Selasa, 13 Oktober 2020 | 16:03 Wita
4C for Omnibus Law
■ Oleh : Syamril, Direktur Sekolah Islam Athirah
HidayatullahMakassar.id — Pekan lalu, di berbagai ibukota provinsi dan kabupaten di Indonesia terjadi demonstrasi menentang UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja oleh berbagai kalangan khususnya Serikat Buruh dan Mahasiswa. Menurut para demonstran, Omnibus Law ini merugikan rakyat Indonesia khususnya kaum pekerja.
Tujuan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja adalah memudahkan proses investasi di Indonesia sehingga dapat membuka lapangan kerja. Dampaknya mengurangi pengangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Itu sangat penting dan mendesak karena pengangguran di Indonesia merupakan masalah yang krusial.
Kalau hal ini penting dan mendesak atau genting mengapa banyak yang menentang. Bukan hanya Serikat Buruh dan mahasiswa, bahkan dua ormas terbesar NU dan Muhammadiyah juga tidak setuju. Lalu MUI dan Komnas HAM juga demikian. Bahkan beberapa Guru Besar dari berbagai Perguruan Tinggi juga menolak. Untuk itu perlu dilihat pada aspek 4C yaitu content, context, cara dan communication.
Secara content dengan adanya penentangan dari banyak pihak dan beragam kelompok maka dapat dikatakan isi Omnibus Law ini masih banyak yang mempermasalahkan. Belum meyakinkan mayoritas bahwa ini penting dan berdampak positif kepada masyarakat.
Pada aspek context terkait kondisi aktual sekarang, para penentang melihat saat pandemi Covid-19 masih belum turun, perlu dicermati apa ini memang mendesak. Menurut mereka seharusnya prioritas pemerintah adalah menangani pandemi Covid dengan lebih baik lagi.
Hal yang juga disoroti yaitu aspek cara atau proses penyusunan Omnibus Law. Memang sejak awal presiden ingin cepat. Saat pelantikan Presiden 20 Oktober 2019, Jokowi menargetkan 100 hari. Cuma dalam prosesnya terlihat tergesa-gesa. Akibatnya menurut Komnas HAM ada beberapa tahapan proses yang tidak dilalui dengan baik.
Meskipun DPR mengatakan sudah membuka kesempatan secara luas. Tapi dengan adanya pandemi covid-19 proses itu sangat terbatas. Belum lagi uji publik yang singkat. Biasanya uji publik dilakukan dalam waktu yang cukup agar masyarakat dapat memberi masukan. Juga proses bagian dari proses agar masyarakat paham isi dari Omnibus Law ini.
Faktor lain yaitu communication. Sampai saat disahkan pun beberapa pihak masih bingung mana draft akhir yang disetujui. Akibatnya di masyarakat beredar banyak versi. Bahkan ada orang yang sengaja membuat versi palsu atau hoax. Komunikasi ke masyarakat kurang dikelola dengan baik. DPR seharusnya bisa menyiapkan sumber asli yang bisa didownload oleh siapa saja. Versi lain yang berbeda berarti palsu.
Communication juga terkait dengan penerimaan aspirasi oleh pejabat atau pemimpin tertinggi di daerah atau di pusat saat terjadi demonstrasi. Salah satu yang disorot yaitu saat demo 8 Oktober 2020 lalu Presiden Jokowi malah meninggalkan Jakarta.
Beberapa daerah yang Gubernurnya langsung menemui para demonstran seperti di Jawa Barat, Jakarta dan Sulsel dapat membuat suasana lebih tenang karena aspirasinya tersalurkan. Seandainya pada tanggal 8 Oktober 2020 lalu Presiden Jokowi tetap di Jakarta dan menerima perwakilan demonstran mungkin suasana bisa lebih dingin.
Pada akhirnya kita berharap semoga demonstrasi pasca penetapan Omnibus Law dapat segera mereda. Jika pun masih ada demo semoga para demonstran dapat menyampaikan aspirasinya dengan cara yang baik, tidak anarkis. Juga aparat kepolisian dapat lebih sabar. Jika aspirasi belum bisa dipenuhi masih ada saluran konstitusional melalui judical review ke MK. Mari jaga Indonesia agar tetap aman dan damai.■
TERBARU
-
Kadep Perkaderan Hidayatullah Raih Doktor di UIN Makassar. Ungkap Strategi Komunikasi Dakwah Pendiri Hidayatullah
26/11/2024 | 13:38 Wita
-
Transformasi dan Transmisi di Masa Transisi Hidayatullah
24/11/2024 | 07:58 Wita
-
Nilai dan Keutamaan Hidup Muhammad Sebelum jadi Rasul
22/11/2024 | 06:04 Wita