Selasa, 24 November 2020 | 18:48 Wita
Menauladani “Good Looking” Yusuf AS
■ Oleh : Shamsi Ali*
HidayatullahMakassar.id — Barangkali dari sekian banyak kisah yang dikisahkan dalam Al-Quran, kisah Yusuf AS menjadi salah satu kisah yang paling indah. Selain memiliki cerita yang unik, juga penuh dengan hikmah-hikmah atau ‘Ibar (pelajaran-pelajaran) yang luar biasa (extraordinary).
Secara umum kisah Yusuh AS adalah gambaran perjuangan (struggle) dalam perjalanan hidup (life journey) dari keadaan yang lemah dan memprihatinkan ke keadaan yang kuat dan menentukan. Intinya kisah perjalanan hidup dari situasi yang penuh tantangan dan kesulitan ke situasi sukses dan memudahkan.
Yusuf tentunya kita kenal sebagai sosok hamba Allah yang sangat “good looking” (ganteng). Sebuah karunia kelebihan yang Allah berikan kepada seorang hambaNya. Tapi penekanan kisah Yusuf AS tidak pada “physical good looking” (keindahan fisiknya). Mungkin karena dikhawatirkan justeru menjadi tuduhan radikal (hehe..canda).
Saya sendiri tidak terlalu peduli dengan keindahan fisik seseorang semata. Walaupun kita tahu bahwa Allah menyukai keindahan. “Innallaha jamiilun yuhibbul jamaal” (Allah itu indah mencintai keindahan).
Tapi juga Rasulullah SAW mengatakan: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada fisik tubuhmu. Melainkan kepada hati dan amal-amalmu”.
Maka penekanan dari good looking dalam konteks Kisah Yusuf AS untuk kita bukan pada aspek fisiknya. Toh itu karunia yang bersifat alami. Tapi lebih kepada karakternya sebagai seorang hamba dan juga nabi Allah yang luar biasa indahnya.
Lalu apa-apa saja yang perlu kita pelajari dari good looking Yusuf AS?
Berikut beberapa hal yang saya anggap penting untuk digarisbawahi sebagai pelajaran hidup untuk kita semua. Apa yang disampaikan di sini hanya sebagian kecil dari hikmah-hikmah kisahnya. Saya yakin semakin diselami semakin banyak hikmah yang dapat dipetik.
Pertama, keyakinan terhadap kuasa Allah yang tak tergoyahkan.
Keyakinan seorang mukmin akan kuasa Allah itu bukan slogan. Bukan teori yang diungkapkan di mana-mana dengan retorika-retorika yang indah. Tapi realita hati yang dalam dan kokoh, yang tak tergoyahkan oleh apapun.
Keyakinan seperti ini dimisalkan dalam Al-Quran dengan “bagaikan pohon yang akarnya terhunjam kuat ke dalam tanah”. Artinya selain tertanam kokoh ke dalam tanah, juga tumbuh dengan kuat dan sehat. Bahkan memberikan buah-buah (ukulaha) setiap saat kepada lingkungan sekitarnya.
Di sinilah Yusuh membuktikan soliditàs keyakinannya. Di saat dilempar oleh saudara-saudaranya ke dalam sumur itu keyakinannya kepada kekuasaan yang mengendalikan segalanya menjadikan Allah mengintervensi dan menyelamatkannya. Persis ketika kakeknya Ibrahim AS diselamatkan dari kobaran api Namrud saat itu.
Dengan soliditas “al-yaqiin” (keyakinan) ini juga Yusuf AS diselamatkan oleh Allah dari ketergelinciran ke dalam pelukan hawa nafsu di saat digoda oleh isteri raja di istana. Keyakinan itulah yang di saat tersudutkan, Yusuf melihat “burhana Rabbih” (cahaya Tuhan) yang menjadi tameng baginya dari dahsyatnya godaan sang wanita.
Kedua, respek dan terbuka (jujur) pada orang tua.
Kisah Yusuf menyebutkan bahwa ayahnya Ya’kub AS, juga seorang nabi dan anak dari seorang nabi (Ishak), cucu dari seorang nabi (Ibrahim) memiliki perhatian dan cinta lebih kepada anaknya yang satu ini. Yusuf AS memiliki 11 saudara dari beberapa ibu. Yusuf sendiri bersaudara seibu dengan adik bungsunya, Benjamin.
Dari 12 bersaudara itu ayahnya memiliki perhatian dan kasih sayang lebih kepada Yusuf. Saya kira hal ini bukan sekedar bersifat manusiawi. Pastinya ada inspirasi langit. Selain karena memang Yusuf memilki respek dan juga cinta kepada ayahnya (orangtuanya) yang lebih.
Hal itu dibuktikan bahwa Yusuf begitu terbuka kepada Ayahnya dan menceritakan segala sesuatu kepadanya. Salah satu yang disebutkan dalam kisah ini adalah cerita Yusuf tentang mimpinya kepada sang Ayah.
Saya tidak lagi menyebutkan cerita mimpi itu. Tapi intinya sang Ayah menasehatkan agar mimpi tersebut tidak diekspos kepada Saudara-Saudaranya. Karena hal tersebut akan menjadikan mereka semakin hasad (dengki) kepadanya.
Ketiga, kegigihan dalam menjaga integritas dan moralitas.
Ketika pedagang menemukan Yusuf AS itu di sumur itu, mereka membawanya ke Mesir untuk dijual sebagai budak. Dan Yusuf pun terjual dengan harga murah (daraahim ma’duudah). Tapi pembelinya bukan orang sembarang. Justeru seorang raja dan permaisurinya.
Nampaknya sang raja mulai menua. Sementara isterinya masih muda. Namanya juga raja. Pasti punya isteri yang muda dan cantik. Tapi di sini pula awal musibah itu.
Si remaja Yusuf tumbuh jadi pemuda yang punya kelebihan-kelebihan. Selain pintar, respek dan sopan, tentunya seperti yang kita kenal sangat good looking (ganteng). Dari hari ke hari Yusuf yang tadinya dijual sebagai budak, dijadikan anak angkat oleh raja, semakin menawan hati banyak orang.
Salah satunya yang jatuh hati adalah isteri raja itu sendiri. Hingga suatu hari sang isteri itu berusaha melakukan sesuatu yang keji kepada Yusuf. Dan ternyata itu adalah ujian yang luar biasa bagi Yusuf.
Bagaimana tidak. Yusuf adalah anak muda, besar dalam lingkungan istana yang tentunya dengan fasilitas yang mendukung. Maka menurut Al-Quran: “dan dia (wanita itu) tertarik padanya (Yusuf) dan dia (Yusuf juga) tertarik padanya (wanita itu)”.
Artiny sebagai manusia biasa, dan pemuda yang lagi menginjak awal kedewasaan, pastinya punya hawa nafsu. Tapi di sinilah integritas seorang Yusuf teruji. Dia mampu menghindar dari godaan wanita itu. Bahkan pada akhirnya berdoa kalau sekiranya harus memilih antara terjatuh dalam pelukan hawa nafsu atau penjara, Yusuf lebih memilih penjara (assijnu ahabbu ilayya).
Keempat, Komitmen Dakwah yang tidak mengenal keadaan apapun. Tapi dengan Ilmu dan komunikasi yang sesuai.
Pada akhirnya pengaruh sang isteri raja begitu kuat. Keinginannya untuk menggoda Yusuf tidak berhasil. Maka konsekwensinya Yusuf harus menerima kenyataan dipenjarakan.
Di penjara itulah Yusuf justeru memulai keguatan dakwahnya. Konon kabarnya ada dua pemuda yang ikut dipenjara bersamanya. Di suatu malam kedua pemuda itu bermimpi dengan mimpi yang aneh.
Satu bermimpi membawa roti di atas kepalanya lalu disambar dan dimakan burung-burung. Yang satunya lagi bernimpi membuat anggur untuk diberikan kepada tuannya (sang raja).
Nampaknya dalam penjara itu Yusuf Sudah memperlihatkan kelebihan-kelebihan. Salah satunya bisa menafsirkan mimpi. Persis kelebihan Ayahnya yang paham makna mimpi (ta’wil al-ahlaam). Maka wajar saja jika kedua pemuda yang bermimpi tadi meminta Yusuf untuk menafsirkan mimpi mereka.
Yusuf bersedia tapi sebelumnya beliau mempergunakan itu sebagai pintu Dakwah. Sebuah kejelian Dakwah yang luar biasa. Artinya Yusuf memang ahli dalam menangkap peluang Dakwah, sesuai Ilmu dan keadaan yang ada.
Inilah yang saya maksud komitmen Dakwah Yang tidak mengenal keadaan. Bahkan dalam penjara sekalipun. Tapi Dakwahya disesuaikan dengan ilmu. Saat itu Ilmu Yang diperlukan adalah Ilmu tafsir mimpi. Dan juga disesuaikan dengan kebutuhan obyek dakwah. Yaitu keinginan untuk tahu arti mimpi mereka.
Poin Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa Dakwah itu bukan sekedar Dakwah. Tapi dengan ilmu, kesesuaian dan juga melihat kepada kebutuhan obyek dakwah.
Dakwah seharusnyan bukan tanpa metode yang tepat. Tidak secara buta. Apalagi memakai cara “bolduzer” yang justeru menghacurkan segalanya.
Kelima, pelayanan publik itu adalah ibadah. Tapi harus berdasarkan kepada kapasitas masing-masing.
Kedua pemuda itu keluar dari penjara dan keduanya ditakdirkan Allah berdasarkan mimpi masing-masing. Yang satu dieksekusi dengan salib.
Dan yang satunya lagi bekerja di istana melayani sang raja.
Pada tahun yang sama sang raja bermimpi dengan mimpi yang aneh. Bahwa ada tujuh sapi yang gemuk memakan 7 sapi yang kurus. Para ahli tafsir mimpi istana tidak mampu memberikan tafsiran yang memuaskan sang raja.
Pemuda yang bekerja di istana itu teringat kembali ketika di penjara. Bahwa ternyata dalam penjara itu ada seorang anak muda yang hebat dalam menafsirkan mimpi. Dialah Yusuf AS.
Hal itu disampaikan kepada raja dan sang raja setuju agar Yusuf dihadirkan ke istana. Singkat cerita Yusuf pun dengan beberapa persyaratan memenuhi permintaan raja tersebut.
Yusuf menafsirkan mimpi itu bahwa akan terjadi musim panen yang luar biasa selama tujuh tahun. Lalu setelah itu akan terjadi musim paceklik selama tujuh tahun yang akan menghabiskan semua hasil panen tujuh tahun sebelumnya.
Sang raja puas dengan tafsiran itu. Diapun menawarkan kepada Yusuf posisi di istana apapun itu. Dan Yusuf menerima tawaran itu. Tapi penerimaan itu dipastikan sesuai dengan kapasitas dirinya yang sesuai. Diapun meminta untuk dijadikan Kabulog.
Penekanan yang ada di sini adalah bahwa pelayanan publik itu bukan sesuatu yang tabu. Bahkan bernilai ibadah. Hanya saja hendaknya disesuaikan dengan kapasitas masing-masing.
Artinya silahkan masuk ke arena publik dan poliitk. Tapi janganlah jadikan pelayanan publik sekedar gagah-gagahan. Berlomba mencari kekuasaan untuk popularitas dan kepentingan sempit, walau sesungguhnya tidak punya kapasitas.
Atau bersedia menduduki jabatan publik tertentu, walau jelas bukan bidang yang sesuai bagi dirinya bahkan tidak memiliki kapasitas untuk jabatan itu. Yusuf bahkan berani meminta posisi itu karena merasa punya kapasitas untuk itu.
Keenam, memiliki kelapangan dada untuk memaafkan Saudara-Saudaranya yang pernah ingin membinasakannya.
Pada akhirnya setelah melalui berbagai drama Yusuf berhasil membawa serta Ayah/Ibu dan Saudara-Saudaranya, konon kabarnya lebih 70 orang, ke Mesir. Tentu setelah Yusuf mempersiapkan segala sesuatu untuk mereka.
Poin yang ingin saya tekankan di sini adalah bagaimana Yusuf AS memiliki kelapangan dada untuk memaafkan Saudara-Saudaranya yang pernah berusaha membinasakannya (membunuhnya). Bahkan mereka telah melakukan kebohongan-kebohongan kepada ayahnya dan dirinya sendiri.
Tidak saja bahwa Yusuf memaafkan mereka. Tapi masing-masing Saudara itu diberikan fasilitas untuk mengembangkan keluarganya. Dan ini pula yang menjadi cikal bakal kabilah-kabilah Yahudi yang berjumlah 12 itu.
Intinya, salah satu aspek “good looking” Yusuf yang harus kita tauladani adalah lapang dada. Memaafkan dan tidak mendendam. Dalam hidup ini kerap manusia terjangkiti berbagai penyakit hati, termasuk hasad (dengki). Tapi pada akhirnya memaafkan dan “move on” adalah respon terbaik dan mengantar kepada ketenangan dan kebahagiaan.
Akhirnya saya ingin menyimpulkan bahwa kisah sang good looking, Yusuf AS, itu tersimpulkan dalam keyakinan kita bahwa hidup semuanya ada dalam satu radar dan kontrol. Ada dalam satu genggaman yang tunggal. Semua ada dalam ruang gelombang Takdir Ilahi.
Juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa segetir apapun tantangan hidup dan kebenaran, pada akhirnya pasti “at the end of the tunnel there a shining light” (di ujung terowongan itu ada cahaya yang bersinar).
Bahwa sekuat apapun kebenaran itu tertantang, pada akhirnya akan menemukan kemenangannya. “So keep your head high and build a strong hope and optimism”…..Insya Allah!
New York, 22 November 2020
- Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
- Presiden Nusantara Foundation
TERBARU
-
Transformasi dan Transmisi di Masa Transisi Hidayatullah
24/11/2024 | 07:58 Wita
-
Nilai dan Keutamaan Hidup Muhammad Sebelum jadi Rasul
22/11/2024 | 06:04 Wita
-
Raih Belasan Medali, Atlet Tapak Suci Pesantren Ummul Quro Hidayatullah Tompobulu Terbaik di Kejurnas UINAM Cup
18/11/2024 | 05:42 Wita