarakat setempat, melakukan dakwah demografi dengan mengawini penduduk setempat, dan berpindah-pindah dari satu daerah dengan daerah lainnya, kerap juga disebut “dai kelana”. Proses ini disebut akulturasi. Bahkan mereka banyak yang menjadi tabib, mengobati orang setempat, lalu mereka masuk Islam tanpa ada paksaan. Agama, ilmu, dan adab adalah ciri khas para dai kelana.

Cucu Adam

Sebenarnya tidak ada keistimewaan secara khusus kepada siapa pun di sisi Allah, selain pada ketakwaan, keimanan, dan keilmuan. Tiga dasar inilah yang dapat memuliakan dan mengangkat derajat seseorang. Terkait dengan ini, maka banyak petunjuk dari Allah dan rasulnya yang wajib kita jadikan kredo, tujuannya agar tidak terjadi diskriminasi antar sesama keturunan Nabi Adam.

Ajaran Islam mendidik umatnya untuk memperlakukan semua suku dan bangsa dalam posisi yang sejajar, baik bangsa Arab maupun non-Arab (atau juga dikenal dengan istilah ajam), kedua-duanya setara di mata Allah. Rasulullah bersabda, “Tidak ada keutamaan bagi bangsa Arab atas bangsa sjam, dan tidak ada keutamaan bagi yang berkulit hitam atas yang berkulit merah kecuali dengan takwa.”

Lebih tegas, Allah berfirman dalam Surah Al-Hujurat [49]: 13. “Wahai sekalian manusia sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling kenal. Sesungguhnya yang lebih mulia di antara kalian adalah orang-orang bertakwa.”. Dalam Al-Qur’an surah Al-Mujadalah[58]:11, ditegaskan bahwa orang-orang yang berilmu dan beriman diangkat derajatnya oleh Allah.

Sejarah juga telah membuktikan bahwa justru pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang sains justru dipelopori oleh orang-orang non Arab. Sebutlah nama-nama ilmuan Islam antara lain: Ibnu Sina (980-1030) ilmuan muslim dalam dunia kedokteran, filsafat dan pendidikan berasal dari Persia; Al-Kawarizmi (780-850), matematika, geografi, astronomi; berasal dari Uzbekistan. Ibn Khaldun (1302-1406), seorang ilmuan ahli sejarah, digelar Bapak Sosioligi, dan pakar pendidikan.

Bahkan ahli hadis nomor satu dan dua pun bukanlah keturunan Nabi Muhammad, mereka adalah: Imam Bukhari (810-870), ahli hadis nomor wahid berasal dari Uzbekistan dan Imam Muslim (204-261 H), Ahli Hadis nomor dua, berasal dari Nisabur, Persia.

Tentu kita menghargai para “alawiyin” yang bergelar habib atau non habib. Bagaimana pun atas jasa mereka sehingga Islam masuk dan berkembang di nusantara. Dan khusus di Indonesia, mereka telah banyak berjasa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bahkan sebelum Indonesia dan NKRI ada. Jasa-jasanya dalam membantu Indonesia untuk merdeka begitu besar dan tidak bisa diabaikan.

Penghormatan dan pengargaan kita kepada para alawiyin juga tidak boleh berlebihan, apalagi mengkultuskan hingga mendewakan. Jika benar kita ikuti dan hormati pendapatnya, jika salah kita tinggalkan dan kembali pada kebenaran. Para alawiyin juga manusia seperti kita, bisa salah dan bisa juga benar.

Semua manusia yang ada saat ini, merupakan keturunan Nabi Adam, dan dipastikan moyang kita pernah menjadi umat Nabi Nuh. Karena itu, kita semua keturunan nabi memiliki peluang yang sama dalam meraih kesuksesan dan kemuliaan dunia dan akhirat, sebab pada akhirnya semua akan disoal satu persatu, apa yang pernah kita perbuat dalam hidup yang singkat ini.

Dan seseorang itu bukan dinilai dari orang tua dan keturunannya, tapi kualitas pribadi dan kedudukannya. “Laesal fata man yaquulu kaana abi, innal-fata man yaquulu ha’ anadza. Orang itu tidak dinilai hebat karena berbangga atas orang tua dan pendahulunya, tapi baru dikatakan hebat kalau dia berkata, Inilah saya!” Wallahu A’lam!

Bandung, 26 November 2020



BACA JUGA