Jumat, 23 Oktober 2020 | 06:07 Wita

Santri, Kiai, dan Pesantren

Editor: Firman
Share

Oleh: Dr Ilham Kadir MA., Alumni Pondok Pesantren Darul Huffadh, Tuju-Tuju Bone

HidayatullahMakassar.id — Kalau diikuti teori W.J.S Purwadarnita dalam kamusnya, maka arti santri dan santeri ialah orang yang menuntut pelajaran Islam dengan pergi berguru ke tempat yang jauh seperti pesantren dan sebagainya.

Tetapi kalau diikuti pengertian umum, maka santri ialah mereka yang mempelajari agama Islam, baik yang pergi ke tempat yang jauh maupun dekat dengan niat hendak mengamalkan ilmunya, dan hendak menyebarluaskannya. Hasil dari ilmu yang dituntut itu dengan sendirinya mempengaruhi perilaku sehari-harinya. Karena yakin akan kebenaran gurunya. Mereka meniru laku dan perbuatan gurunya.

Ilmu yang diperoleh dari mereka, artinya dari gurunya, dijadikan dasar pola membentuk sikap mental dan watak mereka dalam hidup. Semua ini lantaran dilandasi oleh suatu niat suci dalam hatinya bahwa ilmu-ilmunya memang diyakini kebenarannya serta akan dipraktikkan dalam amal sehari-hari.

Oleh sebab itu, barang siapa yang mempelajari Islam sekadar untuk diketahui, baik karena tidak meyakini kebenarannya, maupun untuk tujuan yang merugikan Islam dan umatnya, maka ia tidak layak disebut santri. Demikian definisi pesantren yang ditulis oleh KH Saefuddin Zuhir, Guruku Orang-orang Pesantren, Yogyakarta: 2001.

Ayah dari mantan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin itu juga menerangkan tentang seseorang yang layak disebut santri secara utuh. Ia melanjutkan tulisannya,
Prof.Dr.Ch.Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah seorang Kristen yang menjadi penasihat pemerintah Hindia Belanda mengenai soal-soal agama Islam. Walaupun pengetahuannya tentang Islam sangat banyak, ia tak bisa disebut seorang santri ketika bertahun-tahun telah mempelajari agama Islam.

Ia pernah menjabat guru besar tentang Islamologi pada Universitas Leiden. Celakanya, ia pernah menyamar di Makkah sebagai dokter mata dan tukang potret dengan memakai nama samaran Abdul Ghafur, karena tugasnya untuk melumpuhkan kekuatan umat Islam Indonesia berhubungan perlawanan umat ini terhadap kekuasaan Belanda di mana-mana, dan khususnya ketika Belanda sangat kewalahan menghadapi perang aceh, Diponegoro, hingga Iman bonjol.

Maka kita sangat keberatan kalau professor Belanda ini digolongkan seorang santri. Dia pun tentunya tidak sudi disebut santri.

Maka jalaslah—Lanjut Saifuddin Zuhri—bahwa santri adalah mereka yang belajara ilmu-ilmu agama Islam dengan niat untuk mengamalkan ilmu yang mereka yakini kebenarannya 100% itu. Bahkan hendak menyebarluaskan ilmunya itu untuk tujuan membela dan memperkembangkan Islam.

Selama mereka belajar, tugas dan perhatian mereka cumalah belajar dan belajar tentang segala seluk-beluk agama Islam dengan segala ilmunya. Hal itu sesuai dengan pesan dan nasehat orang tua mereka, agar mereka cuma belajar tentang ilmu Islam.

Bagaimana tentang penghidupan mereka kelak dikemudian hari? Pada umumnya tidaklah mereka pikirkan benar. Karena apa? Karena orang tua mereka masing-masing telah menyiapkan di kampungnya barang sebidang sawah atau ladang, atau perusahaan orangtuanya yang telah menanti kelak untuk diurus sebagai bekal hidup manakala mereka telah selesai belajar.

Mereka memusatkan cita-citanya untuk kelak menjadi kiai atau ustadz seperti gurunya, sedang lapangan kerja baginya telah tersedia. Mereka akan menjadi orang masyarakat yang terjun ke tengah-tengah umat. Hampir tidak ada yang terlintas dalam angan-angannya agar kelak menjadi pegawai negeri apalagi pegawai pemerintah jajahan

Saifuddin Zuhri juga banyak bercerita tentang ilmu apa yang harus dipelajari bagi seorang santri, ia pun menulis. “Mau tak mau mestilah belajar nahwu-sharaf kalau mau bisa baca kitab gundul. Berbeda dengan Al-Qur’an semua orang bisa baca, asal sudah menguasai alphabet atau abjad Arab dengan segala karakternya. Itupun masih harus belajar tajwid dan qiraat.

Lain halnya untuk bisa membaca kitab gundul, mestilah belajar nahwu-sharaf agar tahu fungsi akhiran dan permulaan kalimat, dan bagaimana mesti dibaca. Ini baru pasal bisa membaca, belum pasal mengertinya, artinya, mengerti apa yang dibaca, maknanya dan artinya. Harus belajar bahasa Arab. Belajar bahasa asing memang susah, memerlukan ketekunan. Selain otak harus dicuci, mulutpun harus diajar bagaimana mengucapkannya.

Selain itu, ia menarasikan bahwa pada zamannya setiap pesantren punya kiai yang memiliki spesifikasi keilmuan tertentu, sambil menyebut nama kiainya yang bernama Kiai Khalimi. Ia pun menulis, “Kiai Khalimi terkenal sebagai kiai spesialis nahwu-sharaf. Di pesantrennya, belajar bukan hanya anak-anak sekampungku, tetapi juga dari lain-lain daerah. Kami senang belajar di Pesantren Kiai Khalimi ini. waktu malam hari setelah pulang dari madrasah. Ilmu nahwu dan sharaf memang menjemukan, memerlukan pemikiran yang serius. Tapi menarik hati. Banyak hal-hal yang baru dari kajian ini. Anak-anak tingkat pemulaan memakai pedoman Kitab Ajrumiyah, lalu bersambung Imrithi dan lebih tinggi lagi Alfiyah, ini dia sudah golongan jempolan, membaca kitab gundul sudah ndlendeng saja, meluncur seperti sepeda tanpa rem.

Di pesantren, para santri adalah saudara satu sama lain, hanya Kiai dan istrinya yang jadi orang tua. Karena itu, kalau ada makanan dibagi sama rasa sama rata. Apa pun itu terasa enak, bahkan kerak nasi yang umumnya dijadikan pakan ternak menjadi makanan yang terlalu enak di pondok.

Ternyata hal ini juga dinarasikan oleh KH Saifuddin Zuhri, “Belajar di sini menyenangkan. Anak-anak dari dari luar daerah sering terima paket kiriman dari kampungnya, ada jadah dan dodol, wijak atau tape, dan lain-lain makanan yang bisa tahan beberapa hari. Tentulah tidak dinikmati sendirian, kami ramai-ramai menggayangnya hingga ludes. Tentu Kiai Khalimi tidak dilupakan, beliau menerima lebih dulu. Kiai pun tak menikmati sendirian, kami dipanggilnya untuk ikut mengganyangnya. Jadi kami beruntung sekali, bisa mengganyang dua kali”.

Narasi berikut ini juga memberikan gambaran yang sangat ril pada dunia pesantren yang dibintangi oleh kiai dan para santri. Beragam cerita yang kadang mengocok perut tak pernah habis. Kisah-kisah seperti di bawah hampir terjadi di setiap pondok yang memang masih menyatu dengan masyarakat, belum menggunkan sistem modern.

Berikut tulisannya,
Bukan cuma itu saja. Kiai Khalimi memberikan pelajaran keterampilan kepada santri-santrinya di samping pelajaran pencak silat. Beliau terkenal Pendekar Cikalong, artinya, pencak aliran Jawa Barat. Di kampung kami masalah pencak-memencak ini cuma terkenal aliran Banjarnegara dan aliran Josremo, setelah datangnya santri baru berasal dari Surabaya, namanya Mas Muhajir Putera Kiai Josremo.

Jika anak-anak sedang latihan pencak, Kiai Khalimi suka mengejek dengan memegang batu di tangannya sambil berkata, ‘Bisa nggak tangkis batu ini kalau aku lemparkan?’ Maksudnya ia mendidik anak-anak biar jangan sok jagoan. Belajar pencak bukan untuk berlagak sok jago, cari musuh, tapi sekadar persiapan untuk membela diri jika perlu, katanya.

Dalam pelajaran keterampilan, anak-anak diberi tuntutan macam-macam. Belajar jahit-menjahit, bengkel sepeda, gunting rambut, mengetik, membuat leter (kaligrafi), melukis, membuat kecap dan sirup. Itu waktu memang aneh sekali dan bahkan janggal, mengapa diadakan pelajaran keterampilan. Kadang-kadang kami berpikir di tengah pelajaran ini, kita ini sedang berada di pondok pesantren atau di tempat perusahaan? Tapi Kiai Khalimi selalu tandas jawabnnya: He, ini penting. Supaya kaum santri jangan cuma berkeinginan mengambil menantu orang kaya! Maksudnya tentu saja agar kelak kami tidak menggantungkan hidup kami kepada orang lain. Aku memang tidak begitu tertarik pada pelajaran buat-membuat kecap dan sirup atau lainnya. Barangkali saja kalau ketika aku ini tertarik, siapa tahu sekarang sudah jadi direktur pabrik kecap!

Kiai Khalimi, biar sudah kiai, beliau rajin mengunjungi tukang gunting rambut. Beliau salah satu anggota klub ngobrol disana. Gemar berkumpul dengan para pemuda. Beliaulah yang mula-mula menganjurkan agar kami para pemuda membiasakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, kami dianjurkan membiasakan memakai pantalon kalau menghadiri pertemuan-pertemuan. Tapi mengherankan, beliau sendiri tidak pernah memakai pentalon atau celana panjang. Selalu saja memakai sarung plekat dan sorbannya. Kalau ditegur, maka jawabnnya, “Aku menyadari, aku tidak memiliki pantat, kalau berjalan ngimplik (langkahnya pendek-pendek). Sebab itu, kata beliau, aku merasa tidak pantas memakai pantalon. Biarlah aku tetap bersarung agar tidak menjadi tertawaan!” konon kabarnya, selama hidup beliau tidak pernah memakai pantalon. Tapi beliau selalu menganjurkan para pemuda berpantalon. Santri harus kelihatan rapi!

Lain lagi yang menarik dari kiai ini. beliau dikenal sebagai ahli falak. Kami harus membuat Rubu, lingkaran 90 derajat terbuat dari kayu dengan garis-garis rumus. Untuk mengetahui hari dan tanggal, diceritakanlah jalannya planet-planet serta jarak antara satu dengan lainnya. Dimana letak bumi kita, ardh, matahari (syams), rembulan (qamar), bintang mars (marikh), venus (zukhrah), saturnus (zuhal), dan sebagainya. Amatlah menarik kalau sedang menerangkan betapa besar dan dahsyatnya matahari, begitu jauh jaraknya, dan begitu hebat energinya. Suatu ketika seorang santri memberanikan bertanya, Darimana Kiai belajar falak ini? Dijawab, Tentu dari guru-guru saya. Tapi yang jelas semua ini dari Al- Qur’an. Ketika orang-orang Eropa masih bodoh dan tertidur, orang-orang Islam sudah mahir ilmu falak. Orang Islam berkepentingan belajar falak karena orang Islam berkewajiban menjalankan sembahyang dan puasa Ramadhan. Untuk sembahyang harus mengetahui letak ka’bah, dan untuk berpuasa Ramdhan harus mengetahui kapan kira-kira memulai dan mengakhiri puasa. Sekadar untuk menggunakan rukyat sebagai yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.

Kami tergabung dalam ikatan muballigh, namanya ‘nashihin’, yaitu setelah di kampungku berdiri Nahdatul Ulama. Tiap malam selasa para muballigh dibagi untuk mengunjungi beberapa desa. Kiai Khalimi tidak ketinggalan. Kami membuat kelompok, masing-masing 2 atau 3 muballigh. Tentu saja umumnya berkendaraan sepeda. Kelompok paling “celaka” kalau di dalamnya termasuk kiai ini. Sebenarnya, pertama, beliau tak pandai naik sepeda, dan kedua, beliau tak pernah mau membonceng sepeda, saru atau tidak pantas katanya. Lebih baik jalan kaki. Mau tak mau yang lain-lain solider jalan kaki. Berapa kali dianjurkan belajar naik sepeda, namun beliau tak mau. Mengapa? Biar saudara mengerti bahwa semua orang mempunyai kekurangan dan cacat, begitulah jawabannya. Yang menarik perhatian lagi adalah rokoknya. Beliau selalu mengisap rokok cengkeh, yang menurut anggapan masyarakat di kampungku rokok priayi. Kadang-kadang rokok putih. Bukan rokok klembak-menyan. Anak-anak kadang-kadang nyeletuk, “Priyai kok tidak bisa naik sepeda…!

K.H. Saifuddin Zuhri penulis buku “Guruku Orang-Orang Pesantren” merupakan seorang guru besar, lahir di Kota Kawedanan Sokaraja, 1 Oktober 1919, meninggal 25 Maret 1986 pada umur 66 tahun. Merupakan Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Kerja III, Kabinet Kerja IV, Kabinet Dwikora I, Kabinet Dwikora II, dan Kabinet Ampera I (1962-1967). Pada usia 35 tahun K.H. Saifuddin Zuhri menjabat Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merangkap Pemimpin Redaksi Harian Duta Masyarakat dan anggota Parlemen Sementara. Presiden Soekarno mengangkatnya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI pada usia 39 tahun, lalu mengangkatnya menjadi Menteri Agama ketika berusia 43 tahun.

Terlalu banyak yang sangat penting untuk dinarasikan dari buku karya ulama besar, politisi, aktivis, dan penulis produktif itu, KH. Saifuddin Zuhri. Namun yang terpenting bahwa santri selalu menjadi bagian penting dalam perjalanan bangsa Indonesia, sejak dahulu hingga sekarang. Hari santri mengingatkan kita betapa besar perjungan orang-orang pesantren, baik dalam melawan penjajah dan mempertahankan NKRI maupun dalam mengisi kemerdekaan. Selamat Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2020. Santri sehat negara kuat■

Enrekang, 22 Okt 2020.



BACA JUGA