Jumat, 9 Oktober 2020 | 19:03 Wita

PBNU Sayangkan Pengesahan UU Ciptaker Terburu-buru dan Tak Peka Aspirasi Publik 

Editor: Firman
Share

JAKARTA, HidayatullahMakassar.id — Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah resmi mengeluarkan sikap terkait Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, pada Jumat (9/10). 

Sikap resmi tersebut ditandatangani langsung oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini. 

Terdapat sembilan poin pernyataan di dalam sikap resmi itu. Salah satunya, di poin kedua PBNU menyesalkan proses legislasi UU Cipta Kerja yang terburu-buru, tertutup, dan enggan membuka diri terhadap aspirasi publik.

Menurut pandangan PBNU, untuk mengatur bidang yang sangat luas dan mencakup 76 UU dibutuhkan kesabaran, ketelitian, kehati-hatian, dan partisipasi luas para pemangku kebijakan. “Di tengah suasana pandemi, memaksakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan resistensi publik adalah bentuk praktik kenegaraan yang buruk,” demikian bunyi pernyataan sikap resmi PBNU

Lebih lanjut, di poin ketiga PBNU mengungkapkan bahwa niat baik membuka lapangan kerja tidak boleh dicederai dengan membuka semua hal menjadi lapangan komersial yang terbuka bagi perizinan berusaha. 

PBNU menyoroti sektor pendidikan yang semestinya tidak boleh dikelola dengan motif komersial murni karena termasuk hak dasar yang harus disediakan negara. Dengan demikian, PBNU menyesalkan munculnya Pasal 65 UU Cipta Kerja yang memasukkan pendidikan ke dalam bidang yang terbuka terhadap perizinan berusaha. 

“Ini akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kapitalisme pendidikan. Pada gilirannya pendidikan terbaik hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berpunya,” begitu bunyi poin ketiga pernyataan sikap resmi PBNU terkait UU Cipta Kerja yang bermasalah dan telah disahkan DPR bersama Pemerintah, pada Senin (5/10) lalu. 

Klarifikasi Pemerintah

Sementara itu, dalam sebuah tayangan galawicara Peci dan Kopi yang disiarkan langsung melalui Kanal Youtube 164 Channel, Menteri Ketenagakerjaan RI Ida Fauziyah menyebut bahwa proses penyusunan UU Cipta Kerja melibatkan serikat pekerja dan buruh.

Ida mengungkapkan, penyusunan draf UU tersebut melibatkan partisipasi publik melalui Focus Group Discussion (FGD). Katanya, dalam forum itu semua peserta berdiskusi terkait hal apa saja yang dianggap substansial dan harus dimasukkan ke RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan. 

“Setelah selesai dibahas draf itu diberikan ke DPR untuk dilakukan pendalaman dan disahkan,” kata Ida dalam galawicara yang dipandu Rozali Ahmad, pada Kamis (8/10) kemarin. 

Namun karena pada saat itu terjadi perdebatan hebat di masyarakat, UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan ditunda pembahasannya. Di waktu yang bersamaan, Kemnaker kembali bertemu dengan serikat pekerja dan buruh untuk melakukan review RUU Cipta Kerja.

“Kami duduk bersama. Di situ kami coba lihat kembali dan alhamdulillah forum berjalan kondusif. Jadi penilaian publik sudah kami lalui,” kata Ida. 

Tidak Transparan 

Sebelumnya telah diberitakan bahwa Wakil Presiden Dalam Negeri Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Sukitman Sudjatmiko menilai proses pengesahan UU Cipta Kerja tidak transparan.  

“Juga tidak memasukkan pasal 59 ke dalam draf pembaruan yang kemudian disahkan.” Kata Sukitman, sebagaimana berita yang telah diterbitkan NU Online pada Selasa (6/10) lalu. 

“Kita menolak dan menyayangkan prosesnya yang tidak transparan dan pasal 59 tidak dimasukkan ke dalam draft terbaru,” tambahnya. 

Padahal, kata Sukitman, di Tim Tripartit telah disepakati agar pasal tersebut dimasukkan ke dalam UU. Ia juga menegaskan bahwa serikat buruh dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) telah sepakat bahwa pasal 59 itu mesti dihidupkan kembali. 

“Ini yang kita sayangkan. Pasal (59) ini tidak dimasukkan oleh pemerintah menjadi salah satu pembaruan ke DPR. Padahal ini sudah kesepakatan,” katanya. Dengan begitu, Sarbumusi akan bersikukuh untuk memperjuangkan pasal 59 yang berdampak pada keanggotaan serikat pekerja dan buruh. 

Menurutnya, jika pekerja banyak yang berstatus kontrak maka akan membuat enggan untuk berserikat.  “Kita akan berjuang di pasal 59 di Pasal 59 itu. Kita akan melakukan judicial review terhadap Pasal 59 yang tidak diakomodir pemerintah. Itu sikap kita,” tutur Sukitman. 

LP Ma’arif NU 

Ketua Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU H Zainal Arifin Junaidi merasa kecewa karena sebelumnya, bersama lembaga pendidikan lain seperti Taman Siswa telah mengajukan keberatan jika pendidikan masuk di rezim investasi. 

“Kita sudah berdiam diri karena ada jaminan bahwa pendidikan didrop dari UU Cipta Kerja. Tapi ternyata masuk. Saya tidak tahu yang rancang ini bagaimana,” ungkap Arifin, dalam berita yang telah diterbitkan NU Online, pada Rabu (7/10) lalu. 

“Setelah kami merasa tenang karena pendidikan sudah didrop dari UU Cipta Kerja, ternyata diketok juga. Kami merasa kecewa karena telah dibohongi oleh Komisi X DPR yang sudah menyatakan didrop,” kata Arifin. 

Menurutnya, pasal pendidikan dalam UU Cipta Kerja sama dengan menjadikan pendidikan sebagai sebuah komoditas perdagangan atau komersialisasi. Pasal yang dimaksud itu termaktub dalam paragraf 12 tentang Pendidikan dan Kebudayaan. 

Dijelaskan Arifin, ketika pendidikan harus mengurus izin usaha itu berarti pendidikan dianggap sebagai sebuah lembaga yang semata bertujuan mencari keuntungan. Hal ini dinilai bertentangan dengan konstitusi negara yang terdapat dalam UUD 1945.■ fir

Sumber: https://www.nu.or.id